“As consumers, we have so much power to change the world by just being careful in what we buy” -Emma Watson.
“Bu, itu lemari penuh?” tanya Saya sembari menunjuk ke arah lemari batu di sudut rumah.
“Iya. Itu isinya bajumu!”
Deg.
Seketika rasa bersalah itu datang lagi. Saya termasuk orang yang pernah punya koleksi baju segudang. Sementara sekarang baju orang-orang sudah lebih bagus. Akses orang menengah ke bawah untuk mendapatan baju murah dan bagus juga sudah lebih gampang.
Dulu Ibu paling rajin ngasih pakaian ke orang. Beli sepatu untuk kami nggak muat, ya tinggal dikasih ke muridnya yang butuh. Begitu juga baju sekolah yang biasanya pensiun dalam kondisi masih baik sementara udah nggak muat lagi di kami. Semua jenis pakaian itu bisa mendapatkan tempat baru dan diadopsi oleh orang yang lebih perlu. Kalau sekarang, kami harus selektif memilah pakaian mana yang mau diberikan dan kepada siapa. Orang sekarang banyak yang mudah tersinggung juga kalau dikasih barang bekas. Padahal ya sebenarnya nggak terlalu ‘bekas’ juga. Bisa jadi preloved.
Bapak dan Ibu berprofesi sebagai PNS yang hampir tiap tahun dapat bahan seragam baru. Kadang sampai ada yang nggak dijahitkan karena yang sebelumnya masih bagus. Baju seragam ini juga nggak mungkin diberikan ke orang lain. Mau dijadikan lap, bahannya nggak menyerap air. Huft. Besok-besok kalau Saya jadi orang berpengaruh, Saya akan ubah aturan terkait seragam-seragam itu jadi bahan yang nyaman dan kompostable.
Eh, Saya nggak lagi membicarakan tentang industri fast fashion dunia. Saya nggak ingin membahas HnM, Zara, atau sejenisnya yang kebanyakan dipakai orang berkelas dan pricey. Saya sedang membicarakan trend fast fashion secara umum, termasuk brand lokal bahkan unbrand.
Dulu, beli pakaian bagi Saya sesimpel tiba-tiba harus nginep di kampus dan baju udah kotor, yaudah sih tinggal melipir bentar terus beli. Kemudian beli sepatu juga kalau nggak sengaja jalan ke mall terus liat yang lucu, harga affordable, yaudah sih beli. Liat diskonan padahal enggak butuh-butuh amat, yaudah sih simpen dulu, ntar juga butuh. Kapan lagi diskon smapai 70% yakan?
Sampai akhirnya pakaian itu numpuk. Bahkan ada yang nggak sempat terpakai. Hingga akhirnya menjamur, atau tertoreh noda kuning karena terlalu lama di simpan di lemari.
“Cheap fashion is really far from that. It may be cheap in terms of the financial cost, but very expensive when it comes to the environment and the cost of human life” -Sass Brown- Fashion educator and author.
Saya tahu semua itu kelak akan dihisab di yaumil akhir. Saya percaya itu. Itu terjadi setelah Saya kenal dan mau merendahkan hati untuk belajar mengenai serba-serbi pakaian. Tepatnya ketika Saya kuliah di Jogja dan sering menemukan brand-brand pakaian lokal yang lucu-lucu, kadang mahal nggak ketulungan, dan lusuh tapi kok berkelas. Dari sana kemudian Saya belajar tentang pakaian, kain, dan Saya sadar mereka sedang berjuang dan berperang dengan pakaian branded yang di jual di mall-mall. Meski nggak semua brand lokal yang lucu-lucu itu produknya nggak worth to buy juga, sih.
Herannya, ada toko-toko lokal yang menjual pakaian dengan kualitas seadanya, desain yang sama dibuat beratus piece, tapi kok ya laku banget. Sampai dalam waktu singkat usaha mereka bisa melejit dari yang awalnya berjualan pakaian dengan sistem pre-order, sekarang bisa punya toko dan usaha anakan yang tetap ramenya nggak kira-kira. Orang-orang rebutan berbelanja. Nunggu-nunggu bahkan ada yang sampai pre-order. Bagus sih, kalau kita cuma kuliah Manajemen pemasaran sama strategi doang.
Kalau Saya dari kecil konon emang nggak suka ada yang menyamai pakaian Saya. Tapi Saya pernah berada pada level beli kemeja Rp. 35.000-an aneka warna, lalu beli lagi karena kancingnya udah putus. Pakaian jenis itu lumrah dijual di pusat-pusat perbelanjaan. Sepatu dan tas juga ada mulai harga Rp. 50.000-an. Bingung kan bayar tukang jahitnya berapa?
Enggak, Saya bukan nggak mensupport produk lokal. Saya juga bukan nggak senang mereka jadi pengusaha sukses yang bisa membuat orang-orang di sekitarnya jadi punya pekerjaan dan penghidupan yang layak. Tapi Saya cuma pengin mengajak kita semua untuk berpikir tentang hakikat pakaian itu sendiri. Tentang keberadaannya, manfaatnya, dan perhitungannya dengan Tuhan kelak.
Saya juga pernah ada di level rebutan jilbab sampe beneran pasang alarm di @vanilahijab. Itu terjadi pada 2013 atau 2014 dan jilbabnya masih Saya pakai hingga sekarang. Saat ini Saya sudah menjatah diri Saya untuk belanja baju satu tahun sekali jika butuh. Untuk sepatu, malah sejak akhir 2019 Saya belum pernah beli lagi. Bahkan lebaran pun nggak beli baju. Apalagi dihajar pandemi yang membuat Saya nggak perlu semua itu. Hidup dengan prinsip minimalis dan kere kadang emang beda tipis. Kecuali lipstik aja sih yang boros. LOL.
Saya belajar dan termotivasi juga setidaknya dari seorang @atiit yang pernah menjembreng berapa jilbab dan baju yang dia punya. Juga @dianarikasari yang sering melakukan permak pakaian yang meski warna-warni dan tabrak motif malah jadi lucu dan memperkuat karakter dia. Juga @intananggitapratiwie yang memang mempromosikan hidup minimalis dan kreatif dalam berpakaian.
Kemudian kemunculan brand-brand yang menyediakan pilihan pakaian dengan bahan yang diproses dengan pewarna alami, bahan yang kompostable, dan cutting yang tidak meninggalkan banyak perca membuat Saya percaya bahwa sustainable fashion adalah sebenar-benarnya trend di masa depan. Sebut saja @parte.co besutan @thataljundiah yang Saya beli dengan pesan tanpa kotak dan plastik. Eh ternyata dia pakai plastik yang kompostable. Untuk brand lokal Lampung, Saya lagi gandrung sama @kahutsigerbori yang menghadirkan nuansa baru dalam industri sustainable fashion di Bumi Ruwa Jurai ini.
Itu sebabnya, Saya pusing ketika Bu Anggra, owner @kahutsigerbori meminta Saya untuk memilih motif kain untuk dijadikan baju. Beneran pusing karena ego diri ini pengin semua. Pertama, karena dia menggunakan bahan 100% katun dan pewarna alam dan motif dengan menggunakan daun dan bunga real sehingga aman untuk dikomposkan ketika akhir masa pakainya kelak. Kedua, motifnya selalu unik. Dari semua kain, motif, dan warna nggak akan ada yang bisa sama plek sama sekali. Saya pun akan dengan sangat pede memakainya. Ketiga, bisa bebas mau dijahit jadi apa dan cepat jadinya. Untuk ini Saya lebih memilih untuk membuat outer karena lebih mudah dipadu padankan dengan suasana yang beda-beda.
Tadi siang (Sabtu, 29/05/2021) Saya berkesempatan keluar rumah dan pada akhirnya bisa mampir ke workshop mereka. Saya excited sekali. Terlebih di sana Saya disambut Eyang, Ibunya Bu Anggra, yang sangat welcome dan mau-maunya Saya repoti. Saya bahkan bisa melihat Bu Yuni sedang melakukan proses pewarnaan pada kain-kain yang semula berwarna putih menjadi kain yang unik dengan motif dan warna yang menarik. Saya masih berharap suatu saat bisa berkolaborasi. Apalagi Bu Anggra sudah biasa menggelar workshop eco-print bagi berbagai kalangan.
Industri sustainable fashion harusnya memang bukan sekedar berorientasi pada berapa banyak produk yang terjual sehingga owner bisa menghitung profit. Namun industri ini dapat lebih berperan dalam mengedukasi masyarakat bagaimana mewujudkan Sustainable Development Goals (SDGs) ke 12 sustainable consumption dan tentunya mewujudkan goals lainnya untuk mencapai tujuan utama ‘no one left behind’.
Kuncinya ada pada konsumen. Bagaimana kita sebagai konsumen mengerem nafsu untuk terus membeli ini-itu. Bagaimana kita berpikir apakah kita benar-benar butuh instead of berpikir wah-barangnya-lucu atau mumpung-diskon-ntar-juga-butuh. Jika konsumen sudah benar-benar bijak dalam berbelanja dan mengatur pola konsumsinya, industri juga akan berpikir terus untuk survive. Nggak perlu takut mereka rugi kemudian merumahkan karyawannya. Pengusaha yang baik tentu akan berpikir untuk fokus pada triple bottom line people, planet, and profit. Bukan sekedar profit semata.
Pernah dengar
kan produsen besar ternyata menelantarkan karyawannya? Juga aneka kasus
pencemaran sungai akibat pewarna sintetis yang merusak ekosistem dan kehidupan
masyarakat yang hidupnya bergantung pada air sungai. Kita, konsumennya juga
bisa memberikan pelajaran bagi mereka supaya sadar, bertaubat, dan nggak semata
melakukan aktivitas produksi dengan egois dan mengejar profit semata.Sustainable fashion adalah tentang ethics tanpa meninggalkan sisi estetikanya.
Akhirul kalam, coba cek keranjang belanja kita di market place. Adakah barang-barang itu benar-benar kita butuhkan? Atau sekedar pemuas nafsu untuk menaikkan adrenalin demi belanja mengejar promo semata? Kalau Saya sekarang agak sombong kalau beli barang. Nggak apa-apa barang harganya mahal tapi umurnya bisa panjang. Lebih bagus lagi kalau produknya dibuat dengan cara yang bertanggungjawab terhadap lingkungan dan karyawan juga masyarakat sekitar. Bener kata Ema Watson, konsumen punya power untuk mengendalikan pasar. Sisanya tinggal berdoa agar kelak hisab-nya bisa jadi lebih ringan.
Ya ampun. Kalau ada diskon, saya banget ini mah. Suka kepikiran ah sayang mumpung murah. Baru kemarin beli kaos olahraga merk RxxxxK diskon 75% hingga cuma bayar 49ribuan. Kan itu sudah sangat murah banget.
ReplyDeleteTapi biasanya saya barengi dengan ada baju yang keluar dari lemari. Dan hampir nggak pernah beli baju baru kecuali ada diskon menggoda. Kalau diskonnya nggak menggoda, biasanya tetap saya skip.
Nah ini, baju-baju yang harus dikelaurkan nih yg bingung. Kebanyakan baju lama ya buruk rupa. Masih nyari tempat recycle yg bisa nerima semua jenis fabric
Deletetertampar banget saya baca ini, Mba, huhuhu
ReplyDeleteSaya nih masih suka belanja pakaian bukan karena butuh tapi karena sedang diskon atau bentuknya lucu, dan beragam alasan lain, hiks
Yakannnn...apalagi kalau lagi jalan di mall, terus ada pameran baju2 lucu. Waktu tinggal di Jogja ini penyakit ya, banyak barang lucuk
DeleteIh keren quotenya dari Emma Watson. Cerdas banget kata2nya. Memang yang bisa membuat perubahan itu yaa para buyers ini, kita yang harus bisa mengontrol mana kebutuhan dan mana keinginan.
ReplyDeleteSetelah punya anak, saya jaraaang banget beli2 baju sendiri. Apalagi pandemi, makin gak pernah liat2 display baju, hijab dsb2. Baju2 saya juga udah dikasih2in sebagian besar.
Eh, skrg kalo mau pergi2 bingung milih baju. Wkwk. Padahal ya masih banyak, tapi jiwa2 ingin belanja bajunya jd muncul.lagi. haha. Untung baca ini mbak, jd mikir2 lagi kalo mau "hedon". Hehe..
Kalau Saya bingung karena setahun terakhir badan kelar banget jadi pada gamuatttt
DeleteAku termasuk orang yang sangat jarang belanja baju. Tapi sekalinya beli, benar-benar dipikirkan dari segala segi, salah satunya kualitas. Bener bahwa, belanja produk fashion mahal dan bermerk itu bukan sekadar alasan seperti yang orang umum pikirkan, ada juga yang memikirkan tentang keadaan di masa depan, terkait lingkungan. Beli produk branded memang mahal, tapi bahan, masa awetnya, dan bila kelak diberikan ke orang akan lama dipakai, itu sedikit dari cara untuk tidak egois. Mungkin ada yang gak percaya, bajuku yang kubeli 10 thn lalu, masih banyak yang bagus, dan masih kupakai sampai sekarang hihi
ReplyDeleteWaaaa... Mbak Kate in inspiratip emang. Beruntung badannya segitu2 Aja ya mbak? Hihihi kalau Rinda yang bisa sampe satu dekade Itu cuma dress Dan jilbab. Lainnya gamuaaatttt hahhaa
DeleteAku sendiri, salah satu konsumen yang menerapkan 'beli saat butuh'. Jadi, bisa dihitung dengan jari, dalam setahun berapa kali aku belanja kebutuhan fashion.
ReplyDeleteApalagi, setiap hari ke kantor dengan seragam. Kalau pas lagi ngga lagi ada acara atau bepergian, baju bagus itu ngga kepake.
Dan bismillah, semoga prinsip ini terus aku jalankan sampai besok dan kuturunkan ke anak-anakku.
Yeaayy! Semangat mbaaakkk...semoga lebih banyak lagi yang tertular di sekitar yaaaa
Deletedulu ada masanya aku tiap bulan beli baju karena kerja di perusahaan yang nggak pakai seragam. trus pas pindah ke kantor yang sekarang malah jarang beli baju. memang dari dulu aku bukan termasuk yang doyan belanja sih. sepatu juga punya cuma 2 pasang. tapi kalau belanja baju juga milihnya yang nggak sampai 300 ribu. hehehe pelit ya diriku
ReplyDeleteYang Penting kualitas ya, Qaqa? Aku pun beli ga mahal2, soalnya pas diskon haha
DeleteIntinya dari kampanye "berkelanjutan" apapun itu bidangnya sebenarnya berada di konsumen sih, terutama masalah fashion ini. Paling penting memang gimana kita bisa mengerem untuk membeli barang-barang sesuai dengan kebutuhan. Toh, untuk apa prosuden menggemborkan "berkelanjutan" tapi nyatanya orang yang membeli tetap kalap dan konsumtif.
ReplyDeleteJadi kalau menurutku memang harus dari kita sendiri mengerem diri untuk membeli barang-barang yang emang diperluin
Bener banget, ya. Makanya do SDGs bukan cuma tertarget Produksi Aja tapi juga konsumsi yang bertanggungjawab
DeleteKalau untuk urusan fashion atau baju, syukurnya saya sendiri bukan yang matanya cepat lapar. Tapi kalau sudah "mainan" elektronik duuuhhh....
ReplyDeleteYa secara tidak sengaja karena kebiasaan itu pula saya cenderung pilih barang yang berkualitas dan bisa dipakai jangka panjang ketimbang fast product hanya demi estetika semata.
Nah, dari yang saya baca di atas, untuk melakukan pengurangan konsumsi dan daur ulang saya sendiri masih coba ikut saran dari Marie Kondo untuk soal beli-beli barang.
Akutu suka merasa terjebak di masa-masa dimana aku ingin belanja untuk mengobati sesuatu. Misalnya, lagi sedih, jadi terasa lebih konsumtif.
ReplyDeleteIni cuma alesan ato gimana?
Yang pasti habit ini kudu banget dirubah.
Sadar banyak barang gak bermanfaat tuh pas pindahan rumah kemarin. Kardus yang aku bongkar terasa gak ada habis-habisnya.
Huhuu...bener banget, kita beli barang cenderung consume power.
Ini sangat bagus supaya tidak mencemari sungai
ReplyDeleteAku sih yes