The world is beating you
down, I'm around through every mood
You're my downfall, you're my muse
My worst distraction, my rhythm and blues
I can't stop singing, it's ringing, in my head for you
You're my downfall, you're my muse
My worst distraction, my rhythm and blues
I can't stop singing, it's ringing, in my head for you
(John Legend, all Of Me)
Judul buku : The
Architecture of Love
Penulis : Ika
Natassa
Editor : Rosi
L. Simamora
Desain sampul : Ika Natassa
Ilustrasi isi : Ika Natassa
Penerbit : PT
Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-03-2926-0
Cetakan : Pertama, 10
Juni 2016
Tebal : 304
halaman
Harga : Rp.
84.000
Sinopsis
New York mungkin berada di urutan teratas daftar kota yang paling
banyak dijadikan setting cerita atau film. Di beberapa film Hollywood, mulai
dari Nora Ephron’s You’ve Got Mail hingga Martin Scorsese’s Taxi Driver, New York
bahkan bukan sekadar setting namun tampil sebagai “karakter” yang menghidupkan
cerita.
Baca juga: Critical Eleven, Monster of Tears.
Ke kota itulah Raia, seorang penulis, mengejar inspirasi setelah sekian lama tidak mampu menggoreskan satu kalimat pun. Raia menjadikan setiap sudut New York “kantor”-nya.
Baca juga: Critical Eleven, Monster of Tears.
Ke kota itulah Raia, seorang penulis, mengejar inspirasi setelah sekian lama tidak mampu menggoreskan satu kalimat pun. Raia menjadikan setiap sudut New York “kantor”-nya.
Berjalan kaki menyusuri Brooklyn sampai Queens, dia mencari sepenggal cerita di tiap jengkalnya, pada orang-orang yang berpapasan dengannya, dalam percakapan yang dia dengar, dalam tatapan yang sedetik-dua detik bertaut dengan kedua matanya. Namun bahkan setelah melakukan itu setiap hari, ditemani daun-daun menguning berguguran hingga butiran salju yang memutihkan kota ini, layar laptop Raia masih saja kosong tanpa cerita.
Sampai akhirnya dia bertemu seseorang yang mengajarinya melihat kota ini dengan cara berbeda. Orang yang juga menyimpan rahasia yang tak pernah dia duga.
Cerita
biasa yang tak biasa
Lagu All of Me ini entah sudah berapa kali saya jadikan blurb di artikel saya. Alasannya klasik, lagu ini pas dengan segala kondisi romantis sekaligus galau. Apalagi dalam novel Ika Natassa kali ini diceritakan tentang seorang Raia yang kehilangan muse-nya dimana definisi muse kurang lebih menurut Raia (dan saya) adalah sama seperti di lagu All Of Me.
Seperti biasa, Ika Natassa mampu mengolah kejadian keseharian (hanya) dua orang menjadi konsumsi public yang dinanti-nantikan. Novel kedelapannya ini sukses membuat saya kehilangan mood lantaran nggak kebagian PO yang sudah saya delegasikan ke HB. Ternyata dia nggak bisa menjalankan tugas sebagai delegasi PO buku ini hingga saya uring-uringan sepanjang hari. Akhirnya saya dikirmi buku ini setelah lebih dari sebulan buku ini terbit dan saya hanya bisa menatap nanar foto-foto dengan hastag #TAOL di media social.
Seperti biasa, Ika Natassa mampu mengolah kejadian keseharian (hanya) dua orang menjadi konsumsi public yang dinanti-nantikan. Novel kedelapannya ini sukses membuat saya kehilangan mood lantaran nggak kebagian PO yang sudah saya delegasikan ke HB. Ternyata dia nggak bisa menjalankan tugas sebagai delegasi PO buku ini hingga saya uring-uringan sepanjang hari. Akhirnya saya dikirmi buku ini setelah lebih dari sebulan buku ini terbit dan saya hanya bisa menatap nanar foto-foto dengan hastag #TAOL di media social.
Ini adalah buku kedua Ika setelah
Twivortiare yang menggunakan media Twitter. Bedanya kali ini Ika Natassa
mengajak pembaca setianya untuk turut serta menciptakan alur cerita lewat
#PollStory sejak awal tahun hingga pertengahan Februari tahun ini. Konon separuh
dari novel ini lahir berkat hasil polling dari lebih 1500 penggemarnya. Ini juga
kenapa ada kata pengantar oleh Teguh Wicaksono, Partnership Lead Twitter Indonesia di halaman depan.
Meski ceritanya biasa, tapi banyak
pengetahuan baru di dalamnya. Saya dibawa menjelajahi New York dari sudut
pandang Raia-River yang sungguh berbeda. Sama halnya River, saya juga kerap
mengagumi gedung dari aspek historisnya. Dari kenapa gedung itu ada dan
bagaimana cerita di balik layarnya. Selama ini saya hanya tahu Braga, dan
gara-gara buku ini saya seperti melihat dan masuk ke dalam kepribadian
gedung-gedung yang diceritakan di dalamnya. Kekuatan diksi dan gaya bercerita
Ika mampu menghanyutkan saya untuk benar-benar tervisualisasi, bahkan lebih
baik daripada saya sekedar menonton filmnya.
Seperti novel-novel sebelumnya, ada cerita tentang makanan
yang diangkat di lokasi-lokasi unik. Ika juga berbagi pengetahuan tentang Frank
Warren, pemilik PostSecret. Selain itu terlontar juga fakta bahwa separuh warga
kota New York kebanyakan pendatang atau pindahan seperti juga kota metropolitan
Jakarta. See, membaca drama domestik
nggak selamanya nggak berguna. Selalu ada informasi baru di dalamnya.
Penulis yang
menceritakan kehidupan seorang penulis dan derita writer’s block-nya mampu menyadarkan saya sebagai pembaca bahwa apa
yang saya lakukan dengan menagih karya terbarunya itu seperti juga saya ditagih
kapan kawin. Honestly mungkin ini
remeh bagi kita pembaca yang merindukan karya mereka, tapi juga berat bagi
penulis yang menanggung beban mentalnya. Bukan hanya penulis seperti Raia, bahkan saya sendiri kerap stuck kalau sedikit bermasalah dengan muse saya, apalagi kalau sampai kehilangannya.
Mengenai alur
cerita maju-mundurnya sendiri terkadang saya emang agak bingung. Beda dengan
buku-buku sebelumnya yang jelas siapa membicarakan apa tentang siapa, di #TAOL
ini ada beberapa bagian yang rancu. Ending-nya
juga menurut saya dipaksakan cepat selesai dan terburu-buru. Tapi saya senang
membaca tentang para cameo dari Critical
Eleven dengan baby-nya yang sudah
beranjak balita. Dari sini saya semakin berpikir bahwa Ika Natassa selalu bisa
mengaitkan karakter di setiap novelnya, entah juga kalau dia kehilangan ide
cerita.
Apapun komentarnya
yang jelas saya selalu menantikan karya-karya addictable-nya Ika Natassa.
Untuk Bapak
Sungai dan Ibu Hari Raia, semoga kalian selalu bahagia!
“People say that Paris
is the city of love, but for Raia, New York deserves the title more. It’s
impossible not to fall in love with the city like it’s almost impossible not to
fall in love in the city.”
Ceritain dikit konfliknya doong.. 😊
ReplyDeleteBiar makin penasaran. LOL. Padahal mah buru2 karena ada telpon
DeletePenulis paporit saya juga... tapi baru baca terakhir Critical Eleven..
ReplyDeleteTeteh dikirim bukunya dari sini??
DeleteWaw, pas banget aku lagi butuh novel yang ringan-ringan buat temen bengong :D Meluncur ah ke Gramedia! Thanks Vita!
ReplyDeleteYuhuuuuuu... ini emang pas buat refreshing, Sist. Sekali duduk langsung abisss.
Delete