Saya selalu gemas kalau ngomongin soal pengelolaan sampah. Gemas kenapa sesusah itu dan kenapa banyak orang yang pura-pura nggak tahu?!
Beruntung Saya dapat kesempatan untuk ikut zoom session terkait hasil studi kasus pengelolaan sampah di Kota Bandung, Selasa (29 Maret 2022). Meski mereka sudah berproses sejak tahun 2015 dan hingga sekarang sudah makin melebar daerah intervensinya, namun ternyata belum signifikan hasilnya. Tata kelola persampahan yang mengusung prinsip Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan atau lebih dikenal dengan Kang Pisman itu ternyata belum mencapai hasil yang diharapkan. Lah, kita kapan hey, Bandar Lampung? Yuk mulai yuk sekarang juga!
Menurut informasi yang disampaikan oleh Koordinator Bandung Juara Bebas Sampah, Ir. Ria Ismaria, ST, Forum Bandung Juara Bebas Sampah (BJBS) ini dibentuk dan berisikan seluruh pegiat, seluruh warga kota Bandung yang peduli agar Kota Bandung menjadi kota yang layak huni dan nyaman untuk ditinggali. BJBS lahir karena kegelisahan tidak nampak diantisipasinya peristiwa longsornya Leuwigajah pada 2015 lalu. Mereka masih tetap menerapkan kosep pengelolaan sampah kumpul, angkuat buang ke TPA. Bandung hanya punya 1 TPA Regional Sarimukti yang harus menanggung timbulan sampah yang luar biasa.
Di awal 2015 kebijakan masih sangat minim. Pendekatannya lebih ke pemberdayaan masyarakat.setelah ada bantuan dari berbaga NGO maka ada aturan yang semakin menguatkan sehingga bergeser sehingga sekarang lebih ke penguatan sistem yang perlu perencanaan bertahap di level kota dan didetailkan di level kelurahan. Di bidang teknologi juga cukup berpola. Dulu implementasi teknologi yang sudah dikenal masyarakat, sekarang mengarah ke circular economy. Bagaimana sampah dikelola dari sumbernya dan bagaimana produk bisa dimanfaatkan. Sistem pengumpulan sampah terpilah dan terjadwal yg disepakati dengan stakeholder di TPS agar DLHK bisa mendistribusikan ke sarana yag memberikan jasa pengolahan.
Peranan pemerintah tentu sangat penting di sini. Seperti yang Saya sering dengar dari Prof. Deny Juanda Puradimaja dalam berbagai kesempatan, termasuk minggu lalu sewaktu kami audiensi ke Bappeda Provinsi Lampung: Kuncinya adalah The Number One. Pemimpin daerahnya. Hingga kita pun belajar dari Kota Bandung yang saat ini memandang sampah sebagai sumberdaya ekonomi agar memiliki waktu atau lifetime yang lebih banyak dengan pengelolaan dari rumah. Bandung di dalam rencana induknya bahkan sudah tertulis ingin membangun kota bandung yang menerapkan prinsip circular economy.
Ini merupakan pengembangan dari program Zero Waste Cities (ZWC) oleh Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB) untuk mewujudkan dan mengembangkan Kawasan Bebas Sampah (KBS) pada skala kelurahan, kecamatan, hingga kota mendapati beragam tantangan. Program ZWC yang diadopsi oleh YPBB dari Mother Earth Foundation di Filipina ini merekomendasikan adanya perbaikan tata kelola persampahan di kawasan. Mulai dari regulasi, kelembagaan, operasional, pembiayaan, serta pelibatan publik. Perbaikan ini harus secara holistik. Rekomendasi ini guna memperkuat dampak positif program KBS yang sudah diinisiasi Pemerintah Kota Bandung sejak 2015 awal silam.
Rekomendasi berkaca dari pilot project KBS pada dua kelurahan, Sukaluyu dan Babakan Sari. Masyarakat pada dua kelurahan ini diminta untuk memilah sampah dari sumbernya (rumah tangga). Saat ini, Sukaluyu telah berhasil mengelola jejaring titik-titik pengomposan sampah organik di skala komunitas. Sementara dari 3 RW di Babakan Sari, 1 RW telah melakukan pemilahan sampah dari sumber secara konsisten.
Dari dua kelurahan itu, YPBB mendapati fakta, konsistensi penerapan sistem pemilahan masih sangat bertumpu pada sosok ketokohan di RW setempat. Dengan mengandalkan ketokohan individu semata, perubahan tata kelola persampahan sampah di kota Bandung akan membutuhkan waktu yang terlampau lama, sehingga tidak efisien.
Koordinator Manajer Kota untuk Program Zero Waste Cities dari YPBB, Ratna Ayu Wulandari mengapresiasi transformasi penanganan sampah oleh Pemerintah Kota Bandung lewat program KBS. Program yang mengandalkan partisipasi warga hingga pengembangan sistem sudah dijalankan maksimal walau dampaknya belum signifikan.
Regulasi dan Kelembagaan
Kuncinya adalah pada penegakkan aturan. Saat menjadi aturan maka warga bisa ikut terdorong agar terjadi perubahan lebih cepat. Pemerintah dengan beragam cara, sumber pembiayaan, agar bersiap untuk segala perangkat aturan agar kelembagaan efektif dan efisien.
Persoalan penegakan aturan itu berkaitan dengan temuan YPBB dari studi kasus di lapangan. Tanpa ketokohan yang kuat, dua RW di Babakan Sari hanya menyetor sampah organik guna memenuhi syarat ZWC. Selain itu, mekanismenya juga bermasalah. Pemilahan yang idealnya dilakukan warga di rumah, malah dikerjakan petugas pengumpul. Tantangan berikutnya, tokoh kewilayahan itu bakal berganti seiring masa jabatannya sehingga tidak bisa bergantung pada sosok orang, melainkan sistem.
KBS berlanjut ke Kelurahan Sukamiskin, Cihaurgeulis, dan Neglasari. Pada 2018, BJBS berhasil mendorong Walikota Bandung Oded M. Danial (sekarang alm) meluncurkan program “Kang Pisman”, singkatan dari “Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan”. Di bawah program “Kang Pisman”, Pemerintah Kota Bandung memprioritaskan 8 kelurahan untuk menjadi KBS. Per 2018, program KBS telah hadir di 41 RW di Bandung.
Kelurahan dan RW tidak memiliki wewenang dan sumber daya manusia memadai untuk mengelola sampah. YPBB terus mendorong jejaring pemerintah pada tingkat kecamatan dan kelurahan untuk menerbitkan regulasi kawasan yang mewajibkan warga memilah sampah.
Pada sisi operasional, pemilahan sampah dari rumah tidak dapat berjalan baik karena petugas pengumpul sampah swasta atau yang tidak terikat dengan unsur kewilayahan, sulit berkoordinasi dengan pejabat pemerintahan. Studi kasus dari Kecamatan Coblong menunjukkan mayoritas pengumpul sampah swasta itu tidak dikelola pengurus RW.
Berkaca dari studi kasus di Neglasari, salah satu KBS, koordinasi antara petugas Kang Pisman dengan perangkat kelurahan dan tim YPBB masih berjalan lambat. Petugas Kang Pisman merasa enggan dan segan menegur warga yang tidak taat. Kerja-kerja monitoring dan evaluasi yang menjadi tugas mereka pun tidak dikerjakan sesuai dengan jadwal yang telah disepakati sehingga pencapaian target mengalami keterlambatan. Kendala-kendala ini menunjukkan bahwa insentif saja (tanpa kelembagaan yang kuat) tidak akan cukup untuk memperbaiki tata kelola persampahan kawasan.
Kondisi ini memperlihatkan kelembagaan pengelolaan sampah tingkat kawasan yang masih berada dalam tahap awal transisi, partisipasi publik–peran kader, pejabat kewilayahan, dan tokoh masyarakat yang berkesadaran lingkungan dan bersedia mengalokasikan waktu untuk berpartisipasi aktif dalam program ZWC.
Namun seperti telah dikemukakan sebelumnya, bergantung pada ketokohan semata tidaklah cukup. Para tokoh dan pendamping ini tak selamanya menjabat atau tinggal di kawasan sehingga keberlanjutan sistem tak bisa selamanya bergantung pada mereka. As we all know, kalau ganti pemimpin suka ganti kebijakan. Parahnya yang kuamati IMHO kadang-kadang alih-alih melanjutkan apa yang sudah baik, memperbaiki apa yang belum sempurna, pemimpin baru malah membuat kebijakan tandingan yang seolah ingin sama sekali berbeda dan menganggap pendahulunya itu rival. Itu yang Saya amati di sini, entah di wilayah lainnya, yaaa. Memang idealnya, setiap warga menjadi partisipan aktif sesuai dengan peran, minat, dan keterampilan masing-masing dalam perbaikan tata kelola pengelolaan sampah kawasan.
Partisipasi Aktif Para PIhak
Studi komparasi YPBB menemukan pencapaian ZWC besar potensinya untuk diwujudkan bila seluruh stakeholder dapat turut serta berpartisipasi aktif. Terlebih pemerintah kota yang memiliki wewenang di daerah.
Keterlibatan pemerintah menjadi poin penting dalam tata kelola persampahan di tingkat kawasan (baca: kelurahan, kecamatan) khususnya dalam membangun kelembagaan dan penyusunan sistem pembiayaan berkelanjutan untuk sistem pengumpulan terpilah dari sumber.
Selain masyarakat diedukasi untuk mengelola sampah, tentunya mereka juga harus diberikan pemahaman terkait asal muasal masalah sampah itu sendiri. Masalah ini bisa selesai jika dan hanya jika masyarakat dapat mengurangi timbulan sampah. Pengurangan timbulan tidak hanya di TPA tapi masyarakat mengruangi timbulan dengan mengubah gaya hidup. Mereka. Penguatan aturan sangat penting ketika kita ingin mendorong sistem ini lebih maksimal. Dengan demikian warga taat aturan. Pemerintah dengan daya upayanya berkolaborasi dengan berbagai sumber pendanaan agar kelembagaan lebih efektif dan efisien.
Pembiayaan
Model-model pengumpulan sampah yang sudah ada perlu terus diperbaiki, direplikasi, serta dipercepat penyebarannya seiring dengan semakin gentingnya krisis lingkungan dan sosial.
Pemerintah Kota Bandung sudah memiliki modal guna memperbaiki tata kelola sampah dan mendorong pemilahan lewat Peraturan Daerah nomor 9 tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. Kesulitan pemerintah kota dalam menerapkan peraturan ini berkaitan dengan isu kelembagaan. Meski sudah terdesentralisasi hingga tingkat kawasan, namun belum berjalan baik karena kelembagaan dan pembagian peran pengelolaan sampah masih belum terstruktur.
Dalam hal pembiayaan, sistem pengelolaan sampah terpilah belum mendapatkan anggaran khusus secara resmi dari pemerintah kota. Padahal, jika mengacu pada sistem pengelolaan sampah holistik, para petugas semestinya digaji secara resmi oleh pemerintah.
Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung di tahun 2020-2021 baru mampu memberikan insentif saja pada beberapa (tidak semua) petugas pengumpul di Sukamiskin dan Cihaurgeulis, di luar gaji yg sudah didapat oleh petugas dari RW atau warga.
Kepala Seksi Kerjasama Teknis Operasional, Pengawasan Sampah, DLH Kota Bandung, Deti Yulianti mengakui masih adanya ketergantungan pada pendamping di wilayah terkait pengelolaan KBS sejak 2019. Kondisi ini dievaluasi dan diperbaiki dengan menciptakan sistem yang lebih berkelanjutan.
“Kita bangun dan turunkan rencana teknis pengelolaan sampah pada skala kelurahan. Tahun 2020, mulai diujicobakan sebagai model yang diujicobakan pengembangan KBS tidak fully participatory based tapi dibangun sistem, petugas pengumpul terpilah, pendamping, dan dukungan sarana dari wilayah setempat buat pengolahan sampah,” terang Deti.
Pemerintah Kota Bandung membayangkan jika konsep serupa bisa berlaku pada 151 kelurahan di kota maka target 30 persen pengurangan sampah dari pemerintah pusat bisa terpenuhi dan terlampaui. Proses ini masih belum sepenuhnya berjalan seiring transisi pengelolaan sampah dari perusahaan daerah PD Kebersihan ke unit pelaksana teknis di bawah DLH Kota Bandung.
Sementara itu, beberapa tokoh RW di Coblong mengusulkan untuk mengalokasikan dana PIPPK untuk insentif petugas pengumpul sampah. Namun, forum lurah dan camat menolak usulan tersebut karena biasanya dana PIPPK digunakan untuk kebutuhan sarana prasarana atau fasilitas umum.
Aktivitas penjemputan sampah (Foto: YPBB) |
Kondisi di lapangan memperlihatkan sebagian warga menjadi pihak yang harus berurusan langsung dengan petugas pengumpul sampah, tanpa melalui RW. Beberapa RW mengaku tidak mau mengorganisir pembayaran petugas sampah karena tak ingin disalahkan oleh warga jika ada kesalahan perhitungan retribusi.
Singkatnya, strategi pengorganisasian pembiayaan baru dan sistem retribusi yang terstruktur dibutuhkan oleh pemerintah untuk menanggung biaya-biaya yang selama ini dikeluarkan masyarakat untuk membayar layanan jasa petugas pengumpul sampah lokal
Terkait infrastruktur fisik, pengumpulan sampah terpilah dari sumber juga terkendala karena ketersediaan ruang, khususnya pada kawasan permukiman padat penduduk. Untuk mengatasi hal tersebut, YPBB merekomendasikan penggunaan infrastruktur skala kecil seperti komposter dan penampungan modular berukuran kecil, yang penyediaannya dibantu oleh DLH Bandung.
Sebagai bocoran dari Bu Deti, saat ini Pemkot Bandung harus membayar tipping fee untuk membuang sampah di TPA Sarimukti Rp.50rb/ton untuk kemudian diurug. Hal ini mengakibatkan adanya 50 meter tabungan sampah dari Metropolitan Bandung Raya (bukan hanya Kota Bandung) yang ditimbun sejak 2005 hingga 2022. TPA Sari Mukti sudah menyerah, sudah harus ditutup. Sementara itu, terhadap masyarakat di 3 desa yang dilewati 249 truk sampah mereka juga harus membayar Rp. 11.250/ton yang diikat dengan perjanjian kerjasama Pemda Jabar dengan total anggaran Rp. 31 milyar/tahun yang harus dibayarkan.
Sehingga, tipping fee yang harus dibayarkan untuk volume sampah antara 800-1.025 ton per hari saat ini yang dihasilkan di Kota Bandung, untuk dibuang ke TPA Regional Legok Nangka nanti tentu lebih mahal dari itu. Di sana konsepnya adalah penggunaan incinerator, ada investor maka biaya melonjak tapi tetap lebih murah. Untuk membuang sampah ke TPA Legok Nangka, anggaran yang dikeluarkan adalah Rp. 386rb/ton, ini ada subsidi Provinsi Jabar. Untuk membuang 800-100 ton, maka subsidinya 34%. Artinya, anggaran yang dikeluarkan jadi naik 5 kali lipat yang ahrus dibayarkan jika TPA Legok Nangka sudah beroperasi di tahun 2024-2025. Angka ini baru biaya pembuagan, belum pengangkutan
Jika dipikir-pikir, tentu masyarakat lebih memilih untuk membayar retribusi sampah daripada harus repot memilah sampah dari rumah. Sehingga untuk model yang sat ini dijalankan yaitu edukasi masyarakat door to door, petugas sampah masih didorong sehingga butuh insentif. Saat ini biaya terbesar memang untuk pembangunan model. Namun harapannya nanti petugas tidak perlu lagi berlama-lama untuk edukasi di satu wilayah, namun bisa bergeser ke wilayah lainnya sehingga wilayah intervensi makin meluas. Tentunya, jika sudah berjalan dengan baik, ada pengurangan biaya pengangkutan dan tipping fee jika sudah berjalan, pendamping akan dipindahkan ke tempat lain. Dengan skenario tersebut, kedepan efiesiensi akan tercapai ketika masyarakat sudah well educated.
Rekomendasi YPBB
Oleh sebab itu, YPBB terus merekomendasikan pemerintah untuk segera mengembangkan model dengan tata kelola ZWC yang holistik. Membangun kelembagaan dan sistem pembiayaan berkelanjutan untuk sistem pengumpulan terpilah dari sumber mesti menjadi prioritas; mulai dari penguatan regulasi dan kelembagaan dari tingkat kota hingga tingkat kelurahan, pengalihan dan pengorganisasian pembayaran petugas pengumpul sampah oleh pemerintah, pemberian wewenang dan tanggungjawab kelurahan atas pengumpulan terpilah, serta penerapan aturan pemilahan kawasan–termasuk mekanisme pengawasan dan sanksi.
Salah satu rencana DLH Kota Bandung guna mendukung pengelolaan sampah adalah dengan membuat jadwal pengangkutan sampah yang sudah terpilah. Untuk sampah organik setiap hari Senin, Rabu, Kamis, Sabtu, dan Minggu. Pengumpulan sampah anorganik setiap Selasa dan Jumat. Program ini diproyeksikan pada 18 TPS dan jika berjalan lancar bakal diterapkan pada seluruh wilayah kota.
Pembiayaan penanganan sampah sangat berat di pengangkutan dan penanganan karena harus membayar tiping fee yang ini harus menuurun dari tahun ketahun. Harapannya bisa dilakukan penangann lebih di sumber yang bisa menguatkan peran semua stakeholder.
No comments
Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<