Foto: Dian Fajarika |
Aha, maafkan
kalau judul ini bernada hopeless dan mengandung curhat, sodara-sodara. Tak lain dan tak bukan ini
adalah case yang saya alami sendiri. Rektor
Itera hanya memberikan waktu tiga tahun bagi dosennya untuk kuliah S3. Dan beberapa
fakta membenarkan bahwa hampir mustahil kuliah doctor di Amerika ditempuh hanya
dalam tiga tahun.
***
Kedatangan
Pak Deden Rukmana ke Itera langsung disambut hangat dengan agenda bla-bla-bla. Mulai
dari didaulat sebagai keynote speaker pada
international conference (dan memang
karena ini beliau datang), kuliah dosen tamu di kampus Universitas Bandar
Lampung, sharing session dengan para
dosen di Itera, dan nggak ketinggalan kuliah di jurusan Urban Planning Itera (28-29/9). Beliau adalah alumni ITB yang sudah
tinggal di Amerika selama enam belas tahun. Yeay, enam belas tahun lalu saya
masih berseragam unyu dan masih bermimpi jadi duta besar, eh beliau sudah duluan
ke Amerika untuk kuliah S2. Saat ini beliau mengajar di Savanah State
University.
Apa yang ada di benak Anda jika mendengar atau membaca kata A-M-E-R-I-K-A?
Membaca buku
“Kopi Sumatera di Amerika” Yusran Darmawan dan juga tulisan-tulisannya di
Kompasiana mungkin membuat ngiler sebagian orang. Negara adidaya gitu looohh!
Honestly, menulis catatan sharing session dengan Pak Deden ini membuat saya
merasa seperti punya niche tersendiri di blog saya: BEASISWA. LOL. Actually
ekspektasi awal saya adalah bahwa ini sharing session tentang bagaimana
menembus jurnal internasional seperti diumumkan oleh Pak Bobby. Ternyata,
berubah seketika. Tak apalah, yang penting bahagia dan tepat guna.
Sesekali Amerika
memang mengundang dan membius saya dengan segala pesonanya. Menjadi setting novel yang hanya diceritakan
lewat pilihan diksi-visual hingga film-film dengan sinematografi luar biasa
berlatar Amerika. Terlebih setelah membaca The Architecture of Love-nya Ika
Natassa yang ‘New-York-banget’ –btw, NY itu Amerika kan?- dengan sisipan bumbu
asmara dan romantika tentunya membuat napas Amerika lebih lekat di dada saya. But,
I’m still on my track, kok. Santei.
Sebenarnya
cita-cita saya memang bukan kuliah di Amerika meski dulu pernah apply beasiswa
ke sana, tapi itu kan dulu waktu saya pengin murtad dari dunia engineering.
LOL. Meski ke Amerika buat saya lebih kepada
jalan-jalan menghabiskan libur tiga bulan dan deposito yang emang udah jamuran, tapi rejeki siapa yang tahu, kan?!
Tinggal di sana sementara untuk tujuan tertentu mungkin akan menarik, but not
for study. Nah, yang penting sekarang adalah mempersiapkan segala kemungkinan. Terlebih setelah terungkap fakta bahwa kuliah doctor di Amerika
nggak mungkin hanya tiga tahun lamanya. Kok bisa?
Tersangkanya adalah matrikulasi
Jadi, system
kuliah doctor di sana akan diawali dengan semacam matrikulasi selama empat
semester, kadang juga bisa diselesaikan hanya dalam tiga semester kalau mata
kuliah yang kita ambil di jenjang sebelumnya masih related. Contoh nyatanya ya
Pak Deden sendiri yang bisa nggak ngambil kuliah statistika karena sudah
belajar di S2.
Setelah lulus
kuliah itu, ada lagi semacam ujian kualifikasi dan ini jadi pembuktian kalau kita
benar-benar master di bidang yang kita pelajari itu. If you aren’t qualified
enough pulang aja ke rumah orangtuamu! *cryyyy*
Untuk ikut
ujian ini ada dua kali kesempatan. Kayak mahasiswa TPB yang cuma punya kesempatan mengulang satu kali. Tapi
jangan sedih karena ada juga program yang bisa ngasih kita gelar master walau
kita nggak bisa melanjutkan ke tahap berikutnya. So, be aware dengan term and
condition di kampus tujuan aja.
System kuliah di Amerika udah maju, Dude!
Diakui Pak
Deden bahwa siapapun yang tinggal dimanapun pasti akan ‘jualan’ Negara tersebut.
Contoh realistis aja, saya lahir dan besar di Lampung, pastinya saya nggak akan
bilang-bilang kalo Lampung nggak aman dan isinya begal semua. Karena emang
realitanya nggak sepahit itu hidup di Lampung. Dan itu yang emang harus
dikampanyekan. Beda dengan di salah satu video curhatan anak Indonesia yang
kuliah engineering di Jerman yang dibiayai orangtuanya dan memang sudah
disiapkan sejak dia masih sekolah untuk kuliah di sana. Dia cerita tentang
pahit-pahitnya aja, dan mungkin itu memang benar. Namun sepahit-pahitnya hidup
di perantauan sudah selayaknya kita perjuangkan dan yang dibutuhkan adalah trik
untuk bertahan di perantauan. Menurut Pak Deden itu mah bergantung gimana
kitanya aja.
Banyak orang
kagum dengan system pendidikan di Finlandia, tapi ternyata Amerika juga nggak
kalah luar biasa. Pak Deden sendiri
mengajar dengan platform e-learning yang juga terintegrasi dengan ‘turn it in’,
semacam tools untuk mengecek plagiarism. Bahkan presensi mahasiswa pun
terintegrasi dengan email sang dosen sehingga bisa langsung tahu siapa yang
nggak masuk tanpa ada yang titip presensi. *our problem banget*.
Jadi education
in Amerika is about how to build your character. Mahasiswa dituntut mempunyai
integritas. Integritas adalah hal yang sangat penting di Amerika. So you have
to tell to your professor anything happened to you. Nggak ada cheating-cheating
gitu di sana. Sedangkan mahasiswa baru
di sini aja udah pada pinter bersandiwara.
Untuk tutorial
sendiri ada yang namanya ‘smart thinking’ jadi kita bisa belajar online selama 24/7
alias anytime we need. Platform ini juga berguna dalam membantu kita terkait
bahasa. Dengan adanya writing center, kita bisa belajar menulis dan menuangkan
ide tanpa perlu takut kehabisan diksi atau sekedar vocabulary.
Tentang TOEFL dan GRE
Nah, Pak
Deden juga berpesan supaya kita nggak takut dengan yang namanya kendala bahasa.
Di dalam short CV-nya yang bahkan setebal 14 halaman, saya menemukan fakta
bahwa Pak Deden rajin menulis. Selain menulis jurnal penelitian, beliau juga
menulis buku, antologi, ensiklopedia dan juga publikasi di media massa.
“Jangan menjadikan Bahasa Inggris sebagai obstacle!” katanya.
Kuncinya adalah
sering-sering membaca dan mengingat kata-kata, khususnya bagi para engineer
yang memang sedikit menggunakan verbal. Sangat benar bahwa sekolahnya penulis
adalah dengan membaca. Saya jadi ingat ketika SSDK dan pada slide muncul
tentang orang-orang yang tetap berkarya di pengasingan. Mahasiswa tidak kenal
dengan Pramoedya Ananta Toer, kalau pun ada yang pernah dengar, mereka nggak
tau beliau itu siapa dan apa yang ditulisnya. Pun ketika saya bedah buku di
Unila, mahasiswa bahkan tidak membaca at least tiga buku dalam setahun. Sad but
true.
Salah seorang
peserta conference dari Palembang, Pak Darius bahkan bercerita tentang up and
down usahanya dalam meningkatkan nilai TOEFL/IELTS-nya. Beliau yang kuliah
sarjana dan master di kampus ‘unknown’ bahkan di-inferior-kan oleh advisornya
sendiri. Hingga akhirnya beliau menghabiskan uang 130 juta demi bisa mendapat
skor Bahasa Inggris yang layak untuk kuliah di Australia. Menurutnya pengorbanan
itu sangat worth karena dengan mengeluarkan biaya yang bahkan lebih mahal dari
rumah subsidi itu beliau bisa mendapat beasiswa S3, bisa menyekolahkan ketiga
anaknya gratis di sana dan tentunya mencapai impiannya. No pain no gain, kan?
Meski Bahasa
Inggris penting untuk kuliah di Amerika, jangan lupa tentang GRE yang menjadi
kunci untuk kuliah di sana. GRE yang merupakan TPA dalam Bahasa Inggris menurut
Pak Deden bukan sesuatu yang sulit dan sangat bisa disiapkan. Beliau bercerita
tentang seorang suami yang menemani istrinya kuliah di Florida ikut menyiapkan
GRE untuk studinya sendiri selama tiga bulan, hasilnya dia lulus 90%. Amazing!
“If you are not smart enough for GRE, you need to practice,”
said Mr. Deden.
Yang membedakan
kuliah S3 di Amerika dengan di tempat lainnya adalah bahwa di Amerika tidak
disyaratkan membuat proposal riset. Tapi ya setidaknya udah taulah ya kita mau
meneliti apa. Nggak buta-buta amat. Untuk kuliah di Amerika kita hanya perlu
apply dengan CV, letter of reference dari professor (baca: Rahasia tentang Beasiswa yang perlu Kamu Tahu), skor GRE dan
TOEFL no matter what’s the color of your skin. So jangan pernah merasa
inferior.
Pak Deden
sendiri selain aktif sebagai pengajar di sana juga aktif di berbagai
organisasi. Bahkan beliau juga atlet olahraga tenis dan terlihat sekali
passionnya di bidang ini. Beliau memimpin banyak tim hingga organisasi meski
rasnya berbeda dan warna kulitnya yang nggak blonde dan enggak juga negroid. Oh,
thanks Nelson Mandela!
Di samping
beasiswa untuk orang Indonesia seperti LPDP, Fullbright, Prestasi dari USAID
ada juga financial aid di setiap program doctoral. Ini bisa kita dapatkan kalau
kita bekerja sebagai asisten professor.
Saya bisa
simpulkan bahwa sekolah di Amerika nggak semengerikan yang ada di benak
orang-orang. Kecuali tentang masa studi yang tidak bisa ditawar lagi, ya. Lha
wong Pak Deden aja lulus 4 tahun 3 bulan kok. LOL.
Tetap semangat sekolah (gratis) lagi!
Semangat ya, semoga tercapai rencana S3-nya. Aku juga deg-dengan mendampingi suami mau lanjut langsung S3 atau berhenti dulu dan balik ke kantor hihi...
ReplyDeleteAamiin yaa rabb... kegalauan ibu2 yaaa :)
DeleteSemangattt. Tetap semangat. Daku juga ingin sekali sekolah lagi. Teman teman sepermainan malah udah pada S2. Lah disini udah ngomongin S3.
ReplyDeletesemangaatttt kang phaddddd! jadi juragan teri kece di Amriki oke juga sambil kuliah
DeleteWooow...semangaaat s3nya yaaa...
ReplyDeletesemangattttt teh biar bisa ke luar negeri *ogah kalah* :p
DeleteMakasih sharingnya...pas banget aku lagi mempelajari pola2 S3 di bbrp negara :).
ReplyDeleteWah bagus juga kalo Teh Tatat bersedia nulis hasil belajarnya yang dirangkum dari sini dan sana
DeleteKapan-kapan mungkin...kalo thesisku udah selesai...huhu..
DeleteAku dulu gitu Teh, nanti kalo tesisku udah selesai mau gini-gitu... realitasnya? Itu hanya wacana wkwkwkw. Semangat, Teh!
DeleteAyoo semangat, Mba. Etapi aku ga berani merantau, belum apa2 dah takut duluan. Ya gini deh, ga pernah jauh dari rumah.
ReplyDeleteTapi skr lagi naksir Wellington sih, Mba. Mudah2an bisa sampai sana, biar pun ga sekolah yah piknik2 bentar gapapa kali yah.
Sukses ya buat pendidikannya, Mba Rinda
hayu merantau, biar bisa menelisik sepersekian ribu sudut bumi
DeleteWow! Tapi kalau waktunya mepet mending ke negara lain aja yak? Nggak tahu deh ini kasusnya sama atau nggak, tapi temen saya yang kuliah master di Leeds (Inggris) bisa selesai dalam waktu satu tahun aja mbak. Ayo semangat!
ReplyDeleteMaster ya? Ummm.. saya aja dua tahun lebih. LOL. S3 juga ada yg cuma beberapa bulan bisa kelar
DeleteMbak rinda mau s3 ke amerika wow keren?dulu aku juga mimpi ingin kuliah s2 ke australia tapi mikir naik pesawatnya #pemabok kelas beratm belum lagi kalau kangen ortu,
ReplyDeleteHUwaaaa... aku nggak kepikiran perjalanan jauhnya. LOL. Bukan ke Amrik sih cita-citanya, tapi dimana aja yang terbaik bagi semua
Delete