Judul
Buku : Critical Eleven
Penulis : Ika Natassa
Tahun
Terbit : Cetakan Ketujuh,
November 2015
Penyunting : Rosi L. Simamora
Desain
Sampul: Ika Natassa
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
ISBN : 978-602-03-1892-9
Tebal : 344 halaman; 20cm
Harga : Rp. 79.000
Kata
adalah jembatan yang terbakar habis setelah kita lewati sehingga kita tak
pernah bisa kembali lagi.
Sinopsis
Aldebaran
Risjad dan Tanya Baskoro memutuskan untuk hidup bersama setelah setahun saling
mengenal satu sama lain. Tidak membutuhkan waktu yang lama untuk keduanya
merasa ‘klik’ sejak pertemuan pertama mereka di pesawat menuju Sydney.
Hingga
akhirnya badai datang menyerang rumah tangga mereka. Lima tahun setelah
peristiwa di pesawat itu, mereka justru dihadapkan pada pilihan-pilihan keputusan
yang memberatkan. Tetap bersama-sama dan menghapus kenangan pahit di antara
keduanya, atau justru memilih untuk amnesia sebagian dan mereka harus
benar-benar saling melupakan.
Hanya
karena delapan baris kata yang terlontar dari mulut Ale, membuat Anya sukses
menghindar selama enam bulan. Menganggap Ale tak ubahnya seperti meja, kursi,
atau bahkan lalat di hadapan Anya.
Dalam
dunia penerbangan, ada sebelas menit paling kritis dalam pesawat. Critical
eleven. Tiga menit pertama setelah take off dan delapan menit sebelum landing.
Begitu pula dalam hal bertemu orang-orang. Ada tiga menit pertama yang
merupakan penentu terbentuknya kesan, dan delapan menit sebelum perpisahan yang
menentukan kemungkinan pertemuan selanjutnya.
***
Seperti
biasa, Ika Natassa sukses menyajikan cerita dari seorang sahabat dekat pembaca.
Mungkin juga saudara dekat. Bahkan mungkin cerminan diri pembaca itu sendiri.
Aldebaran
Risjad, entah inspirasi darimana yang membuat Ika memutuskan sebuah nama seorang
petroleum engineer yang aneh sekaligus sulit diucapkan untuk tokoh utamanya.
Seperti juga nama tengah Tanya Baskoro. Saya lebih suka menyebutnya Ale dan
Anya. Well, lebih mudah diingat, simpel. Tapi nama panjang mereka harus diakui unik.
Tidak
membutuhkan waktu lama untuk merasa jatuh cinta pada kisah sederhana ini. saya
pikir, Critical Eleven mengalahkan posisi novel Ika yang lainnya dalam hati
saya. Bahkan saya sama sekali nggak merasa menyesal dulu pernah antri PO
Critical Eleven pakai emosi dan nangis-nangis pas nggak dapet. Yap! Buku ini
berhasil sold out dalam sebelas menit. Entah penulisnya yang gila, atau
pembacanya yang terlalu royal dan loyal. Apalagi pembaca setia yang sampai
nangis-nangis dan nyalahin pacar karena gagal PO kayak saya.
Bertutur
secara hangat, itu khasnya Ika Natassa. Konfliknya juga sederhana. Dekat sekali
dengan kehidupan real manusia. Meski bukan kehidupan real saya, karena tokoh-tokoh
yang dibangun Ika Natassa selalu saja kalangan jetset.
Baca juga: Twivortiare #2: Kehidupan Modern dalam Kicauan @alexandrarheaw.
Baca juga: Twivortiare #2: Kehidupan Modern dalam Kicauan @alexandrarheaw.
Walaupun
alur cerita maju-mundur bolak-balik saya sama sekali nggak merasa pusing dan
bingung. Sudut pandang Ale dan Anya yang saling bergantian bercerita juga nggak
membuat bosan. Saya pikir, kalau text book diceritakan dengan gaya begini pasti
akan lebih mudah dicerna. Ada bagian-bagian yang diulangi tapi nggak membuat
bosan dan justru membuat ceritanya makin lekat di ingatan.
Saya
cuma agak bingung di bagian awal. Di halaman 26 Anya bercerita tentang Ketoprak
Ciragil, ciuman pertama mereka dan kenyataan bahwa mereka terlalu cepat jatuh
cinta. Kemudian di paragraf baru langsung diceritakan tentang Ale yang baru
pulang dari offshore tengah malam. Saya belum ngeh tentang alur novel ini jadi
saya sedikit bingung. Atau mungkin cuma saya aja yang enggak nyambung bahwa itu
cerita ketika mereka sudah menikah. Entahlah.
Yang
saya bingung lagi adalah Ika Natassa kan belum menikah, bahkan kata orang dia
belum punya banyak pengalaman, tapi dia sangat pintar memilih kata tentang
percintaan, romantika, even seks. Ya itu juga kerap dia ceritakan di media
sosialnya sih. Jadi saya nggak perlu mengulas yang beginian. Juga tentang
manajemen waktu yang dia lakukan sehingga bisa sangat produktif dalam hidupnya.
Bahkan saya pikir dia bisa jadi relationship consultant. Cerdas, ya. Tapi saya
pikir, pembaca setianya itu banyak yang masih muda banget. Terlalu muda bahkan.
Apa nggak jadi makin labil? Saya aja jadi pengen cepet nikah. Ups!
Baca juga: My Little Zero Waste Party.
Baca juga: My Little Zero Waste Party.
Emosi.
Itu yang selalu diaduk-aduk oleh Ika. Saya dapat novel ini setelah perjalanan
panjang dan selalu gagal karena stok dimana-mana selalu kosong. Hingga saya
nggak sengaja ke Gramedia Botani Square Bogor dan mendapati ratusan stok
Critical Eleven. Pengen langsung borong rasanya biar orang-orang ngerasain
sulitnya saya nyari buku ini. Di antara workshop saya di Bogor, nggak mungkin
saya bisa baca. Lelah rasanya. Tapi saya selalu pengen buka buku ini. Akhirnya
saya baca ketika mau tidur selembar, habis itu dalam kereta menuju Jakarta yang
harus terhenti karena keretanya raja tega. Commuter line di Jakarta itu gila, mengubah
orang jadi teri dalam mustofa terus dikemas dalam kaleng sambil dipadatkan. Itu
loh, sambal kering yang isinya teri kecil, kentang, dan kacang tanah. Hingga
akhirnya saya lanjutkan lagi pas saya lagi nunggu Pak Dolly Lesmana di
kantornya.
Nah,
ini lagi kelebihan novel-novel Ika. Bisa dibaca dimana aja. Nggak perlu mikir
berat bahkan sampe gugling istilah dan teori di dalamnya. Kalo ada yang sedikit
aneh atau ilmiah, Ika selalu menjelaskan maksudnya.
Awalnya
saya membaca ini biasa aja. Lebih tepatnya untung biasa aja. Jadi saya nggak
terlalu emosi. Tapi pas saya baca di waiting room Bandara Soetta, saya nangis
bombay. Malu, asli! Tapi masa bodoh, saya terus membaca sampai nggak terasa
saya harus sudah boarding. Saya boarding pada panggilan terakhir penumpang
menuju Lampung. Bacaan yang mengaduk-aduk emosi saya teruskan di pesawat.
Biasanya saya tidur, tapi ini enggak. Sama sekali nggak tidur, nggak takut pas
take off dan landing juga. Dan sampe nggak rela menghadapi kenyataan saya udah
sampe Lampung karena mata saya bengkak dan bacaan belum kelar.
Saya
bukan Anya apalagi Ale. Tapi saya seperti merasakan duka mereka yang begitu
dalam. Duka kehilangan anak yang bahkan belum sempat ditimang. Anak yang dengan
susah payah dan mempertaruhkan nyawa dilahirkan untuk kemudian hilang. Kebimbangan
untuk melepas kerinduan akan kebersamaan atau dendam yang masih menghujam. Duka
yang mengharuskan mereka berada pada posisi sulit karena mempertahankan ego
masing-masing. Entah. Perasaan saya seperti tercabik-cabik. Saya merasakan sakit
yang teramat ketika cerita tentang Aidan diputar ulang.
Saya
merasakan seorang Anya dengan kesibukannya selama hamil. Bahkan saya juga
sangat paham dengan kondisi Anya yang cemas karena Aidan nggak nendang-nendang.
Hingga akhirnya Anya hanya bisa menangis pasrah menahan sakit lahir dan batin
mempertaruhkan hidup demi melahirkan buah hatinya yang tak lagi bernyawa.
Hingga jauh setelah kejadian itu, Anya bahkan menganggap Aidan seperti ada. Di
kamarnya, juga di kaos kakinya yang kerap disimpan di dalam handbag Anya.
“Apakah seorang ibu yang
melahirkan anaknya dalam keadaan meninggal akhirnya bisa mendengarkan tangis
anaknya, memeluk dan membesarkan anaknya? Apakah kalau aku masuk surga, Aidan
sudah menunggu di gerbangnya untuk akhirnya dipeluk ibundanya? ... bagaimana
seandainya kamu masih hidup? Bagaimana seandainya Mama bisa menjaga kamu lebih
baik di dalam perut Mama dulu?...” – halaman 256.
Goooddd,
perih hatiku!
Entah
karena apiknya permainan diksi dan olah kalimat Ika, atau karena hal lain
membuat saya sangat mengapresiasi karya ini. Antara menyesal karena telah
membaca kemudian berderai air mata atau bahkan ingin mengulang membaca lagi dan
ingin tahu kelanjutan cerita kehamilan kedua Anya.
Oh
ya, ending buat saya kurang seru. Saya bahkan ingin tau kelanjutannya sampai
mereka jadi kakek-nenek. Atau bahkan ketika sudah berkumpul dengan Aidan di
surga. Saya juga ingin tahu, apakah anak-anak yang tak sempat dilahirkan
kemudian dipakaikan baju bayi itu akan benar-benar mendoakan orangtuanya,
menunggui mereka, dan menolong orangtuanya dengan cara mereka sendiri?
Masalah
serupa terkadang membuat beberapa pasangan berakhir tragis. Orang-orang yang
belum dikaruniai anak hingga usia pernikahan ke sekian. Atau bahkan yang
ceritanya sama, kehilangan calon buah hati dan saling menyalahkan. Kadang juga
yang sok menyalahkan adalah pihak keluarga, utamanya mertua. Mungkin mertua
kalian bisa dikasih baca novel ini, ya! Saya jadi gatel buat mention beberapa
orang. LOL.
“Death is not the greatest loss
in life. The greatest loss is what dies inside us while we live.”
--Norman Cousins dalam
Critical Eleven
Sayangnya
kutipan penutup novel ini absolutely right! Seringkali yang kita tangisi adalah
apa yang telah pergi, tapi kita jarang banget mengevaluasi dampak dari kedukaan
bahkan pemberontakan kepada takdir Tuhan. Terkadang ada yang justru hilang,
karena kita terlalu larut dalam kesedihan.
Disclaimer:
Saya
bukan ahli bahasa, nggak pernah mendalami ilmu tentang sastra. Jadi beginilah
bentuk review saya. Suka-suka saya :)
sepertinya bukunya menarik...lama ngga baca karya-karya kereen penulis Indonesia yang makin banyak
ReplyDeleteRingan, Mbak bacaannya tuh :D
Deletepernah liat di toko buku sama ada temen yang beli, jadi penasaran juga sih sama ceritanya...
ReplyDeleteMbaakkk sekarang udah baca belum? Maaf baru tau ada komennya 😂
Deletejadi penasaran pengen baca :)
ReplyDeleteSaya belum pernah baca buku itu, jadi penasaran
ReplyDeleteAyoooo baca, Teh. Hehehe
DeleteApa saya baca novelnya aja ya? Kalau nonton kan susah ada anak yang selalu nempel sama ibunya. Hahaha. Tapi kalau bukunya sedih gitu aku bacanya jam berapa ya biar gak kelihatan anakku bahwa aku ini bisa menangis. Huaahahaha.
ReplyDelete