Seminggu yang lalu, selepas sholat subuh Saya nekat membongkar lemari untuk memilah pakaian layak pakai yang sudah berbulan-bulan namun tidak Saya kenakan. Awalnya, niat Saya memang hanya memilah pakaian yang dari lemari untuk didonasikan di acara thrifting di kampus, dan tentunya supaya tidak ngantuk karena habis begadangan menulis proposal sampai sebelum sahur. Namun, dasar tangan Saya yang gatal dan diiringi suami yang menyindir dengan lagu yang kerap dia gaungkan, Saya merambat memilah satu box dan dua keranjang pakaian yang memang sudah tidak kami pakai. Alasannya, ada yang cacat, kekecilan, dan kebanyakan karena memang tidak nyaman dikenakan.
“…
You are strong but you're needy
Humble but you're greedy…” - A Beautiful Mess, Jason Mraz.
Ya, suami kerap mengatai Saya rakus dan pelit. Terlalu banyak saya menyimpan sesuatu dengan alasan “ah, nanti juga kepakai lagi,” dan begitu yakinnya Saya bahwa kelak tubuh Saya ini akan kembali ramping. Saya enggan melepas pakaian-pakaian itu juga untuk alasan ikatan emosional padahal Saya betul-betul tidak nyaman mengenakannya. Cuaca semakin hari semakin panas. Kampus tempat Saya bekerja juga kawasannya masih dalam pembangunan, jadi belum banyak pohon besar yang menyejukkan. Tidak mungkin lagi Saya mengenakan baju-baju berbahan yang tidak menyerap keringat dan mempersempit ruang gerak.
Setelah Saya cek lagi, Saya hanya meninggalkan beberapa jilbab berbahan natural viscose, tencel, dan katun. Beberapa outer dan inner serta bawahan yang juga berbahan natural. Merekalah yang Saya kenakan lagi dan lagi tidak peduli orang bosan melihatnya atau tidak. Bagi Saya, yang penting Saya nyaman mengenakannya. Pun ketika kelak pakaian itu sudah tidak layak dikenakan, Saya tinggal mengomposnya.
Baca juga: Sustainable Fashion: Ethics-Aesthetics
Kenyamanan berpakaian dan memilih bahan kain tentu tidak luput dari perubahan lingkungan yang kita semua rasakan. Dulu, lebih dari satu dekade lalu, Saya masih kerap menggunakan cardigan rajut tebal a la Korea untuk beraktivitas sehari-hari. Mundur dua dekade kebelakang, Saya ingat betul bahwa setiap kami liburan di rumah Mbah di Kaki Gunung Sukmo Ilang, Kabupaten Pesawaran, Saya harus tidur mengenakan jaket, celana training dan kaos kaki. Di sana udaranya begitu bersih, segar, bahkan air pun dingin. Sekarang, anak Saya yang berusia tiga tahun tidak pernah betah berada di sana, sekali pun sudah ada kipas angin di setiap ruangan.
Kondisi ini bahkan juga terjadi di kampung halaman suami Saya, Kota Cimahi yang konon menurut mereka dulu malah lebih dingin dari Bandung Kota. Tahun 2019 ketika anak Saya pertama kali berkunjung kesana di usia delapan bulan, tetap susah tidur karena kepanasan. Di rumah, kami menggunakan AC yang membuat pengeluaran untuk listrik melonjak. Padahal listrik kita merupakan energi kotor yang dihasilkan dari sumber energi fosil yang sama sekali tidak ramah Lingkungan.
Definitely, ini adalah salah satu dampak dari perubahan iklim alias climate change. Ya, kenaikan suhu bumi hanyalah salah satu dampaknya.
Fenomena yang menyedihkan, ya. Sayangnya tidak banyak orang yang kemudian peduli dan mengambil tindakan. Sekalipun banyak yang sudah paham, lebih banyak yang memilih untuk diam, pura-pura tidak tahu, atau yang parah malah melakukan aksi greenwashing.
Teman-teman juga bisa melihat dan menilai kampanye-kampanye bernada eco-friendly namun sebenarnya tidak lebih daripada green washing demi gimmick marketing semata. Menghindari kantong kresek dengan paperbag yang justru hanya sekali pakai dan membutuhkan banyak sumberdaya untuk membuatnya, misalnya. Atau penggunaan kresek berbahan baku oxium yang diklaim ramah lingkungan padahal tidak juga, dia tidak bisa dikomposkan.
Sustainable Living
Sebelum pandemi, kampanye penggunaan stainless straw marak sekali. Sayangnya tanpa diiringi edukasi bahwa stainless straw tidak lebih baik daripada sedotan plastik jika kamu sama-sama menggunakannya tidak sampai lebih dari 200 kali. Beli stainless straw tapi suka ketinggalan dimana aja sehingga jadi harus beli berkali-kali padahal itu juga tidak baik untuk bumi bukanlah solusi.
Gerakan membawa bekal dari rumah dan beli-beli bawa wadah juga tidak jarang membuat orang ramai beli kontainer estetik, alih-alih membeli yang berbahan kaca atau stainless. Padahal bisa saja mereka masih punya kontainer lama yang belum habis masa pakainya.
Ada lagi yang menggaungkan fashion berkelanjutan, tapi selalu tidak ketinggalan beli pakaian baru setiap brand me-launching artikel-artikel baju baru yang lucu-lucu. “Toh bahannya natural, kok,” kata mereka. Tapi coba liat bestieeee, satu model jilbab itu kamu punya berapa varian warna? Sudah itu, kamu punya berapa model?
Sustainable living means understanding how our lifestyle choices impact the world around us - Kira Simpson, thegreenhubonline.com
Sustainable living atau hidup berkelanjutan memang satu gerakan #UntukmuBumiku yang Saya dukung penuh sejak paling tidak satu dekade kebelakang. Namun, sayangnya tidak sedikit orang yang menjadikan ini sebagai suatu strategi untuk berjualan. Produk-produk dengan klaim sustainable itu sebelum dirilis dipasar harus melalui serangkaian riset yang panjang. Produk-produk itu juga menghabiskan sumberdaya yang begitu besar dalam produksinya. Sehingga, kita harus belanja berkesadaran untuk membeli produk tersebut dengan alasan karena dia lebih sustainable.
Buy less, choose well, make it last-unknown
Padahal, yang kita perlu hanya tidak impulsif. Sesederhana membeli barang tanpa membawa pulang sesuatu yang tidak kita perlukan. Misalnya, pergi belanja ke minimarket, yang harus ditolak bukan saja kantong kresek. Namun tawaran untuk membeli sesuatu yang tidak kita perlu, tidak kita rencanakan di awal, tidak ada di dalam daftar belanja kita dengan alasan “tebus murah” juga harus kita abaikan.
Hal itu adalah bagian dari belanja berkesadaran yang justru dapat menghemat uang dan waktu. Kita tidak perlu membuang waktu untuk menimbang keputusan untuk membeli barang. Sehingga kita menyadari pilihan kita dan membuat keputusan untuk memelihara kesehatan mental dan fisik.
Ada lagi, kampanye yang sejak beberapa waktu kebelakang untuk menghapus email demi keberlanjutan bumi. Sayangnya, hal itu dilakukan melalui media sosial dengan jejak karbon paling besar. Tidak salah jika sasarannya adalah mendapatkan perhatian dari pengguna yang sangat besar. Toh, kita juga bisa dapat banyak informasi terkait penyelamatan bumi juga dari media sosial. Namun menjadi kontraproduktif atau malah miris jika ditelisik lagi tentang peran dunia digital dan jejak yang ditinggalkan tanpa ada edukasi terkait hal ini.
Hidup Berkesadaran
Saya mengenal istilah ini ketika mengikuti Green Bootcamp dari Change.org. Kita semua harus berusaha untuk hidup dengan penuh kesadaran. Hal ini membantu kita fokus pada saat ini daripada galau mengenang masa lalu yang tidak ada lagi atau masa depan yang sering menyebabkan kita bersembunyi di kepala kita. Pada saat ini, kita punya kendali penuh atas pikiran, perasaan, dan tindakan yang akan membantu kita membentuk masa depan. Hidup penuh kesadaran adalah tentang hidup pada saat ini. Ini tentang tidak membiarkan hidup berlalu begitu saja. Apapun yang kita lakukan, lakukan dengan kesadaran penuh. Berpikir makan ketika sedang makan, bahwa makanan itu akan membawa banyak kebaikan, menyehatkan, abaikan tentang pekerjaan.
Saya memulai hari dengan memberikan ruang untuk diri sendiri. Saya memberikan afirmasi bagaimana Saya bisa menjalani hari dengan baik. Saya bersedia melambat dan memberikan waktu yang dibutuhkan tubuh Saya dan planet yang kian menua. Untuk menjadi berkelanjutan. Untuk menjadi sehat.
Bagi seorang muslim, Bangun sebelum Subuh dan menjalankan ibadah merupakan suatu hal baik untuk memulai hari. Dengan kesadaran penuh, pikiran, jiwa dan raga berkoordinasi untuk bisa melalui hari dengan ceria. Selepas itu, bisa stretching sampai olahraga beneran untuk cari keringat. Hal yang juga Saya suka untuk mengumpulkan kesiapan diri memulai hari adalah dengan memberi makan ikan dan mengecek kondisi tanaman. Bertanam di pekarangan bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan dan untuk kepentingan regrow semata. Ini juga bisa jadi sarana untuk melatih kesadaran dan kepekaan diri. Meski tinggal di perumahan dengan lahan sangat terbatas, kami berupaya mengoptimalkan semua sumberdaya yang ada.
Baca juga: Menjaga Bumi dengan Homesteading
Saya juga mengompos dengan berbagai media. Ada lubang biopori yang juga berfungsi untuk resapan air, ada komposter ember lengkap dengan keran, ada juga pot tanaman. Anak Saya juga senang sekali membantu Saya untuk menghaluskan kulit telur untuk kemudian ditaburkan di tanah sebagai sumber nutrisi tanaman. Dia juga mulai terbiasa memilah sampah dan belajar untuk menolak potensi sampah. Bisa dengan membeli snack dengan membawa wadah, membeli dengan kemasan bulk, atau memilih untuk membuat makanan sediri di rumah bersama-sama sambil melatih motoriknya.
Hubungan antara hidup berkesadaran dengan keberlanjutan sudah diteliti sejak puluhan tahun silam. Jadi ini bukan lagi tentang reka-reka atau cocoklogi, namun sudah ada teori ilmiah yang disusun dari evidence-evidence yang kemudian membentuk model (Erickson et al, 2014). Model teoretis di bawah ini hanyalah salah satunya. Model ini memperkuat pendapat bagaimana hidup berkesadaran dapat berfungsi sebagai strategi pengalaman yang memperkuat aspek normatif maupun relasional dari perilaku pro-lingkungan. Hingga pada akhirnya nanti akan ada perubahan perilaku untuk lebih menahan diri dan berkontribusi untuk menjaga bumi.
Thiermann and Sheate, 2020 |
Sebelumnya, Fischer et al (2017) mengemukakan mekanisme potensi kesadaran konsumsi berkelanjutan untuk mendukung pencapaian Sustainable Development Goals (SDGs), utamanya Goals ke-12, produksi dan konsumsi berkelanjutan. Menurutnya, hidup berkesadaran mengubah rutinitas, mempromosikan lebih banyak kesesuaian perilaku, memelihara nilai-nilai non-materialistis, meningkatkan kesejahteraan, dan untuk mendorong perilaku pro-sosial.
Melakukan sesuatu untuk perubahan adalah hal yang penting. Yang penting mau bergerak dan berubah terlebih dahulu. Gerakan lingkungan hanya akan tumbuh ketika ada lebih banyak dari kita yang mengambil peran dan menjadi bagian dari solusi sebagai #TeamUpforImpact.
Bagi saya, hidup berkelanjutan bukan hanya tentang membiasakan diri untuk menolak, mengurangi sampah, dan menggunakan ulang beberapa barang. Lebih dari itu, ini tentang hidup yang melambat, selalu mengingatkan diri apa yang benar-benar penting dan apa yang tidak, menikmati waktu saat ini serta bersyukur, juga bahagia atas beberapa hal kecil meski tak berwujud.
Bagi beberapa orang, mungkin saat ini terdengar seperti omong kosong. Namun kehidupan yang berkelanjutan tidak dapat benar-benar berkelanjutan tanpa adanya kesadaran penuh. Intinya, lakukan sustainable living versi kalian dengan penuh kesadaran tentunya. Biarkan orang melihat kalian dan mereka mencontoh apa yang kalian lakukan. Jika kalian belum siap untuk menerima banyak komentar negatif, tidak perlu terlalu banyak share di media sosial demi meredam komentar bahwa ini salah dan harusnya begitu yang benar. Upaya apapun yang kalian lakukan, tidak mudah untuk menjadi konsisten. Meski sedikit, bertindak dengan penuh kesadaran sangat memberikan arti bagi keberlanjutan kehidupan.
Referensi
Ericson, T., Kjnstad, B. G., & Barstad, A. (2014). Mindfulness and sustainability. Ecological Economics, 104, 73–79.
Fischer, D. , L. Stanszus, S. Geiger, P. Grossman, U. Schrader. 2017. Mindfulness and sustainable consumption: A systematic literature review of research approaches and findings. Journal of Cleaner Production Volume 162, 20 September 2017, Pages 544-558
Thiermann, U. B., & Sheate, W. R. (2020). Motivating individuals for social transition: The 2-pathway model and experiential strategies for pro-environmental behaviour. Ecological Economics, 174, 106668.
betul kak, aku kapan lalu liat youtube banyak ilmuan yang demo gt, agar pemerintah menanggapi secara serius soal isu global warming, dan mereka bilang kita punya waktu 3 tahun untuk memperbaiki lingkungan. Negara yang paling kena dampak adalah negara yang lokasinya ada di kawasan iklim tropis, salah satunya adalah indonesia. Jadi, yuk mari yuk... kita ikut perhatijan isu global warming ini...
ReplyDelete