Judul
Buku : Orang Jujur Tidak Sekolah
Penulis : Andri Rizki Putra
Tahun
Terbit : Cetakan pertama, Oktober 2014
Penyunting : Pratiwi Utami
Desain
Sampul: Bara Umar Birru
Pemeriksa
Aksara: Chalida N.A. & septi Ws.
Penata
Aksara : Adfina Fahd
Foto
Sampul & Isi: Koleksi Pribadi Penulis
Penerbit : PT Bentang Pustaka
ISBN : 978-602-291-062-6
Harga : Rp. 49.000
“Pada dasarnya semua anak terlahir
istimewa. Orang tua dan lingkungan berperan dalam pembentukan kecerdasannya.
Anak-anak hanya butuh dukungan untuk menemukan aneka kejutan unik priceless dalam diri mereka.”
Sinopsis
Rizki yang awalnya menaruh harapan besar
kepada sekolah yang mampu mengajarkan banyak hal, seketika patah hati. Hanya
karena menolak lembar sontekan jawaban ujian yang beredar di kalangan para
siswa, Rizki dianggap aneh. Belum lagi gara-gara keterlambatannya membayar SPP
setiap bulan, Rizki nyaris menjadi sasaran sindiran para tiap pengambilan rapor
tiba.
Diskriminasi yang terjadi berkali-kali
membuat Rizki mengambil keputusan besar: berhenti
dari sekolah. Ia memilih belajar dengan caranya sendiri. Menciptakan
sistemnya sendiri.
Lewat jalur ujian kesetaraan, Rizki
mampu menamatkan SMA dalam waktu satu thaun, bahkan diterima masuk kuliah di
PTN terkemuka di Indonesia. Tak berhenti sampai di situ, ia bertekad
menyebarkan sistem pembelajaran yang ia temukan. Lewat Yayasan Pemimpin Anak
Bangsa yang ia dirikan, Rizki berhasil mengajak anak-anak jalanan, pembantu
rumah tangga, office boy, tukang
becak, dan segenap kaum miskin kota untuk mencicipi manisnya pendidikan
berlandaskan kejujuran.
***
Pertama bertemu dan mendengar celoteh
dari mulutnya secara langsung, saya berpikir bahwa Rizki adalah seorang anak
yang super keras kepala. Tidak sepenuhnya salah, setelah membaca buku ini pun
saya semakin yakin bahwa dia sangat keras kepala. Bakatnya sebagai
‘pembangkang’ sudah muncul sejak balita. Hingga kakek-neneknya (mungkin)
benar-benar sudah tidak sanggup mengawasinya dengan jiwa yang penuh api kenakalan
sekaligus keingintahuan.
Buku ini menceritakan hanya sebagian
kecil kondisi anak-anak di Indonesia. Anak-anak yang lahir dan tumbuh dalam
keluarga broken home dan menjelma
menjadi anak nakal yang selalu merasa ingin bebas. Bukan salah kondisinya.
Bukan juga salah sang anak. Meski pada akhirnya tidak sedikit anak-anak yang
kehilangan kesempatan dalam mewujudkan jawaban atas keingintahuannya, proses
penemuan jati dirinya, hingga proses tumbuh-kembang ‘se-normal-normalnya’.
Dibalik kenakalan masa kecilnya, Rizki
sebagai salah satu gambaran kondisi anak-anak yang labil menyiratkan kecerdasan
yang luar biasa. Kecerdasan yang pada akhirnya menemukan muaranya meski ia
harus mengambil keputusan yang tidak biasa bagi anak seusianya.
Keputusan untuk berhenti dari sekolah
yang diambil oleh anak-anak lain mungkin akan ditentang oleh orangtua yang
mungkin malu dicibir hingga dianggap aneh oleh lingkungannya. Mungkin juga
orangtua-orangtua lainnya justru senang dan merasa lega bahwa di tengah kesulitan
ekonomi anak mereka memutuskan untuk putus sekolah. Anak yang berada di dalam
keluarga seperti inilah yang berpotensi untuk tumpul kemampuannya. Anak-anak
yang inisiatifnya harus dipancing dulu dan butuh dukungan tentu tidak akan bisa
berdiri di atas kakinya sendiri seperti Rizki.
Faktanya, tidak sedikit anak-anak dari
keluarga kurang mampu yang justu ogah-ogahan pergi ke sekolah. Enggan berangkat
ke sekolah tanpa uang jajan yang lumayan. Ada juga anak-anak yang kerjanya
hanya keluyuran. Tak heran prestasi mereka di sekolah hanya pas-pasan. Bahkan
ada juga yang bisa naik kelas karena belas kasihan. Padahal jika mereka mau
sedikit saja berusaha belajar lebih giat, ada banyak program beasiswa yang
tentu dapat membantu mengubah jalan hidupnya. Terkadang anak-anak justru hanya
menunjukkan aksi protes mereka akibat tidak terpenuhinya kebutuhan uang jajan,
biaya les ini-itu, hingga perhatian orang-orang terdekatnya. Belum lagi
dilengkapi dengan kondisi orang tua yang belum bisa berpikir merdeka. Akibatnya,
anak akan jadi pemberontak.
Rizki hanya salah satu contoh
pemberontak yang mampu mengelola emosi dan keinginannya pada jalur yang
‘nyaris’ benar. Saya katakan ‘nyaris’ karena jika saja Rizki gagal dalam
ujiannya, bisa saja dia menjadi gila seperti kata tetangga-tetangganya. Jika
Rizki tidak mendapat dukungan dan pengertian yang begitu besar dari ibunya,
mungkin saja dia hanya akan lontang-lantung di jalanan. Jika saja Rizki
tiba-tiba kehilangan akal sehatnya dan memilih untuk berhenti berjuang, mungkin
saja tak akan ada buku dengan kisah inspiratif yang begitu mendebarkan.
Buku bersampul kuning ini tidak
mengajarkan anak-anak untuk menentang guru mereka terang-terangan. Bukan
mengajarkan untuk ramai-ramai drop out dari
sekolah formal yang penuh dengan sandiwara kejujuran. Buku ini hanya memberikan
teladan tentang keberanian seorang anak yang menjunjung tinggi kejujuran dan
berketeguhan hati untuk melakukan perubahan pada sistem pendidikan. Buku
setebal 260 halaman ini memberikan gambaran nyata porak-porandanya sistem
pendidikan. Buku yang menyimpan impian terwujudnya reformasi sistem pendidikan
yang membawa kemajuan Indonesia di masa depan.
Tak heran, meski telah terbit sejak
hampir setahun silam buku ini masih tetap terasa segar dan membuka wawasan.
Dengan gaya bercerita khas remaja, Rizki berhasil membuat pembaca merasa
seperti sedang mendengarkan kisah sahabatnya. Kisah seorang sahabat yang
menyadari pentingnya pendidikan meski ditempuh lewat jalur di luar sekolah
formal. Buku ini merupakan kisah perjuangan seorang Rizki yang mungkin saja pola pikirnya kelak berubah, jalan hidupnya berubah, dan mungkin saja kisah ini hanya berlaku pada saat sekarang saja. Tapi tak ada salahnya untuk memetik semangat dari seorang Rizki ini.
Mau baca kisah kisah seru, yuk mampir di kisah web
ReplyDeletewww kisahweb com