Hadapi Anak Tantrum tanpa Ikut Tantrum

 


Menjadi orang tua bagi kami memang benar-benar bukan sekedar melahirkan Sakhaboy kedunia. Menjadi orang tua adalah melahirkan Saya sebagai Ibu, melahirkan HB sebagai Bapak , melahirkan orang tua Saya sebagai Eyang, dan melahirkan orang tua HB sebagai Aki dan Nini. Kami benar-benar terlahir kembali. Kami semua sama-sama harus belajar. Seperti juga Sakhaboy yang berproses, kami juga berproses, utamanya Saya dan HB.

 

Saat ini Sakhaboy sedang melewati usia dua tahun. Usia yang katanya paling menantang. Usia yang katanya paling menguras segalanya. Teribble two, mereka seringkali menyebutnya demikian.

 

Menjelang usia dua tahun, semua masih mulus dan terkesan biasa saja. Terlebih masih ada daycare yang sangat bisa kami andalkan dalam meng-outsource-kan pengasuhan Sakhaboy selama siang hari. Tumbuh kembangnya pun sangat baik. Sehingga masalah yang kami pikirkan saat itu benar-benar hanya perkara finansial yang tak kunjung membaik.

 

Semua permasalahan bermula ketika kami pindah rumah setahun yang lalu. Di rumah yang baru, kami dihajar pandemi. Daycare pun tutup dan juga usaha HB terpaksa gulung tikar. Di saat yang complicated seperti itu, Saya justru masih harus kerja siang dan malam. Literally siang dan malam karena Saya on call sekitar 20 jam sehari. Meski pandemi, ada beberapa pegawai yang masih harus terus masuk kekantor dan tidak WFH, Saya salah satunya.

 

Di rumah, HB mengurus Sakhaboy. Di antara malam-malam kami yang lebih sering begadangan karena Sakhaboy masih sulit tidur di rumah baru. Alasannya, karena di rumah baru belum ada AC. Kipas angin saja nggak cukup buat dia. Kami sadar, kualitas tidur ini sangat mengganggu pertumbuhan dia. Tapi kami nggak punya pilihan, karena roda kehidupan harus terus berputar.

 



Di usianya yang menjelang dua tahun, Sakhaboy sudah pandai meminta atau menceritakan sesuatu, tentu dengan kosakata yang masih terbatas. Kami sering ngobrol, sangat sering malah. Di tengah kesibukan saya dengan pekerjaan dan kesibukan kami berdiskusi pemperpanjang penghidupan. 

 

Di saat itulah Saya sering membentak Sakhaboy. Bisa dibilang dia anaknya keras kepala dan teguh pendirian. Kadang juga jaim. Tapi kami patut bersyukur karena dia nggak seperti anak-anak yang bisa nangis guling-guling di mall atau sampai ngamuk di tempat umum. Untuk itu Saya harusnya masih bersyukur. Tapi Saya enggak. Saya juga nggak kalah keras kepala daripada toddler yang katanya masih pusing dengan proses belajar bahasa dalam dirinya itu sehingga sulit meluapkan emosi.

 

Saya seringkali membentak. Saya akui itu kelepasan karena kami sudah berusaha mengontrol emosi. Adik Saya yang bungsu sering mengingatkan,”jangan dibentak-bentak, siiii...” dia mengingatkan dengan nada yang lembut, lebih terkesan sedih. Dari situ Saya menyadari bahwa yang belum selesai adalah diri Saya. Saya masih terkungkung dengan masa lalu. Orang bilang inner child. Dulu Saya sering sekali dimarah. Saya sering menangis sampai nggak ada suara. Saya sering terisak di balik bantal. Namun itu semua sudah Saya sadari dan Saya upayakan untuk selesai. Nyatanya itu begitu berat membekas dalam diri Saya. Ternyata Saya yang harus selesaidengan diri Saya dan masa lalu terlebih dahulu.

 

Anti Stress Hadapi Tantrum pada Anak

 

Saat ini usia Sakhaboy sudah menjelang tiga tahun. Konon akan datang masanya teribble three yang meski nggak separah usia dua tahun tapi juga nggak berarti mudah. Kami harus bersiap untuk itu. 

 

Beruntung Saya punya kesempatan membaca buku besutan Mbak Dian Ismyama. Perempuan yang Saya kenal dari sebuah event kepenulisan tujuh tahun silam. Perempuan yang Saya pikir cuma menarik ketika menulis cerita perjalanan. Namun buku Antri Stress Hadapi Tantrum pada Anak ini nggak sekedar buku parenting biasa menurut Saya. Buku ini lebih kepada sharing seorang sahabat bagaimana melewati masa-masa sulit yang bahkan dia sendiri dulu pun nggak sadari akan itu. 

 

“Nggak ada kata terlambat untuk belajar, Aku pun yang sudah punya anak tiga masih terus belajar,” katanya.

 

Saya tahu anak sulungnya adalah anak manis, Saya nggak pernah tahu perjuangan di balik kehidupannya sejak bertahun-tahun silam. Apalagi waktu itu Saya belum kepikiran untuk menikah, apalagi punya anak. Pasti nggak aware banget sama kondisi sekitar dan ini kesalahanku, sih. Andai Saya bisa lebih siap-siap sejak dulu, pasti nggak akan sekacau ini kondisi pengasuhan Sakhaboy. Semoga ini nggak terulang pada teman-teman yang belum menikah. Bahwa menikah itu benar-benar butuh persiapan matang baik fisik maupun mental.

 

Membaca buku ini, Saya drained banget. Saya bukan cuma berkaca-kaca tapi bisa menangis sejadi-jadinya di beberapa bagian. Why so relate gitu, loh. Apakah masalah tantrum ini benar-benar masalah semua orang tua atau gimana? Buku ini benar-benar memberikan harapan bahwa semua akan baik-baik saja tanpa perlu menjadi gila.

 

Nyatanya masalah tantrum ini memang udah jadi soal sejak dulu kala. Kata Mbak Dian dalam bukunya, mungkin hanya beda-beda pola penyelesaian dari masing-masing orang tua dan zaman dulu belum banyak dibahas perkara seperti ini. Buku ini nggak cuma berisi pengalaman Mbak Dian dalam menghadapi tantrum aja, tapi juga banyak pengetahuan dari sumber-sumber yang relevan dan trusted mengenai tantrum pada anak.

 

Sejak membaca buku ini, Saya dan HB sadar bahwa tugas kamilah untuk mengajarkan kepada Sakhaboy bagaimana menyampaikan emosi kepada orang lain. Bagaimana kami harus membenahi diri dan mengelola emosi pribadi sebelum menghadapi Sakhaboy yang tantrum agar orang tua nggak ikut tantrum. Eits, Mbak Dian juga cerita kalau orang dewasa juga bisa tantrum loh.

 

Saking pusingnya dulu Mbak Dian menghadapi anak tantrum yang bahkan udah sampai kasus serius yang harus meminta pertolongan expert, Dia mau kita semua belajar dari pengalamannya. Buku ini harus teman-teman baca supaya nggak sampai frustasi menghadapi anak trantrum dan juga supaya kita sadar kalau ada red flag yang harus diwaspadai.  Supaya kita sebagai orang tua paham siapa yang butuh pertolongan dan kepada siapa kita harus datang.

 

Giveaway Alert!

 

Buku ini bukan saja buat Ibu, tapi juga Bapak, bahkan masih relevan untuk kakek-nenek. Malahan menurut Saya sangat penting dibaca oleh orang yang belum mempunyai anak untuk menyiapkan segalanya.

 

Demi mendukungku yang masih terus belajar gimana menghadapi anak, aku pengin dapat cerita dari teman-teman. Akan ada satu buah buku Anti Stress Hadapi Tantrum pada Anak untuk cerita terpilih.

 

Caranya sebagai berikut:

  •  Follow @vitarinda, @dian_ismyama, dan @penerbitdivapress di instagram.
  •  Ceritakan pengalaman kalian dan mention tiga orang teman  di kolom komentar postingan di instagram Saya  

a.      Bagi teman-teman yang mempunyai anak boleh diceritakan pengalaman dalam menghadapi tantrum pada anak. Boleh juga disertai dengan tips untuk melewati masa-masa ini.

b.      Bagi teman-teman yang belum punya anak, bisa diceritakan sesuai pengetahuan teman-teman bagaimana menghadapi tantrum pada anak.

 

  •  Like dan Share postingan Saya tersebut di instagram story dan mention Saya dan Mbak Dian Ismyama.
  • Pemenang nantinya akan diminta untuk membuat mini review buku Anti Stress Hadapi Tantrum pada Anak di sosial media.

 

Buku ini juga bisa kalian dapatkan semudah menjentikkan jari di Shopee dan Tokopedia, loh! Kalau yang masih pengin mendapatkan buku ini secara gratis,  ada kesempatan book tour yang bisa kalian manfaatkan. Ikuti aja semua giveaway-nya di akun  @syarifani89, @anisabooksdan @tettytanoyo supaya kesempatan menang teman-teman lebih besar. 

 


 

13 comments

  1. Keren ulasannya.. Bikin jadi pengen nulis.

    ReplyDelete
  2. Wah, Aku baru tahu ada istilah Terrible two. Anyway, kasus tantrum ini bikin aku inget dg sepupuku. Ia kalau tantrum bisa seharian. Bikin marah, kesal, dan kasihan. Kulihat orang tuanya pun ikut tantrum.

    So, baca ulasan ini kasih insights buat Aku. Thanks kk🙏

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. Bisa aku rekomendasikan buku ini untuk sepupu ku yang krucilnya banyak dan sangat 'kreatif'. Makasih ulasannya ya..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kreatif artinya dia berkembang dengan baik ya buuuuuu hihi

      Delete
  5. Makasih atas rekomendasi bukunya. Benar-benar menambah wawasan soal memahami emosi anak. Ya walaubelum bisa menerapkan, bisa dapat insight yang akan jadi tabungan ilmu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Menerapkannya nggak perlu ke anak sendiri kan, Mbak? Ke pasangan juga penting

      Delete
  6. Jadi orang tua bukan berarti berenti belajar malah justru harus makin rajin belajar ya, Mbak. Baik dari buku2 atau media lainnya. Beruntung kita udah hidup di jaman mudah untuk akses informasi. Semangat para orang tua! ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semangat, Mbak Roma! punya ponakan juga kan yaa?

      Delete
  7. Jadi orang tua itu belajarnya sepanjang hayat deh IMHO, karena anak beda usia pasyi beda tantangannya. Pun begitu saat mereka sudah dewasa, orang tua juga tetap harus belajar bagaimana merelakan anak yang sudah lebih mandiri.
    Kata Pak Ustadz Harry Santosa kurleb, lebih baik 'repot' saat usia anak belum aqil baligh, dibanding kita repot saat anak sudah aqil baligh tapi fitrahnya nggak berkembang dengan baik.
    Banyak tantangannya memang, termasuk soal tantrum.
    Yang lebih sering tantrum sebenarnya malah si kakak. Karena kondisi waktu masih 4 tahun, baru punya adik & ortunya sibuk karena 2 eyangnya sakit, orang dewasa di sekelilingnya juga jadi cepat burn out. Ditambah dia juga pernah sakit dan harus beberapa kali cek darah, jadinya trauma.
    Efeknya masih terasa sampai sekarang. Berusaha maklum, karena buat kamipun efek burnout di waktu itu masih terasa.
    Ditambah ya sekarang nggak bisa banyak beraktivitas di luar rumah. Jarang bisa ketemu teman.
    Jadi awal tahun 2021 ini salah 1 topik yang kami pelajari di rumah adalah tentang emosi. Harapannya sih dengan mengenali emosi, anak bisa paham perasaannya dan mengekspresikannya dengan cara yang lebih baik ketimbang tantrum.
    Lagi-lagi ini juga butuh perjuangan dan bagi orang lain mungkin nggak keren dan nggak canggih �� Tapi bagi kami sih ini salah satu ikhtiar supaya fitrah anak bisa tumbuh dengan baik.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener banget, Mbak. Mengelola emosi adalah list pelajaran terpenting di tahun ini. Tahun laluuuuu yaudahlahyaaaaa...

      Delete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<