Mudik dan Saya dalam Love-Hate-Relationship

Mudik pertama dan terakhir kali bersama bayi berumur belum genap satu tahun
Mudik dua tahun lalu bersama bayi berumur belum genap satu tahun

Saya pernah bilang kepada Ibu, kalau Saya benci lebaran. Sependek Saya ingat perjalanan hidup Saya menjelang, ketika, dan setelah lebbaran, kepala Saya lelah. Lelah dengan mata yang melihat perempuan-perempuan bersolek namun sangat kontras dengan karakter tubuhnya, berhias dengan pakaian warna-warni lengkap dengan aksesoris yang nampak nggak pada tempatnya, dan paling Saya ingat adalah sandal-sandal hak tinggi bahkan lancip yang dikenakan di halaman berlumpur. Sangat tidak pada tempatnya. Itulah gambaran para pemudik yang menyambangi kampung kecil Saya setelah setahun bergumul dengan Ibu Kota. Biasanya, orang-orang di kampung itu bekerja sebagai asisten rumah tangga, atau buruh di pabrik-pabrik. Ketika mudik, mereka harus nampak seperti orang Kota untuk memperlihatkan pencapaiannya.

 

Beruntung Saya nggak perlu sesering itu menyaksikan fenomena pemudik di kampung. Pasalnya, Saya lebih sering mudik juga ke rumah Mbah dari Ibu yang kebetulan rumahnya malah di kota. Berkunjung ke rumah Mbah dari Bapak rasanya nggak seheboh mudik lebaran karena kami mudik ke sana saat natal atau libur sekolah. Saya cinta mudik, karena Saya akan pulang dengan banyak uang saku, kemudian Saya akan beli alat tulis sampai jepit rambut lucu untuk dipamerkan kepada teman-teman. Tentunya semua barang-barang itu nggak dijual di kampung. Tanpa sadar, sejak itu trendsetter telah menjadi nama tengah Saya. Kalau nggak mau dibilang ‘tukang pamer’, sih. LOL.

 

Satu hal yang Saya nggak suka ketika mudik adalah 'keharusan' untuk datang dari rumah satu kerumah yang lain. Parahnya, saudara dari Mbah Saya ini luar biasa banyaknya. Belum lagi teman-teman Ibu yang tentunya ingin memanfaatkan momen itu untuk temu kangen. Kondisi yang membuat ‘Rinda Kecil’ semakin menyimpulkan bahwa mudik itu melelahkan.

 

 Tapi Saya juga suka mudik, karena ketika itu Saya bisa laporan kepada Mbah dan para sepupu bahwa Saya masih ranking satu. Sebuah pencapaian yang selalu menjadi ajang kompetisi dengan sepupu yang kebanyakan rentang usianya nggak terlalu jauh. Sialnya, kami semua memang langganan ranking satu. Jadi nggak ada pihak yang lebih unggul dari yang lainnya.

 

Kemudian, beranjak dewasa, Saya menjadi sebal dengan agenda mudik. Pertanyaan untuk Saya, bukan lagi sekedar "ranking berapa?" tapi "kapan lulus", yang kemudian disambung dengan "udah kerja di mana?" dan yang paling Saya sebal adalah "kapan nikah?" sementara waktu itu Saya memang nggak berniat menikah. Menikah bagi Saya adalah membatasi diri, membatasi pencapaian, dan sebuah dadu berisi nasib yang mungkin saja membuat hidup Saya berakhir nggak baik. Eh, ternyata setelah menikah pun, deretan pertanyaan nyelekit sampai pernyataan bernada penghakiman bukannya berkurang, tapi malah makin menjadi-jadi. Seolah ketika menjadi dewasa, manusia itu semakin menyebalkan dan selalu mau tahu urusan orang. Parahnya, orang-orang itu suka menunjukkan bahwa diri merekalah yang ‘paling’. Padahal, waktu kecil, kompetisi hanya seputar ranking dan olimpiade, tapi ketika dewasa, perihal pacar Saya yang jadi Bapak rumah tangga pun bisa jadi topik yinyiran mereka.

 

Kenapa sih, harus ada mudik segala kalau ujungnya bikin sakit hati aja!


Di masa kecil Saya, kami mudik bisa pakai motor. Mulai dari skuter tua yang katanya getaran mesinnya bikin berdebar, sampai motor CC 100 yang hype pada masanya. Kemudian setelah Saya ketambahan amanah adik dari Tuhan, kami jadi harus naik bus. Lalu, amanah adik bertambah lagi sehingga kami jadi nyarter mobil. Semua itu masih Saya lakoni dengan riang gembira. Meski nggak habis pikir, kenapa di rumah Mbah, Bapak dan Ibu seperti layaknya orang kaya. Seperti nggak pernah kesusahan di perantauan. Padahal katanya orang merantau itu penuh peluh dan air mata. Tapi di rumah Mbah, Ibu selalu terlihat bahagia. Selalu nampak bisa mentraktir siapa aja.

 

Belakangan Saya baru tahu kalau mudik bukan sekedar istilah untuk pulang ke rumah orang tua menikmati liburan. Bukan juga sekedar momen untuk maaf-maafan, sungkem, sampai nangis lebay dengan air mata berderai-derai. Apalagi tiap lebaran keempat, di keluarga besar kami ada tradisi pertemuan keluarga yang suasananya syahdu dan haru biru.

 

Dua kali Saya kedapatan momen mudik yang gagal lantaran dihajar pandemi, membuat Saya meluaskan makna mudik dari sekedar ajang kompetisi pencapaian.

 

Saya yang baru empat kali lebaran menikmati kehidupan dalam bahtera pernikahan merasa beruntung sekali pernah merasakan mudik ke rumah pacar di Pulau Jawa. Waktu itu, di tahun kedua setelah menikah, kami pulang ke Bandung. Saat itulah Saya merasa sedih, di momen takbiran Saya nggak ditemani oleh Bapak dan Ibu yang selalu ada sepanjang Saya mengingat sejarah hidup Saya. Saya malah ada bersama Mamah dan keluarga besarnya yang merupakan ‘orang asing’. Bagaimana perasaan pacar Saya yang tahun sebelumnya nggak bisa mudik karena menemani Saya yang hamil besar dan sakit? Bagaimana perasaan pacar Saya yang dua tahun belakangan enggak bisa mudik? Semua mendewasakan Saya, bahwa mudik adalah satu kata yang membuat Saya bangun dari penilaian yang terlalu kekanak-kanakan.


Mudik saat ini bukan sekedar pergi ke suatu tempat, tapi juga berjumpa secara fisik, mendekap erat hati ke hati untuk kembali memagut cinta yang mungkin sempat merenggang, dan menumbuhkan kasih agar senantiasa lekat dalam dada. Mudik bukan sekedar ikut merayakan hari besar keagamaan, lebih dari itu mudik adalah tradisi yang telah mendarah daging dalam diri Bangsa Indonesia sejak masa entah.

 

Mudik memungkinkan seseorang untuk kembali ke asalnya, kembali ke latar belakangnya, kembali membaktikan dirinya  dan menyadarkan tujuan hidupnya. Maka, ketika tiba masanya mudik, Bapak dan Ibu akan mengerahkan segenap upaya demi mengulum senyum Mbah Kakung dan Mbah Putri menyambut kedatangan kami. Entah dengan menjebol celengan, atau ngirit selama sebelas bulan kebelakang, itu semua tak jadi soal. Orang-orang dewasa itu begitu berani meretas risiko apapun yang menghadang demi bisa berkumpul dengan keluarga di kampung halaman.

 

“Apalah artinya lebaran tanpa mudik?” kata sebagian besar orang. Aku siap mengorbankan apa saja demi mudik! Aku siap mengarungi sungai jeram, menumpang truk sayuran, mencarter kapal ikan demi menerobos blokade polisi di jalan-jalan. Eh, Aku juga siap menagis berderai-derai demi dipaksa putar balik karena tidak taat aturan. Aku juga bangga bisa trending di sosmed demi membagikan trik membohongi petugas untuk mendapatkan legalitas mencapai lokasi tujuan.

 

Mudik bukan lagi perkara tradisi di Indonesia. Lebaran tanpa mudik, mungkin bagaikan kopi tanpa gula. Sehingga ketika di tahun kedua pandemi COVID-19 belum mereda dan sang virus justru berkembang biak membabi buta, banyak orang meradang ketika dihadapkan pada larangan mudik. Bahkan, katanya 2/3 pemudik yang disampling terbukti positif covid. Sehingga diramalkan jika arus mudik tahun ini tak terbendung, dampaknya bisa lebih dahsyat daripada tsunami covid di India. Mengerikan.

 

Dalam kondisi demikian, masih saja ada pro kontra. Ada yang beralasan tahun depan belum tentu usia orang tua mereka masih panjang. Ada pula yang tak tahan membendung rindu yang hanya setahun sekali dilabuhkan. Padahal, cuti sudah diputuskan tak lebih dari tiga hari. Namun manusia lebih pintar mencari celah melarikan diri dari aturan dengan mengambil cuti lebih dini. Ah, kabur juga nggak masalah. Paling juga dapat SP dari kantor. Nggak heran, banyak yang nekat meski nggak sedikit yang diminta berputar balik. Padahal kalau logika mereka masih normal, jika bisa membuktikan dengan surat keterangan bahwa mereka sudah vaksin dan terbebas dari virus, mereka legal berlebaran di kampung halaman.

 

Ya, kalau Saya sendiri pun akan pikir panjang. Modal hampir sejuta untuk swab antigen tiga anggota keluarga. Soalnya, jatah vaksin Saya baru akan diberikan selepas lebaran. Belum lagi biaya transportasi menyebrang ke Pulau Jawa. Apalagi sudah lumrah bahwa kami harus datang menenteng buah tangan. Belum lagi budget untuk angpao sanak saudara. Kemudian living cost di kampung halaman yang seringkali makan sehari budgetnya lebih besar daripada hidup di rantai seminggu lantaran untuk makan keluarga besar.

 

Hidup dalam kungkungan lumrahnya tradisi itulah yang membuat ‘kewajiban’ mudik seperti makan buah simalakama. Nggak mudik rasanya ibarat menenggak kopi tanpa gula. Namun nekat mudik, risiko dari sisi kesehatan jiwa raga dan keuangan juga dipertaruhkan.

 

Saya sepakat untuk menanggalkan sedikit sifat keras kepala dan egois demi menjaga kesehatan seluruh anggota keluarga. Bukan nggak mungkin, Saya termasuk Orang Tanpa Gejala (OTG) yang terlalu percaya diri bahwa Saya sehat, namun ternyata Saya membawa bahaya untuk keluarga. Belum lagi ancaman tradisi untuk silaturahmi dan bermaaf-maafan yang berpotensi mengurung kami dalam kerumunan, bersinggungan dengan orang lain yang abai terhadap protokol kesehatan. Apalagi Saya punya toddler yang masih lumrah ‘dipaksa’ untuk salaman dan cium tangan demi alasan kesopanan.

 

Mudik dan Saya memang masih berada pada kondisi love-hate relationship. Bahkan kadang Saya menyadari bahwa dia itu toxic. Nyatanya bukan hanya Saya yang harus menahan rindu untuk tidak bercengkrama dengan keluarga besar di momen lebaran. Jika kondisi kita semua sehat dan Tuhan masih berikan kesempatan, kita bisa bersua kapan pun kita mau. Tanpa perlu menunggu momen tahunan hanya untuk menautkan rindu. Lebar dan lebur adalah makna yang nggak harus diejawantahkan dengan pertemuan fisik semata. Kembali pada inti dari lebaran itu sendiri yaitu melebur dosa, kembali suci dan mempertahankan kebiasaan baik seperti saat Bulan Ramadan. 

 

Menahan untuk tidak mudik adalah menjaga kemaslahatan banyak orang. Menunjukkan cinta kepada keluarga bukan dengan hadir secara fisik semata, mlahan justru berpotensi membawa petaka. Apalagi di zaman yang serba mungkin ini, kita bisa mengirimkan hadiah, transfer uang untuk kebutuhan di kampung halaman, dan puas-puasin deh video call tanpa jeda. Lagi  pula, espresso menurut Saya lebih nikmat ditenggak daripada kopi susu penuh gula yang menjamur beberapa waktu ke belakang. Lebih nendang, mantap, lagi sehat. 

 


Tulisan ini dibuat dalam rangka mengikuti tema 'Mudik dalam Tulisan'yang diselenggarakan Warung Blogger


 

21 comments

  1. Kesel banget ya kalau ada saudara atau malah tetangga yang basa basi nggak penting masalah kehidupan pribadi. Hempaskan saja yang seperti itu, Mbak. Meskipun mungkin tetap ada rasa rindu ingin berkumpul dengan keluarga, di masa pandemi ini sebaiknya memang menjaga kesehatan keluarga dulu. Heu..

    ReplyDelete
  2. Sabar ya mbak, karena pandemi jadi kita semua saling jaga. mudah-mudahan, soon, kita bisa jumpa lagi dengan seluruh keluarga tanpa cemas atau waswas. Selamat Idulfitri :)

    ReplyDelete
  3. Banyak cerita tentang mudik yang membuat banyak kenangan ya. Sekitar pertanyaan kapan nikah, udah nikah ditanya udah punya anak atau belum, kalau belum disuruh cepet punya anak, udah punya anak satu disuruh nambah, kalo anaknya cowok semua suruh bikin anak creek, dan seterusnya ra uwis-uwis ya haha. Btw Selamat Idul Fitri mba, mohon maaf lahir dan batin ��

    ReplyDelete
  4. Mudik memang memiliki banyak cerita ya, ada seru, sedih, baper, HEPI, nano nano jadinya. Dua tahun ini aku juga gak ikutan mertua mudik ke kampung halamannya. Kami memilih halal bihalal via zoom. Nggak kalah serunya, malah lebih heboh terutama saat foto yang minta diulang teruuus.

    ReplyDelete
  5. Alasan klasik kenapa orang malas kumpul keluarga :) dari basa-basi yang gak enak ya. Alhamdulillah karena Pandemi jadi me-reset value mudik. Memang ga sehat kumpul2 keluarga pamer pencapaian saja

    ReplyDelete
  6. Mudik sekarang emang serba salah ya mbak? Padahal momen lebaran yang paling menyenangkan. Bisa kumpul sama keluarga. Molly juga ga bisa mudik. Sedih rasanya

    ReplyDelete
  7. Karena dari sebelum pandemi juga jarang mudik, makin kesini makin santai aja jadinya haha.

    Habisnya, mudik dari Pekanbaru ke Tasikmalaya itu akan habis banyaaaak duit. Jadi kekny lebih milih ditabung sampai cukup dananya. Daripada memaksakan

    ReplyDelete
  8. Sejujurnya aku nggak pernah mengalami mudik karena tinggal masih di kota kelahiran. Pernah sih dulu awal-awal kuliah sampai nikah, waktu bapak ibu masih tinggal di kota sebelah... cuma nggak bisa dibilang mudik juga menurutku wong masih satu provinsi.. kurang nendang lah kalau dibandingkan sama teman-teman yang perlu menyiapkan ongkos berbulan-bulan demi perjalanan satu tahun sekali. Saluuut.

    Lebih salut lagi yang mampu menahan ego untuk tetap di rumah saja selama pandemi dan menahan rindu untuk tak bersua ayah ibu. Semoga Allah segera hapuskan pandemi dan tahun depan lebaran bisa berkumpul bersama-sama keluarga besar lagi seperti biasa.

    Sejujurnya waktu kecil kumpul keluarga terasa membosankan, apalagi waktu nikah 3 tahun pertama dan belum diberi buah hati, duh rasanya malas banget mendengar kapan punya anak. Namun sekarang justru momen kumpul keluarga jadi hal menghangatkan, apalagi saat satu per satu orang kesayangan sudah pulang ke haribaanNya, rasanya berkumpul dengan kerabat yang masih tersisa terasa menyenangkan :)

    Basa-basi yang kadang masih suka mampir sudah bisa diatasi dengan senyuman dan dianggap guyon semata biar nggak bikin suasana silaturahmi jadi eneg, hehe.

    ReplyDelete
  9. Hiks Mbak, memang momen mudik kadang jadi ajang pamer pencapaian ya? atau malah pada nanya basa basi yang bikin kesel. Entah kenapa aku ga inget pernah enggak ditanya ini itu. Yg aku inget saat kecil ya senang2nya saja. Makan2an enak. Rame ketemu saudara, dan sebagainya. Seru! Makanya aq pingin anakku merasakan kenangan yg seindah itu. Ah, jadi rindu mudik

    ReplyDelete
  10. Ya Allah mba semoga kita semua menjadi orang-orang yang sabar ya. Aku pernah merasakannya sih kalau mudik justru dijadikan ajang yang bikin dengki.
    Semoga pandemi lekas hengkang dari muka bumi

    ReplyDelete
  11. Seharusnya memang di zaman modern dan serba digital sekarang ini orang-orang bisa menahan diri untuk tidak mudik dulu ya, Mbak, karena adanya pandemi. Toh bisa video call-an, angpao bisa ditransfer, dll. Tapi, kadang pemikiran orang tua tuh beda. Yang gak percaya Covid-19 lah, prasangka kalau anak-anaknya hanya cari alasan buat enggak pulang, dll..

    Selamat Idul Fitri juga, Mbak.. taqabbalallahu minna wa minkum :)

    ReplyDelete
  12. Beberapa kali di tahun-tahun yang telah lalu, saya juga sempet benci lebaran karena malas basa-basi. Maklum dulu belum belajar respon yang santuy dan nggak dibawa perasaan kalau yang dikatakan invalid hahaha. Dari situ belajar lah buat diri sendiri, semoga nggak menjadi orang yang mengeluarkan kata2 atau pertanyaan yang sensitif dan kurang mengenakkan.

    Tapi sebagai anak kecil, senangnya dapet "penghasilan" sih, jadi bisa buat beli baju, alat tulis, atau boneka baru.

    Makna mudik tahun ini rasanya jadi berbeda dan luas memang ya, kaya jadi lebih terasa. Bukan hanya sekadar mengikuti semacam tradisi atau kebiasaan pulang, namun bermaafannya juga.

    Selamat Idulfitri ya Mbak Rinda dan keluarga :)

    ReplyDelete
  13. Kapan nikah?
    Kapan lulus?
    Kapan punya anak?

    Jyiaahhh kagak brenti2 dah tuh berondongan "KAPAN" hueueue
    Aku juga benci mudik Mba
    Tapi sekarang jadi kangen ughaaa wkwkwk

    ReplyDelete
  14. Mudik jaman sekarang memang tidak murah, disini kami antar kota saja mudik juga harus antigen, kalo sekeluarga jadi bengkak biayanya hehehe

    ReplyDelete
  15. Lebaran tanpa mudik bagai kopi tanpa gula. Benar juga, dan banyak yang lebih suka kopi tanpa gula dalam artian sebenarnya maupun kiasan. Contohnya suami saya, sukanya kopi tanpa gula dan kurang suka mudik

    ReplyDelete
  16. Sejujurnya aku juga pernah ada di titik benci saat mudik ke kampung halaman krn sebel ditanya berbagai "kapan". Sampe di satu titik saat ternyata ada larangan mudik, di situ rasanya sedih sih. Ternyata kok kangen ya berkumpul bareng2 keliarga besa di momen lebaran.

    ReplyDelete
  17. Mudik saat lebaran memang jadi simalakama. Rasa rindu pada orangtua atau saudara akhirnya harus di tahan untuk bertatap wajah langsung.
    Kalau aku sebenarnya nggak pernah ada di titik, benci mudik. Hehe. Karena selalu ada cerita menarik saat mudik.

    ReplyDelete
  18. wuah ada di posisi benci tapi rindu ya mbak, hehe
    aku sih belum pernah ngerasain mudik yg jauh
    mungkin tahun depan. sepertinya aku akan enjoy2 aja meski tak dapat dipungkiri bahwa akan ada yg bikin kesal. yaa namanya aja mudik

    ReplyDelete
  19. Mudik tahun ini sangat berbeda dari mudik tahun-tahun sebelumnya.
    Selain karena adanya larangan mudik dari pemerintah,, belum lagi dengan banyaknya aturan-aturan yang membatasi para pemudik untuk pulang ke kampung halamannya. selain itu, dengan adanya kewajiban untuk menyertakan surat bebas covid ketika mudik ke kampung halaman tentu akan menambah anggaran lagi tentunya.

    Belum lagi jika di kampung nanti, harus memberi amplop kepada para ponakan-ponakan, dan anggota keluraga yang lainnya. benar adanya jika saat ini mengerem dulu rasa ego untuk mudik demi kesehatan dan kemaslahatan keluarga.

    Beruntungnya, saat ini sudah begitu banyak aplikasi yang menawarkan fitur fitur video call, yang bisa memudahkan untuk silaturahmi dan mudik secara virtual.

    ReplyDelete
  20. Cerita mudik Mbak Rinda membawa banyak kesan yang mendalam ya.
    Memang gak akan ada habisnya kalau kita selalu peduli dengan pemikiran orang. Lebih baik hempaskan saja pertanyaan basa-basi yang bikin kita kesal.

    Semoga keadaan bisa jadi lebih baik lagi ya, Mbak. Supaya kita bisa bertemu dan berkumpul dengan keluarga lagi

    ReplyDelete
  21. Pandemi yang menyebabkan kita tak bisa mudik saat lebaran ini menguji sampai dimana kekuatan hati kita untuk menahan keinginan mudik demi kebaikan bersama. Kalo memang tetap terpaksa harus mudik, sebaiknya mempersiapkan dan melindungi diri dengan sebaik mungkin.

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<