5K dari Prof. Ujang Sumarwan untuk Lulus S3 Tepat Waktu

 


Ujian Prakualifikasi adalah hal yang paling saya takuti ketika menjalani pendidikan doktoral. Hal itu Saya sampaikan pada forum diskusi Sosialisasi Tips dan Trik Sukses Kuliah Magister dan Doktor yang mendapuk Dekan Fakultas Ekologi Manusia, Prof. Dr. Ir. Ujang Sumarwan, M.Sc. sebagai pembicara. Kegiatan yang dipandu oleh Ketua Program Studi Keluarga dan Konsumen, Dr. Diah Krisnatuti  ini digelar pada Jumat (5/3/2021) secara daring.

 

Prof. Ujang menanyakan apa saja yang menjadi hambatan dalam penyelesaian studi pascasarjana. Beliau juga memaparkan 5K sebagai faktor penentu agar lulus pendidikan doktor. Hal ini juga sudah pernah disampaikan oleh Dr. Illah Sailah, Ketua Program Studi Teknik Industri Pertanian kepada Saya pada kesempatan wawancara calon mahasiswa baru, Agustus 2020 lalu. Petuah ini pula yang Saya ingat betul dan terpatri dalam otak Saya bahwa kuliah doktoral begitu berbeda. Di sinilah Saya tidak bisa mengabaikan peran main system (keluarga) untuk kesuksesan pendidikan Saya, Saya sebut keluarga sebagai main system, bukan support system.

 


Dalam acara ini, Prof. Ujang berpesan agar mahasiswa menyelesaikan semua tahapan agar lebih cepat dari POB. Ketika Prof. Ujang kuliah pada 1988 di Amerika, beliau baru menikah selama dua bulan. Beliau berangkat studi ke Amerika dengan sangat bersemangat. Di luar dugaan, ternyata beliau datang kekota kecil yang lebih kecil daripada Bogor. Di sekelilingnya bukan gedung tinggi seperti di NY atau California, tapi kebun jagung.

 

POB adalah singkatan dari Prosedur Operasional Baku (SOP)

 

Ketika beliau menghadap ke bagian Akademik, mereka menyatakan bahwa, “you are responsible to get information.”  Ketika Anda tidak tahu adalah salah mahasiswa. tidak ada alasan bahwa mahasiswa tidak tahu aturan.

 


Ada 8 tahapan proses untuk doktoral. Dalam waktu 3 semester harus sudah selesai kuliah dan hingga akhir harus mempublikasikan artikel ilmiah minimal 2. Jangan menunda, waktunya sempit yang stress juga dosennya karena dosen juga dievaluasi.

 

Berdasarkan pengalamannya untuk menyiapkan prelim, Prof Ujang tidak kuliah selama 6 bulan. Setiap hari selama 8 jam beliau menulis tangan semua hal yang harus beliau pelajari. Mahasiswa yang sudah lulus Ujian Prelim, disebut calon doktor. Saat ini kita mengadopsi sistem Amerika dan Jepang. Model prelim, model kuliah itu model Amerika. Di sana tidak ada sidang promosi dan publikasi.

 

“Kuliah di Amerika lebih mudah daripada di kebanyakan PT di Indonesia, apalagi sekaran harus publikasi dan seterusnya,” kata Prof. Ujang.

 

Bahkan ada satu anekdot yang sudah Saya dengar jauh sebelum Saya kuliah S2 adalah bahwa kuliah di IPB itu masuknya mudah, tapi keluarnya susah. Hal ini juga disampaikan oleh Prof. Ujang terkait mekanisme kelulusan mahasiswa di IPB yang cenderung terkesan sulit, terutama untuk jenjang doktor. Tujuannya hanya satu, yaitu kualitas doktor kita di Indonesia lebih baik daripada yang lain.

 


Maka time management menjadi sangat penting. Hampir 95% mahasiswa pasca sudah melewati masa kuliah tepat waktu. Sehingga permasalahan yang selama ini dinilai menghambat kelulusan mahasiswa adalah penyelesaian Tugas Akhir.

 

Prof. Ujang menceritakan pengalamannya saat baru kembali setelah meneyelesaikan pendidikan S3 di Amerika. Waktu itu usianya baru 30-an. Sementara ada mahasiswanya yang merupakan pejabat pada instansi di sebuah BUMN. Beliau adalah Hymne IPB dan ketika menjadi mahasiswa doktoral di IPB, usianya sudah mencapai 50-an.

 

“... Namun mahasiswa ini punya sikap yang selalu saya kagumi. Mahasiswa ini juga selalu mendengarkan dosennya. Yang lebih hebatnya lagi dia catat dengan baik semua materi dan ketika lulus dia menjadi yang terbaik. Setiap saya datang keruangan, dia sudah duduk paling depan. Dia begitu asyik menyimak dosen. Tidak heran catatan dia beredar termasuk kepada mahsiswa yang lebih muda daripada dia,” papar Prof. Ujang.

 

Komunikasi: Tips Memilih Pembimbing

 


K-yang pertama ini menurut Prof. Ujang adalah bagian yang sangat krusial. Semua dosen dimana pun ingin mahasiswanya sukses. Tapi ada dosen yang gaya komunikasinya berbeda. Jangan sampai mahasiswa mengadu domba dosen. Jika punya pendapat berbeda, sampaikan dengan kata yang halus.

 

“Dua yang menentukan keberhasilan studi: komunikasi dan time manajemen. Karena untuk mahasiswa pasca, kecerdasan dipandang sudah memenuhi syarat,” lanjutnya.

 

Komitment: Tips Menulis

 


Prof. Ujang berpesan agar mahaisswa setidaknya setiap hari memikirkan tesis atau disertasi walaupun hanya sepuluh menit untuk menjaga komitmen dan konsistensi. Sedangkan Bu Illah, salah satu Anggota Komisi Pembimbing Saya berpesan agar setidaknya setiap hari meluangkan waktu dua jam untuk disertasi. At least dua jam, ini pun masih sulit bagi Saya di tengah banyaknya distraksi. Sehingga solusinya adalah Saya baru bisa konsentrasi di malam hari. Mungkin berbeda cerita jika pandemi ini sudah berlalu dan semua orang beraktivitas normal. Saya kekampus, Sakhaboy ke daycare. Semua damai. I’m still trying.

 

Karakter dari dosen adalah karakter pembelajar agar tidak ketinggalan dengan hal baru.

 

Dua hal yang menjadi penting untuk difiksasi adalah topik dan metode. Prof. Ujang bercerita bahwa beliau pernah menjadi Deputi Prodi. Ketia itu beliau mengeluarkan aturan bahwa untuk mahasiswa master meimimal mereview 75 artikel ilmiah untuk doktor lebih dari 100 artikel. Tipsnya adalah setiap satu minggu menyelesaikan review satu artikel. Ketika berhadapan dengan dosen, mahasiswa menjadi lebih menguasai topik tersebut. Sementara dosen punya peranan mempertajam, meringkaskan, membuat itu jadi visible.

 

Bagi yang sudah menikah, topik penelitian itu seperti memilih istri dan suami. Ketika pembimbing sudah setuju, tulis saja. Jangan ganti-ganti, jangan ditunda.

 

“Tidak sempurna tidak apa-apa yang penting dosen setuju. Kalau dosen ngmbek, jangan dimasukin kehati. Ikuti apa kata dosen, posisikan diri sebagai murid. Yang penting dosen setuju dan jaga komunikasi dengan bahasa yang bagus. Jika tidak setuju, katakan (dengan santun),” pesannya.

 

Pada suatu ketika, Prof. Ujang pernah bertanya kepada pembimbingnya hal apa yang menyebabkan Professor tersebut memilihnya sebagai asisten riset. Professor tersebut menjawab,” You are loyal. Dulu ketika masa sulit kamu, kamu pernah saya tolak untuk mendapatkan beasiswa. Sekarang ketika kamu ada kesempatan, saya perioritaskan kamu.”

 

Jawaban dari Professor tersebut terngiang di ingatan Prof. Ujang hingga saat ini. Walaupun ketika ditolak pengajuan beasiswanya oleh Professor tersebut beliau sangat kesal. Namun hal itu tidak beliau ungkapkan. Ternyata peristiwa itu malah menjadi rezeki sendiri bagi Prof. Ujang sehingga bisa jadi research assistant-nya. Hingga kemudian pun mendapat prioritas untuk mendapatkan beasiswa bagi mahasiswa asing.

 Laporkan setiap tahapan yang dilakukan mahasiswa kepada dosen, agar nama mahasiswa terpatri pada diri dosen.

Salah satu kelemahan mahasiswa adalah ketika tahu konsep, tapi untuk mengukur perlu kerja keras dan pembimbing perlu meluruskan. Terkait hal ini, Prof. Ujang juga mengingatkan bahwa dosen belum tentu update karena pekerjaan dosen banyak sehingga terlalu lelah untuk mengupdate pengetahuannya

 

Di Amerika ada konsorsim universitas dan ada fasilitas untuk mendownload data bagi mahasiswa, ini berkontribusi membuat mahasiswa lebih cepat lulus. Ini semacam bank data, dan mahasiswa tinggal membelinya saja tanpa perlu melakukan survey sendiri. Untuk menyelesaikan tugas akhirnya, Prof. Ujang mendapatkan banyak kemudahan dari profesornya. Termasuk juga diperbolehkan untuk menggunakan data sekunder dari bank data.

 

“Kalau dengan kualitas yang sama bisa menggunakan data sekunder, gunakan saja,” kata Prof. Ujang.

 

Kesehatan:  Tips Menjaga Kesehatan dan Kebugaran

 


Prof. Ujang dulu bukanlah mahasiswa yang menonjol di kelasnya. Ternyata, masalah ada pada matanya dan beliau baru pergi kedokter mata seteah kuliah S2. Sehingga beliau berpesan agar mahasiswa memeriksakan mata kedokter baiknya sekali dalam setahun. Terlebih dalam kondisi kuliah di masa pandemi seperti sekarang ini. Saya pun baru ganti kacamata di pertengahan tahun lalu dan merasa ada yang tidak beres dengan mata Saya.

 

Keluarga: Tips Membangun Kelekatan yang Kuat dengan Semua Anggota Keluarga

 


Pentingnya keluarga juga diceritakan oleh Prof. Ujang. As I said, bagi Saya adalah main system.

 

Keuangan

 


Hal ini sudah Saya pikirkan jauh sebelum memaksakan diri kuliah untuk intake semester lalu. Masalah keuangan memang yang menjadi masalah besar bagi Saya. Beruntung di semester kedua Saya diberikan kesempatan untuk menjadi awardee Beasiswa Pendidik LPDP. Sehingga ini sangat membantu. Bagian ini akan Saya ceritakan di part lain sesuai request banyak teman.

 

Kata Prof. Ujang, di Amerika ada bank untuk kredit mahasiswa. Sehingga ketika diperkirakan akan ada mahasiswa yang berpotensi macet pembayaran SPP-nya langsung bisa dibayarkan leh bank tersebut. Kemudian mahasiswa akan membayar dengan bunganya. Itu yang belum bisa dilakukan di Indonesia karena menggunakan skema bunga.

 

Kegiatan ini sangat penting menurut Saya. Kegiatan semacam ini pun harusnya lebih sering digelar dengan audiens yang lebih banyak sehingga bisa menjangkau penerima manfaat yang lebih banyak pula. Untuk itu Saya membuat postingan ini agar bisa menyebarluaskan hal baik yang Saya dapatkan dari sharing tips dan pengalaman oleh Prof. Ujang.

 

Bagi teman-teman yang berminat, silakan nanti mengikuti kegiatan pelatihan penulisan jurnal yang akan digelar pada 27 Maret 2021 yang akan diisi oleh pemateri dari Wellington Victoria University.

18 comments

  1. Saya sendiri menggebu-gebu pengin mengenyam pendidikan hingga S3, tapi setelah kenal dunia kerja dan bertambahnya usia, jadi malas. Dan tentunya support dari lingkungan dan keluarga juga yang agak sulit untuk laki-laki terus menerus kuliah tanpa jeda.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Laki-laki biasanya dituntut tanggungjawabnya untuk bisa "menghidupi" keluarga ya, Bang. Jadi kalau sudah mendapat kenyamanan di bidang tertentu yaudah tinggal ditekuni gitu ya, Bang. Dan upgrade diri juga nggak melulu harus dengan sekolah lagi, sih. Semangat, Bang!

      Delete
  2. Mbaaak kita satu almamater dong hihi. Tapi aku belum lanjut S3 nih, mentok di magister hihi. Makasih banyak insightnya, jadi tau apa yang dipersiapkan kalau mau lanjut S3 suatu hari nanti. Anw Prof Ujang anaknya temen SD SMP aku hahaha, dan jadi anak IPB juga wkwk.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kamu kan sekarang dosen di sana. Dosen aku hahahaha. Semangat-semangat! Semoga dimudahkan nanti yaa... Penasaran anak Prof. Ujang kayak apa ya

      Delete
  3. Ha motivasi ini untuk diri sendiri. Mudah mudahan ada waktu dan kesempatan biar bisa nyobain tipsnya. S1 aja susah tepat waktunyaaaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Jangan syalah, Saya S1 4,5 tahun, S2 malah 3 tahun hahaha. Semoga bisa balas dendam pas S3

      Delete
  4. Selalu kagum sama orang yang benar-benar memprioritaskan pendidikan, bahkan sampai S3. Kerennnnnn. Pengen banget punya semangat tinggi seperti Mbaknya. Tapi aku orangnya bosenan. Btw, semangat, Mbak!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Banyak cara untuk up grade diri, Kakak. Semangat! Terima kasih yaaaaa

      Delete
  5. kalo saya udah nggak minta kuliah lagi... udah cape mikir hihi.. tapi anak anak punya cita cita mau kuliah dan kerja di jepang.. saya dukung aja .. moga moga sama bagusnya dengan universitas yg di amrik ini sistemnya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kata cerita Jepang dan Amrik beda kultur pendidikannya aja, Mbak. Semangat-semangat! Support orang tua penting bangetttttt

      Delete
  6. Saya dulu punya mimpi untuk bisa mengenyam pendidikan sampai S3, bahkan punya universitas pilihan juga. S1 di UI, S2 di UI, S3 di Australia. Tapi apa daya, ketika sudah mengenal dunia kerja, entah kenapa isi kepala tidak semudah seperti dulu dalam menyerap materi. Masih bersyukur bisa lulus S1.
    Sungguh sangat mengapresiasi, bagi mereka yang terus mengejar pendidikan sampai S3.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku pun punya kampus impian, huhuuuuu. Semoga ada kesempatan datang kekampus impian kita meski bukan dalam rangka sekolah yaaa

      Delete
  7. Wahhh, ketemu senior nih, salim dulu ahh hihii. Setuju banget kak, kalau di IPB itu masuknya mudah tapi keluarnya susah. Dan, perihal time management ini nih yang jadi kunci utama bagi para mahasiswi untuk menyelesaikan tugas akhir. Duh, gak kebayang kalau S3 bakal bagaimana mba, karena ketika saya S1 pun lulusnya emang susah banget huhuu. Inspiring banget nih mba catatannya, semangat Mba Rinda.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah, S1 di IPB juga susah ya ternyata. Tapi teman-temanku yang S1 di IPB "jadi orang" semua. Luar biasa yah tempaannya

      Delete
  8. Salut sama mbaknya yang masih semangat kuliah sampai jenjang S3. Semoga lancar2 kuliahnya mpe lulus nanti ya mba. Tuk urusan kuliah jujur saat ini saya masih terbersit keinginan untuk kuliah lagi minimal lanjut S2. Tapi kalo untuk S3 belom kepikiran sama sekali. Apalagi setelah baca tulisan ini, butuh banyak sekali perjuangan ternyata. Semangkaa.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Waduh, jadi tulisanku bikin makin jiper ya mbak? Hihi... semangat-semangat! BTW teman sekelasku ada yang seusia Bapakku lho, udah pensiunan

      Delete
  9. Baca ini kok saya nangis sih Mbak hahaha
    Soalnya aku resign dari dosen demi anak anak karena di kota besar Surabaya aku nggak ada keluarga buat jagain mereka

    Impianku dulu bisa sampai profesor bidang kimia anorganik padahal...

    ReplyDelete
  10. Dari semua 5K yang disampaikan, rasa-rasanya ini ga cuma buat S3 saja tapi bisa untuk semua civitas academica dari jenjang sarjana. Sebagai yang sempat uring-uringan buat menyelesaikan S1, baca tulisan ini jadi semangat buat nyari rezeki untuk S2. Terima kasih mba buat artikelnya.

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<