Tentang Penyalin Cahaya dan Medusa yang Mengungkap Fakta-fakta

 

Foto: Instagram @penyalincahaya

Kita punya pilihan

Mana yang akan 

Terbungkam lalu padam

Atau berjalan melawan

 

Di Bawah Langit Raksasa. Lagu ini dengan manis membalut keresahan dan amarah akibat tidak adanya keadilan bagi para korban kekerasan seksual yang diwakili oleh Penyalin Cahaya. Sementara, Penyalin Cahaya adalah sebentuk perlawanan. Pada dunia yang tidur, pada dunia yang buta, pada dunia yang kehilangan akal dan perasaan. 

 

Suryani, seorang mahasiswa dengan prestasi akademik baik harus kehilangan beasiswanya lantaran ‘kecelakaan’. Saya lebih senang menyebutnya kecelakaan daripada keteledoran. Perasaan yang membuat Saya ingin menyudahi untuk menonton film ini padahal konflik baru saja dimulai. 


“Yaudahlah yaaa… Sur, kamu harusnya udah pulang aja. Janjimu cuma sampai jam 8!” begitu pikir Saya.

 

Mungkin perasaan itu pula yang muncul dalam beberapa kasus dimana orang-orang sering menyalahkan korban pelecehan. Ya, karena dia tidak ingin menyelami lebih dalam duduk perkaranya. Karena dia ingin cepat-cepat mengambil kesimpulan lalu muncul ke permukaan membawa penilaian-penilaian subjektif dari seorang penonton yang baru sekedar mencium baunya saja. Belum lagi melihat wujudnya, belum lagi mencicipi rasanya dengan segenap indera.

 

Sebelumnya Saya ingin memberikan disclaimer dulu. Saya bukan pengamat film, Saya tidak tahu seluk beluk dunia perfilman dan Saya hanya menulis sesuai dengan apa yang Saya rasakan setelah menonton Penyalin Cahaya.

 

Sinopsis

 

Suryani, sebagai anggota baru di Teater Matahari dianggap berjasa karena desain website besutannya yang sukses membawa kesuksesan Teater Matahari hingga akan pentas di Kyoto. Medusa, judul karya teater mereka kala itu yang kemenangannya dirayakan dengan pesta besar-besaran di rumah Rama, salah satu anggota teater yang berperan sebagai penulis karya yang mereka pentaskan itu.

 

Tentu saja Suryani tidak ingin pergi sendiri ke pesta perayaan itu. Dia mengajak Amin, temannya dari kecil yang kini berprofesi sebagai pegawai di toko fotokopi. Amin awalnya malas dan berdalih sibuk, namun ia akhirnya tetap ikut ketika Suryani berjanji untuk pulang jam delapan malam. Sayangnya, dia yang juga berjanji untuk sampai di rumah jam sembilan malah lupa waktu sampai teler dan mabuk. 

 

Terbangun di pagi hari, dia tergopoh-gopoh menuju kampus untuk mengikuti monitoring dan evaluasi beasiswa alumni. Namun iya gagal mempertahankan beasiswa lantaran pengelola beasiswa melihat foto-foto Suryani ketika mabuk di media sosialnya sendiri.

 

Sampai sini perasaan Saya cukup campur aduk dan ikut berprasangka macam-macam. Suryani bahkan sampai bersumpah membuktikan bahwa dia tidak bersalah. Didukung oleh Amin, Suryani mulai mencari kunci pembuka kotak pandora di kampus itu. Saya katakan di kampus karena memang menurut Saya masalahnya bukan hanya di teater, melainkan di kampus.

 

 

Alur Cerita yang Apik dan Jenius

 

Penyalin Cahaya yang pada akhirnya Tayang di Netflix sejak 13 Januari lalu dengan judul Photocopier ini tak hanya layak memenangkan 12 piala citra tahun lalu. Namun, film ini memang amat sangat layak ditonton oleh semua orang dengan fokus. Dengan pikiran yang agak waras, hati yang tenang, dan jangan lupa untuk menenggak air putih karena emosi kita akan diobrak-abrik di sana.

 

Diceritakan tentang pelecehan seksual dan disparitas perlakuan dari sudut pandang korban, membuat film ini sukses menghadirkan plot-plot yang mengacak-acak emosi penonton. Bahkan Saya menangis di beberapa bagian. Saya marah terlebih setelah mengingat film ini terinspirasi dari sebuah kisah nyata. Bahwa ini nyata terjadi di sekitar kita, ini bukan adegan drama dalam film semata.

 

Wregas Bhanuteja sebagai sutradara mampu menampilkan alur cerita penelusuran dengan menarik. Tak hanya jeli dan rapi, dia juga pandai memainkan emosi penonton dan mengalihkan dari fakta seperti saya yang cenderung sok tahu dan suka mendahului takdir. Simak dulu sampai selesai, duhai penonton!

 

Terungkapnya foto-foto Suryani nyatanya bukan semata-mata kasus yang dibahas dalam film ini. Selain juga sola perploncoan yang dianggap lumrah, masih banyak rahasia dan fakta yang membuat para korban bungkam. 

 

Suryani yang dianggap pantas untuk mendapatkan pelecehan tidak mendapat support nyaris dari siapapun. Bahkan Ayahnya sendiri yang bahkan tidak mau mendengar penjelasan dan lebih rela melacurkan diri dengan bersujud meminta ampun di hadapan pelaku. Sangat relate dengan kejadian-kejadian di dunia nyata.

 

Cerita ini bukan semata-mata tentang Suryani dan nasib sialnya. Ini adalah kritik keras terhadap pelecehan seksual dan disparitas perlakuan terhadap korban. Bahkan jelas sekali di sana bagaimana pola pengasuhan negatif ditunjukkan oleh orang tua, gaslighting yang selalu jadi senjata utama pelaku (ingat Aris di Layangan Putus, kan?), sampai objektivitas instansi dalam penanganan kasus serupa. Bukan hanya perempuan yang menjadi kelompok inferior di sana tapi juga laki-laki. Hanya saja, cerita ini  terlalu memojokkan pria. 

 

Semua sosok antagonis di sana adalah pria. Mulai dari pelaku, orang tua, semuanya adalah pria. Hal ini menyebabkan kesan yang tidak seimbang dan sebentuk dukungan untuk menganggap semua pria adalah bajingan. Padahal, ada juga pria yang menjadi korban dan apakah seluruh pengelola instansi, seluruh isi kepala orang-orang yang duduk di lembaga kemahasiswaan, dosen dan pejabat kampusnya sama?

 

A Must Watch

 

Suryani adalah Medusa. Di dalam mitologi Yunani, Medusa, seperti ditampilkan sebagai pentas teater di awal film ini dikisahkan sebagai perempuan berkepala ular yang dengan kejinya bisa mengubah orang menjadi patung. Seperti Suryani, setelah dilecehkan dia justri dikutuk dan tak ada orang yang mendukungnya. 

 

Film ini ditulis dengan clue-clue dan perumpamaan-perumpamaan yang sangat masuk akal. Medusa, fogging, standar penilaian perilaku seseorang, dan banyak hal digambarkan demi memberikan asupan mentah bagi penonton untuk diracik, dimasak dan ditelan sendiri. Sangat jenius menurut Saya. 

 

Sebagaimana di dunia nyata, institusi Pendidikan justru kerap tutup mulut dan menutupi perilaku seorang ‘Rama’ yang dianggap anak baik-baik, sopan, dan berasal dari keluarga terpandang yang bisa membungkam siapa saja. Kekinian, kasus pelecehan di sebuah kampus justru sangat terang-terangan ditutupi dan korbannya makin dijebloskan dalam kubangan kelam. Sudahlah korban merasa kotor, depresi, jatuh, tertimpa tangga lalu masuk jurang. 

 

Terlepas dari kontroversinya yang membuat nama salah satu penulis di hapus, film ini amat sangat layak ditonton. Saya mencoba mengambil sisi objektif. Saya mengesampingkan siapapun yang ada di balik film itu. Kemudian Saya menikmati, Saya mengangguk-angguk, Saya emosi, dan Saya meracau berkali-kali karena film ini dibuat sangat natural meski ada beberapa bagian yang membuat penonton bingung. Saya mencoba memberi nilai, dan meminta kita semua untuk hanya fokus pada pesan di dalam filmnya, bukan pada latar belakang pelakunya. 

 

Tentu proses ini harus kita kawal agar pelaku kekerasan seksual yang juga penulis mendapat ganjaran yang setimpal. Namun film ini terlalu berharga untuk dilemparkan begitu saja lantaran kelakuan salah satu penulisnya yang yaa…menurut Saya memang sebaiknya tidak layak namanya dipampang dengan segudang prestasi yang menyeret namanya akibat rilisnya Penyalin Cahaya.

 

3 comments

  1. Iya mbak. terima kasih atas tulisannya cukup memberikan pencerahan bahwa kita harus senantiasa menjaga diri dan menjaga keluarga sekitar kita. Semoga Allah memberikan penjagaan terbaikNya.

    ReplyDelete
  2. keren ya ini film dapat apresiasi luar biasa di tiktok sempat viral. Aku belum nonton tapi kepo banget abis baca review ini.

    ReplyDelete
  3. Waaah ini film yang waktu itu viral, penasaran pengen lihat langsung nih setelah baca rwview mba rinda tipis tipis

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<