Awal 2020 pandemi membuntuti capaian-capaian yang justru hadir bersama konsekuensi yang cukup membuat saya berada di posisi yang rumit. Segalanya ambruk. Karir, ekonomi, mental, kesehatan, keluarga. Kacau. Saya mungkin nggak sendiri, karena pandemi dampaknya dirasakan oleh kebanyakan manusia di dunia.
Selepas itu, Tuhan hadir bersama janji-Nya sebagai bayaran atas naasnya kondisi Saya pada tahun sebelumnya. Kondisi dimana saya telah memvalidasi status saya sebagai korban bullying. Validasi yang ternyata tidak seharusnya saya konfirmasi. Validasi bahwa saya dibully nggak seharusnya memperparah kondisi fisik dan mental saya di tengah keterpurukan berbagai aspek kehidupan ketika pandemi menghantam. Hal yang tidak seharusnya saya prioritaskan adalah menempatkan dan mengakui diri saya sebagai korban.
Nyatanya ketika Tuhan datang, berbagai keajaiban saya rasakan. Mulai dari lulus sebagai awardee beasiswa LPDP, awardee green bootcamp Change.org, sampai di akhir tahun lulus seleksi CPNS yang betul-betul saya niatkan, saya pasrahkan kepada pemilik rejeki: "Tuhan, jika ini baik untuk saya, baik untuk orang-orang di sekitar saya, mohon tunjukkan jalannya. Jika memang tidak, tolong hentikan saya," ucap saya ketika akan mendaftar CPNS di tengah tugas belajar dan amanah di beberapa organisasi waktu itu. Nyatanya saya lulus. Alhamdulillah. Itu kuasa Tuhan dan benar-benar suatu keajaiban bagi saya. Beberapa orang tahu ceritanya, paham kondisi saya selama rangkaian tes tersebut. Maka saya makin percaya akan kuasa Tuhan.
Saya banyak merencanakan. Saya begitu banyak angan-angan. Tapi saya lupa, bahwa saya juga manusia yang sangat mungkin bisa gagal.
Pada suatu siang di ruang tunggu terapi, seseorang bicara pada saya, "wajarlah bikin pempek gagal, kan emang bukan ahlinya."
Deg.
Kemudian tadi terapis saya bilang,"berapa banyak hal besar yang direncanakan, yang dipikirkan, berhasil. Namun adakah hal kecil yang justru menjadi masalah besar?"
Ya, ada. Misalnya ketika malam tiba, saya suka tanya,"makan apa kita malam ini?"
Adalah bentuk kegagalan terbesar lainnya, ketika menyadari saat ini saya sudah berada di semester 6 masa perkuliahan doktoral. Ketika teman-teman saya sudah menerbitkan sekian artikel ilmiah atau bahkan merencanakan untuk seminar hasil, saya malah bingung mau mulai dari mana.
Saya gagal. Asisten penelitian saya saja sudah kabur kemana dan entah menggeluti passion mereka yang mana serta menjalani profesi apa. Saya malu dengan mereka. Padahal mereka sudah tulus hati membantu saya, tapi saya sendiri tidak tahu apa yang saya pikirkan. Tidak tahu arah pikir saya mau kemana dan seperti apa.
Saya malu dengan promotor saya yang luar biasa baik hatinya. Begitu lapang kesabaran mereka menghadapi saya, tapi saya justru entah memikirkan apa. Saya mendapatkan dukungan keluarga untuk menyelesaikan studi meski tanpa legalisasi surat tugas belajar, tapi saya ternyata mengalami penurunan daya pikir saya.
Memvalidasi kegagalan adalah tugas berat bagi saya. Kegagalan adalah momok bagi saya. Benar memang, saya terlalu banyak berjuang untuk banyak hal agar menjadi sempurna. Saya terlalu berani untuk menantang hal-hal yang mudah agar menjadi kompleks demi menuruti nafsu adrenalin saya. Nyatanya, saya manusia biasa dan gagal juga enggak apa-apa.
Nggak semua hal yang saya pikirkan harus menjadi bombastis demi memuaskan nafsu saya. Nggak semua hal bisa jadi korban untuk menyalurkan energi saya yang luar biasa. Nyatanya, saya hanya perlu jadi biasa saja. Saya nggak perlu jadi apa-apa. Saya hanya perlu jadi diri saya sebagai manusia.
Lampung Selatan,
Jumat Malam sambil nonton Rocky Gerung dan menunggu HB bakar ikan (010623)
No comments
Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<