Birth Story 1: Drama itu Selalu Ada



Sebenarnya awalnya saya agak-agak kurang berminat buat cerita tentang pengalaman melahirkan, tapi karena banyak yang minta diceritain jadi ya udah, deh. Sekalian dramanya buat kenang-kenangan, sekali seumur hidup yakan?

Kalau yang belum tau cerita kehamilan saya, bisa baca dulu link di bawah ini kali, yah.
-          1st Trimester: Stop and Listen
-        Acceptance
-        Menghadapi Kerepotan Netizen     
-        Mendadak IGD

Jadi gara-gara denyut jantung janin sempat hilang itulah seluruh dunia jadi repot, gupek, dan khawatir. Ya, enggak seluruh dunia juga sih. Soalnya masih ada juga yang belum paham kondisi saya dan terkesan menyalahkan saya yang selalu berada di alam ‘goa’. Padahal orang dari circle terdekat dengan keseharian saya. Tapi yaudah karena saya anaknya legowo dan pemaaf, jadi ya saya yang minta-minta maaf dan berjanji untuk nggak gitu lagi. Yaiyalah, siapa yang mau sakit lagi?!

Saya masih juga maju-mundur belum berani untuk operasi. Selain saya yakin ukuran bayi masih terlalu kecil, saya juga belum mengumpulkan cukup nyali. Namun sebagai suamiku idolaque yang senantiasa suportif, HB meyakinkan saya untuk go ahead. Nggak perlu nunggu tanggal cantik, nggak perlu nunggu si bayi besar dulu, nggak perlu nunggu apa-apa lagi. Cuma perlu nunggu dokternya pulang dari Semarang aja. Ya ngapain nunggu juga sih karena nyawa adalah taruhannya.

Oke, akhirnya saya dealing with myself bahwa saya siap operasi pada 23 Juli 2018, itu di hari Senin, hari lahirnya Nabi Muhammad dan juga pas peringatan Hari Anak Nasional, mayan kan nanti si bayik bisa makan gratis sepuasnya di MCDonald! LOLOL.

Booking Kamar Perawatan

Hari itu, Jumat sebelum operasi ketika saya berada pada keyakinan penuh, saya langsung kontak rumah sakit untuk memasttikan segalanya. Pihak rumah sakit meminta saya untuk mengurus rujukan BPJS dan membooking kamar. Omaigat saya nggak pernah sesadar itu bahwa untuk bisa melahirkan aja kamarnya musti dulu-duluan dan bisa aja nggak kebagian. Berasa lagi PO novel barunya Ika Natasssa yang bikin berderai air mata kalau kehabisan.
Akhirnya HB minta surat rujukan ke dr. Vera  dan saya janjian dengan dr. Santi di RSIA untuk menyiapkan segala bookingan jam delapan malam.

Sampai di RS, ternyata dr. Santi belum datang dan kami, saya dan HB, malah ketemu dengan seorang perawat yang meminta kami pulang lagi dan datang H-1, padahal ya kami tau bahwa kedatangan kami di hari itu adalah penting. Saya merasa perawat tersebut kurang kooperatif, sehingga saya mengajak HB untuk menunggu di poli kebidanan aja.

Setelah menunggu agak lama dan dr. Santi belum juga ada kabar, saya menemui petugas jaga di sana. Petugasnya cantik dan sangat informatif. Asli baik banget mbaknya, tapi saya lupa namanya. Dia yang membantu kami ngantar kesana sini, nyari dokumen segala macam malam itu hingga akhirnya fix kamar perawatan untuk saya officially booked for next wonderful Monday.

Saya diperiksa seperti biasa, tensi darah, denyut jantung janin, USG, dan awalnya dr. Santi meminta saya untuk cek HB, tapi lagi-lagi perawat yang kurang kooperatif tadi yang bilang bahwa cek darahnya H-1 aja. Oke, baique. Setelah debat agak panjang, kami pulang. Itu kami sampai di rumah sudah sekitar jam 22.30 malam.

Drama Persiapan Darah

Untuk menyiapkan operasi, sejak jauh-jauh hari saya sudah diwanti-wanti oleh dokter dan bidan untuk menyiapkan donatur darah. Saya sudah dapat dua orang yang semuanya adalah rekan kerja di kampus. Sebenarnya  agak-agak worry sih cuma menyiapkan dua kantong, dan ternyata keduanya lagi nggak bisa donor. Akhirnya kelimpungan karena di UTDC PMI Cuma ada satu kantong darah A+ dan sesuai dengan karakteristik darah saya.

Hingga di hari-H operasi, donatur saya belum ada yang cocok darahnya. Broadcast pencarian donatur darah pun menyebar kemana. Hingga sampai ke kawan-kawan SMA, kuliah dan saudara-saudara. Jadwal operasi yang maju dari rencana sebelumnya pun sempat membuat orang-orang yang tahu jadi khawatir dan mengirimkan pesan support juga doa. Donatur juga berdatangan hingga ketersediaan darah menjadi berlebih. Kalau nggak salah ada sekitar tujuh donatur waktu itu. HB yang saat itu menjadi runner sekaligus admin ponsel saya jadi super sibuk dengan WA, SMS, juga telpon. 

Intan dan pendonor yang (maaf) lupa namanya (difoto sepupu yang donor juga)

Alhamdulillah drama pencarian darah selesai tepat di saat saya dipanggil menuju ruang operasi selepas adzan dzuhur berkumandang. Seketika itu juga saya menjadi nervous dan semuanya jadi nggak jelas rasanya.

Terima kasih kepada para donatur, para sahabat, kolega, kerabat, kebaikan kalian akan dibayar oleh Tuhan dengan balasan-balasan yang setimpal. Amiin.

Gentle Birth di Atas Meja Operasi

Siapa bilang gentle birth hanya dilalui oleh mereka yang mengalami vaginal birth? Saya yang memang sudah tau nggak bakalan atau kemungkinan untuk vaginal birthnya kecil banget ya memang sudah jauh-jauh hari menyiapkan mental untuk operasi. Jadi segalanya saya upayakan tetap nyaman dan lembut agar apa... agar bahagia!


HB menemani saya sampai di ruang tunggu untuk masuk ke ruang operasi. Kami dipersilakan masuk ke dalam ruang transit, di sana ada ruangan untuk bayi. Semua sudah siap, box bayi lengkap dengan pakaiannya dengan papan tertulis nama saya dan HB. Kok jadi deg-degan. Heuheu. Sayangnya dia nggak bisa menemani saya. Padahal saya juga kan pengin kayak Kahiyang Ayu yang ditemani Bobby waktu operasi. LOL.

Saat pertaruhan nyawa sudah tiba. Saya dibawa masuk oleh seorang perawat perempuan yang sudah tua. Beliau pandai berkelakar dan membuat saya ketawa. Biar nggak tegang mungkin, ya. Belakangan saya tau tugasnya adalah mengganti infus, mempercepat aliran infus, and so on karena kantung infus untuk saya banyak banget dan dengan cepat dialirkan lalu diganti lagi sesuai dengan perintah dokter yang nampak tergesa-gesa.

Saya diperintahkan naik ke meja operasi. Meja yang kecil banget dan bolong di sana sini. Nggak kebayang kalau Pretty  Asmara yang operasi. Lah buat saya yang beratnya 63 kilogram aja cuma pas doang. LOL.  

Perawat senior tadi mengoper urusan saya kepada perawat lain, kali ini laki-laki. Dan saya langsung mikir,

“lah ngapain saya ngejar-ngejar dokter obsgyn perempuan kalau pas hari-H malah dikerumunin laki-laki begini?” Saya sungguh merasa terjebak.

Perawat itu mengajak ngobrol saya, tapi pakai Bahasa Sunda. Nggak sekalian pakai English aja biar saya ngerti sedikit-sedikit, gitu lho. Dia meminta saya membuka baju, asli dibuka semua itu bajunya kecuali kerudung. Haiya ngapain kerudung kagak diungkit sementara selongsong lain dilucuti? Saya merasa sungguh jenaka. Bahaha.

Setelah bercerita dan bercanda ngalor-ngidul dengan perawat tadi, seorang dokter yang saya pikir adalah dokter anestesi yang sebelumnya saya tau namanya dari Pakde meminta saya untuk miring kekiri dan memosisikan diri seperi udang rebus. Ngruwel. Dan lagi-lagi seorang perawat laki-laki yang nggak kalah friendly dan jenaka sepert sebelumnya memegangi saya di kiri, tepatnya memeluk, memberikan sugesti positif sambil saya dipukpuk. Di sebelah kanan, dokter memberikan anestesi sambil sesekali memberikan perintah untuk tarik napas, rileks, hembuskan, gitu deh. Saya merasa begitu disayangi oleh mereka. Huhu jadi haru.

Nggak lama setelah dokter menyuntikan bius, setengah badan saya dari pinggang kebawah seperti baal. Semuanya dimulai dari kaki yang kesemutan, lalu mati rasa sama sekali. Dokter memandu kami semua untuk berdoa, lampu dinyalakan dan operasi dimulai dengan iringan musik instrumental.

Nggak lama setelah adegan khusyuk nan syahdu itu, mungkin hitungannya nggak sampai lima menit, ruangan sudah berubah menjadi kafe tempat nggosip sambil minum latte. Perut saya rasanya ditekan, digelitikin, sedikit perih dan nyeri. Perawat bolak balik mengambilkan ini-itu, mengganti infus, mempercepat alirannya. Dan semuanya nampak tegang. Alhamdulillah tensi darah saya yang diukur setiap lima menit di lengan kanan menunjukkan angka normal di kisaran 100/xx.

Padahal di awal pengukuran sempat terbaca tensi darah saya 179/xx dan sontak aja membuat semua tercengang, termasuk saya. Padahal saya merasa biasa aja.
“Kamu tegang? Rileks aja coba! Bisa nggak?” kata dokter.
“Saya laper, dokter,” jawab saya serius.
“Ealah, laper. Tadi puasa dari jam berapa? Makan pakai apa?”
“Dari jam lima pagi. Saya makan setengah lima pakai telor dadar dua!”

Seisi ruangan bukannya prihatin malah ketawa. Dan ternyata pengukuran tensi yang tadi tinggi banget itu Cuma salah baca. Atau mungkin iseng, enggak tau juga sih.
Kembali lagi ke peristiwa menegangkan, saya Cuma bisa dzikir sambil mikirin target saya makan sate sama seafood yang enak-enak setelah melahirkan. Nggak perlu waktu lama, seorang perawat laki-laki menunjukkan seorang bayi kecil mungil, pucat dengan rambut lebat lagi ngeringkel di gendongannya.

Baca juga: Memasuki Trimester Keempat Tanpa Cukup Persiapan

Setelah bayi itu ditunjukkan kesaya, perawat itu segera pergi dan seketika semua jadi santai. Dokter dan para perawat mulai berkelakar lagi. Musik instrumental dimatikan padahal saya masih merasakan nyeri dan lemas. Eh, ternyata operasinya udahan, sodara-sodara.

Saya dibawa keluar menuju ruang transit untuk diobservasi selama tiga puluh menit. HB ternyata udah nunggu di luar dan dia udah ketemu jagoannya, udah adzan di telinganya juga. Tapi baby boynya kemudian diobservasi dan ditaruh di inkubator selama 24 jam. Saya jadi nggak bisa ketemu lagi deh.

4 comments

  1. Terharu bacanya ceritanya,, teringat waktu menemani istri saat melahirkan putra pertama kami. Butuh perjuangan.

    Semoga perjuangan para wanita saat mengandung hingga melahirkan menjadikan amalan terbesar di akhirat kelak. Amin

    ReplyDelete
  2. Duh jadi keinget waktu operasi sesar dulu. Dua Kali lagi ��

    ReplyDelete
  3. wow sesar saya yang gak marasakan juga sebenarnya merasakan betapa khawatirnya Istri ketika akan di sesar karena VTJ umur kurang 1 bulan tapi berat badanya sudah 4kg, dan jika sebulan lagi bisa 5 Kg, dan gerakan si VTJ sudah gak terlalu kuat, karena mungkin sudah terlalu besar. sempat mendapat pertentangan dari keluarga karena umur yang masih kurang 1 bulan. Tapi dokter berhasil meyakinkan. dan akhirnya lahirnya VTJ melalui sesar dengan berat 4 Kg, sekarang masih 3,5 tahun sudah 28 Kg.

    ReplyDelete
  4. Masya Allah kisahnya Mbak Rinda emang kece deh Jadi ibu ya harus tegar dan kuat tetap semangat ya Mbak memberikan ASInya. Membaca kisah ini aku jadi seperti membaca sebuah sinopsis drama begitu ya kisahnya ibu yang melahirkan lewat operasi sama-sama mempertaruhkan nyawa.

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<