Birth Story 2: Memasuki Trimester Keempat Tanpa Cukup Persiapan



Bener banget kalau orang sering bilang bahwa yang dipersiapkan perempuan hamil kebanyakan hanya sampai akhir trimester tiga. Puncaknya adalah ketika kita belanja-belanja perlengkapan bayi. Kebanyakan calon ibu dan ayah lupa bahwa ada masa yang lebih challenging yaitu di trimester keempat. Masa setelah bayi, ibu dan ayah terlahir ke dunia.

Baca sebelumnya: Drama itu Selalu Ada

Saya juga begitu. Persiapan trimester keempat saya sebatas optimis bawa botol-botol kaca, breast pump dan booster ke RS. Saya lupa menyiapkan mental. Padahal ini yang paling penting yang bahkan masih membekas dan berlangsung hingga kini. H+ satu bulan setelah persalinan.

Baca juga: 5 Hal ini yang Haarus Disiapkan Sebelum Persalinan

Saya memang nggak terlalu suka ketemu orang-orang tertentu. Saya memang membatas diri saya untuk kemungkinan-kemungkinan bad mood hingga bahkan sedih. Tapi saya juga lupa bahwa RS adalah tempat umum yang bahkan keluarga pasien dari kamar sebelah juga pengin nengok saya.

Kejengkelan saya pertama kali dipicu oleh seorang perawat (entah bidan) bertubuh pendek, berkulit hitam, dan nggak terlalucantik seperti  yang lainnya. Sorry saya body shaming, tapi perawat ini berkali-kali membuat saya sebal. Awalnya memang air seni di kantung kateter saya masih berwarna pekat seperti teh. Dokter memang sudah menganjurkan saya untuk minum sedikit demi sedikit. Dan ketika itu saya sudah minum lumayan banyak jika diakumulasikan. Semua yang menunggu saya juga tau kalau saya sudah berusaha minum banyak, dan memang minum saya banyak.

Perawat itu ujug-ujug nge-judge,”kenapa sih nggak mau minum? Kalau nggak mau minum bla...bla...bla!” puncaknya aalah pada suatu pagi ketika dia berkali-kali mengucapkan itu.

Saya nggak bisa dikasarin begitu. Apalagi kondisi saya masih sangat lemah, sakit, bahkan efek bius pun masih ada. Dia yang nggak tau sesulit apa usaha saya untuk sering minum di antara rasa mual, sakit, dan enggak bisa menggerakan tubuh serta hanya menunggu segalanya dilayani.


“SIAPA BILANG SAYA NGGAK MAU MINUM, HAH? KAMU LIAT NGGAK SAYA MINUM BERAPA BANYAK?”

Semua keluarga saya, Ibu, Mamah, dan yang lainnya seperti begitu menyayangi saya. Mereka bahkan menghibur saya dan nggak pengin membuat saya sedih atau membuat saya tersinggung. Tapi di suatu sore ada yang nengok saya ...

“Kok panjangnya cuma 47 cm, Nda? Stunting lho, Nda!” kurang lebih gitu deh.
Ya Allah hati saya benar-benar hancur anak saya dikatain stunting alias cebol kurang gizi. FYI perjuangan kehamilan saya itu bertaruh nyawa lho, dan ketika berat janin sudah melawati batas minimal 2,5 kilogram yaudah saya langsung dioperasi. Dia tau nggak sih perjuangan itu? Makanya kalau dikasih link blog itu dibaca, jangan dilewati doang! Terus kalau orang curhat dipahami, jangan malah ditimpali.

Belum habis sakit hati saya dengar judgement stunting, dia sudah mengomentari saya yang memberikan susu formula.

“Kamu nggak anti ASI, kan?”
“Tau nggak sih lambung bayi itu...”
“Kenapa harus dikasih sufor?”
“Kamu nggak mau ng-ASI?”

Itu hati saya hancur berkeping-keping berserakan di jalanan. FYI lagi, bayi saya nggak bisa ditemui hingga 24 jam dan ASI saya belum bisa keluar meski saya menderita mastitis. Ya semua itu proses. Kami juga sudah mengupayakan semuanya. Dan benar aja, ASI saya baru bisa keluar setelah ada di rumah. Saya nggak mungkin dong membiarkan bayi saya kelaparan selama lima hari?!

Saya juga nggak jahat kok dengan ngasih sufor. Saya juga nggak ngasih racun, kok. Dan itu juga sebenarnya bukan urusan dia. Saya sudah cukup well educated ya soal ASI. Matanglah pengetahuan saya. Jadi nggak perlu lagi dikuliahi dengan diksi yang jelek apalagi kasar.

Ini semua cuma tentang proses

Statement-statement lain yang saya terima masih bisa saya abaikan. Saya juga mencoba untuk berdamai karena ya keluarga saya baik semua lho. Nggak ada yang jahat-jahat. Hingga di hari keempat belas, ketika itu saya sudah di rumah orang tua di Kalianda, seorang pengasuh saya dulu datang dan mencoba untuk menemani saya. Saya memang ditinggal di rumah hanya berdua dengan bayi ketika Bapak dan Ibu saya ke sekolah sampai siang. Sehingga dia bermaksud menemani dan membantu. Dari pagi, kuping saya sebenarnya sudah panas dengar omelan khas nenek-nenek kuno yang membandingkan pola pengasuhan dan mekanisme yang saya dan ibu saya jalani dalam merawat bayi. Saya berusaha tahan, hingga siang itu, selepas dia mengambil wudhu untuk sholat dzuhur...

“Sebenarnya kamu itu mau ngasih ASI atau enggak? Kalau enggak ya enggak usah sekalian. Jelas!”
Lha apa urusan dia sih?

Bukannya support saya yang lagi berusaha biar bisa direct breastfeeding dan ASI-nya lancar malah ngomong kayak gitu. Waktu itu udah hampir jam dua siang, ibu saya sudah hampir pulang. Sementara sia sholat, saya rebahkan si bayi di kasur lalu saya tutup pakai kelambu. Saya kabur ke kamar, tutup pintu. Nangis sampai jam lima.

“Aku nggak mau ketemu orang-orang! Orang-orang itu jahat!” hanya itu yang saya ingat dan saya ucapkan ke ibu saya.

Selama selepas melahirkan, saya belum pernah menangis karena tekanan. Mungkin siang itu adalah puncaknya. Semua uneg-uneg, segala kelelahan yang saya alami sejak hamil hingga saat itu rasanya membuncah.

Ibu langsung meminta Bapak untuk mengantarnya pulang. Malamnya Ibu SMS ke anaknya supaya dia nggak usah datang lagi menemani saya.

Gara-gara tangisan yang membuat mata saya nggak bisa melek itu, Ibu dan Bapak langsung memutuskan bahwa akikah anak kami, cucu pertama mereka sebaiknya dilakukan di rumah kami aja. Akikah cukup di panti asuhan sesuai rencana kami. Karena kalau di kampung sudah pasti bakal kayak hajatan dan pastinya terlalu banyak orang yang bikin saya jadi lebih stress.

 Baca juga: Mewarnai untuk Terapi Jiwa

Mental menerima ujaran kebencian macam inilah yang belum saya siapkan. Soalnya selama ini semuanya baik, keluarga saya baik, sahabat saya baik, dokter-dokter juga sangat supportif dan nggak pernah membuat saya down. That’s why saya bilang ke orang-orang yang sedang hamil atau yang ingin hamil untuk menyiapkan segalanya, fisik, mental, materi juga.

Pengalaman hamil dan melahirkan ini benar-benar menguras segalanya, air mata tapi juga tawa.

No comments

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<