Untitled


.Dona.

Ough… it’s hard to believe, sweetie…!!!” Mata cokelat Claire terbelalak seketika mendengar pengakuanku bahwa aku baru saja jadi korban cinta semu Ian, bule Itali yang hampir setahun ini menjadi pelengkap hidupku yang kupikir akan nyaris sempurna. Ternyata aku sama sekali salah duga, prinsipku yang ketimuran tak disambut baik olehnya. Hingga pada akhirnya aku memilih mundur dan meyakini bahwa Tuhan masih menyisakan sesosok tak sempurna yang akan menjadikan hidupku menjadi sempurna kelak.

“Kenapa? Kamu tidak mau tinggal bersama Ian di Italy?!”

“Coba lihat aku, Dona, Aku dan Adam. Kami bahagia, Dona. Temukanlah kebahagiaanmu bersama Ian. Kamu bisa tetap mengambil master research-mu dan tidak perlu menyewa apartemen lagi, ada Ian disana, honey!” ia mencoba membandingkan gaya hidupku dengan gaya hidup bebasnya bersama Adam, lelaki yang telah dipacarinya selama dua tahun. Hah, apa – apaan ini??? Jelas saja nuraniku menolaknya.

Kami terdiam dan sibuk dengan pikiran masing – masing. Dead air.

“Jangan tanyakan alasanku untuk break dari dia, Claire!” kataku memecah kesunyian sebelum ia membombardir pertanyaan – pertanyaan yang hanya akan menguak lukaku makin dalam. Pun kalian, kalian tidak perlu tahu alasanku. Demi keutuhan dan kesembuhan hatiku, jangan tanyakan lagi mengapa.

Nampaknya Claire, sobatku yang blasteran Perancis-China seketika paham bahwa aku memang teguh dalam memegang prinsip. Dia sangat tahu itu. Hingga pada akhirnya dia memilih untuk tidak lagi mendebatku atas nama nama prinsip hidup.













.Sinta.

Braakkkk!!!! Aku membuka paksa pintu rumah Dona yang kebetulan tidak terkunci. Dengan mata berkaca – kaca dan berasa kobaran api memenuhi kepalaku, aku merangsak masuk dan mencari keberadaan Dona yang tampak terkejut dengan kedatanganku yang tiba – tiba. Pagi itu Dona masih memakai piyama lengkap dengan sandal beruang yang menurutku sudah sangat tidak pantas dipakai oleh gadis dengan usia kepala dua.

“ Sintaaaa…?! Kok nggak bilang – bilang mau kesiniiii…? Duduk, sint!” Ada rona ceria terpancar dari wajah Dona menyambut kedatanganku yang tiba – tiba. Eh, ada apa ini??? Aku tidak boleh terpesona oleh tipu muslihat polosnya.

“Jujur!!! Sejak kapan, kamu dan Mahar ada affair, hah???” mataku mulai berkaca – kaca. Badanku bergetar. Aku dikuasai amarah luar biasa dahsyat.

“….”

“Jawab!!! Kamu tuh tega banget yach…kita tuh bukan ABeGe lagi, jadi please deh, nggak usah main belakang sama mantan pacar orang lain!!!”

“…” Dona tampak bingung.

Tidak lama berselang, Melly datang tergopoh – gopoh dan mendapati kami sedang terdiam dalam suasana tegang. Kurasa Dona Masih bingung. Atau pura – pura bingung. Hah.

Melly memilih berdiri diantara aku dan Dona yang masih mematung dengan wajah bodohnya. Seketika dunia seperti berhenti berputar. Semua hening. Bahkan tak ada detak jam dinding.



.Dona.
Stand by me…
Nobody knows…

Ponselku tiba-tiba berdering. Kulihat jelas nama Mahar tertera dilayarnya. Kebetulan,pikirku.

Donaaaaaaaaaa…,” teriakan Mahar dari seberang sana membuyarkan konsentrasiku. Mahar tidak pernah memanggil namaku sesuai nama pemberian kedua orang tuaku. Sejak kecil dia memanggilku Luna. Karena kami senang bermimpi tentang bulan. Bercerita tentang bulan. Dan menyaksikan keindahan bulan dimalam hari.

Dona, tadi Shinta nemuin kamu?” Aku masih diam

“Ayoooo doonggg..jawab akuuuu…tadi Shinta nemuin kamu? Dia ngapain kamu Donaaaa?” Mahar membombardirku.

“Sejak kapan kamu ama Shinta pacaran?” Aku balik bertanya.

“Nggak. Aku nggak pacaran ama Shinta. Siapa bilang?”

“Shinta tadi ngelabrak aku. Dateng-dateng dia langsung menyerangku habis-habisan dan menuduhku ada affair dengan kamu dibelakang dia,” Aku sendu.

“….,” Mahar terdiam.

“Maafin aku Dona. Aku nggak pacaran kok sama Shinta. Hanya saja Shinta nganggep aku…,”

“Kenapa?maksud kamu Shinta ngaku-ngaku?” Aku memotong ucapannya.” Udah, deh,aku tahu banget Shinta itu gimana. Kamu nggak usah coba fitnah dia didepanku.”

Klik. Aku putuskan saluran telepon kemudian kunonaktifkan.

Kucoba membenamkan kepalaku didalam bantal. Kubiarkan pintu kamarku terbuka dan “Don’t look back in anger”-nya OASIS masih menemaniku. Tepat banget suasana hati, lagu, dan mendungnya sore ini. Kombinasi yang sesuai. Aku pun menemukan abu-abu pada langit wajah orang-orang disekitarku hari ini.
Kuraih ponsel yang tadi kulemparkan begitu saja sembari menjatuhkan tubuhku keatas kasur. Tidak lain yang kubuka adalah situs jejaring social. Ketika kubuka notifikasi twitter, terlihat bahwa Shinta mengirimkan sesuatu kepadaku.

Luna, cekidot nihhh…Link: D’ Massive, Diantara Kalian

Tidak berselang lama kemudian, datang pesan Whatsapp dari Mahar.

Dona, Shinta memang sudah lama punya perasaan khusus kepadaku. Tapi satu yang perlu kamu tahu, hanya ada kamu direlung hatiku. Sejal dulu hingga kini. Aku harap hingga esok dan selamanya.

Ah, bagaimana aku harus menjelaskan semua ini kepada Shinta? Sementara Shinta sedang dilanda amarah yang luar biasa. Aku dilanda dilemma.

No comments

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<