Dukung Program Langit Biru, Gengsi di Atas Nilai Ekonomi

 


Meminjam quote dari Putri Pariwisata Indonesia Intelegensia 2017, Banadhi Kurnia Dewi bahwa bagi anak muda, gengsi lebih penting dari nilai ekonomi. Nyatanya memang berlaku bagi kalangan muda termasuk dalam hal memilih gaya hidup yang lebih ramah lingkungan. Hadir dalam kesempatan yang sama, Olga Lidya pun turut mengamini pernyataan eks Cherrybelle itu. Menurutnya gaya hidup kekinian adalah gaya hidup ramah lingkungan. Meski pun awalnya hanya ikut-ikutan demi alasan gengsi, namun anak muda yang memilih untuk turut menjaga bumi sangat patut untuk diapresiasi.

***

Hari ini, Rabu (3/3/2021), saya mengikuti diskusi publik yang bertajuk Penggunaan BBM Ramah Lingkungan Guna Mewujudkan Program Langit Biru yang diselenggarakan oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) dan KBR. Acara ini dihadiri 148 peserta dari berbagai kalangan mulai dari perwakilan NGO, Dinas-dinas di daerah, influencer, dan sebagainya. Sejak didirikan 48 tahun lalu YLKI bertugas mengawal masalah perlindungan konsumen dan membantu pemerintah. Dalam konteks ini, salah satu dari lima pilar YLKI adalah gerakan konsumen menjaga dan mencintai lingkungan di bumi.

 

Program langit biru sudah dicetuskan sejak 1996, dicanangkan pertama kali di Kota Semarang oleh Kementerian Lingkungan Hidup. Salah satu instrumennya adalah mewujudkan BBM dengan standar EURO dan hal ini belum terwujud hingga kini. Masih jauh panggang dari api. Bahkan belum ada sinergitas antar stakeholder sehingga masyarakat masih rela mengantre Premium meski mobilnya menjerit karena memakan subsidi yang bukan haknya untuk menikmati. 

 

Terkait BBM ramah lingkungan sebenernya bukan hal baru lagi bagi Indonesia. Pemerintah telah menerbitkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. P.20 Tahun 2017, di mana sesuai Permen LHK tersebut, kendaraan bermotor yang sedang diproduksi wajib memenuhi baku mutu emisi gas buang paling lambat pada bulan Oktober 2018 untuk kendaraan berbahan bakar bensin, dengan spesifikasi BBM yang dipersyaratkan yaitu nilai RON minimal 91 dan kandungan sulfur maksimal 50 ppm. Selanjutnya, pada bulan April 2021 untuk kendaraan berbahan bakar solar. Spesifikasi BBM yang dipersyaratkan yaitu nilai Cetane Number minimal 51 dan kandungan sulfur maksimal 50 ppm.

 

Dilansir dari website Gakindo, dalam upaya mengurangi emisi, Uni Eropa (European Union – EU) menempuh cara dengan untuk menggunaan teknologi transportasi yang lebih ramah lingkungan. Di awal 1990 EU mengeluarkan peraturan yang mewajibkan penggunaan katalis untuk mobil bensin, sering disebut standar EURO 1. Ini bertujuan untuk memperkecil kadar bahan pencemar yang dihasilkan kendaraan bermotor. Lalu secara bertahap EU memperketat peraturan menjadi standar EURO 2 (1996), EURO 3 (2000), EURO 4 (2005), EURO 5 (2009), dan EURO 6 (2014).

 

Persyaratan yang sama juga diberlakukan untuk mobil diesel dan mobil komersial berukuran kecil dan besar. Standar emisi kendaraan bermotor di Eropa ini juga diadopsi oleh beberapa negara di dunia, termasuk Indonesia.

 

Untuk memenuhi aturan tersebut, Pertamina sudah mempersiapkan diri. Saat ini beberapa kilang Pertamina sudah bisa memproduksi BBM dengan kadar sulfur rendah, khususnya Pertamax Turbo. Ini merupakan bagian dari tahapan menuju BBM standar EURO IV. Program Refinery Development Master Plan (RDMP) Kilang Pertamina Balikpapan, Cilacap dan Balongan juga salah satunya menjadi jawaban untuk memenuhi aturan tersebut. Bahkan jika program RDMP tuntas, rencananya Kilang Pertamina akan menghasilkan produk BBM dengan standar EURO 5.

 

Kenapa permasalahan ini perlu serius untuk ditangani? Pasalnya Presiden Jokowi sudah teken Protokol Paris dan beberapa kesepakatan lainnya ini tidak akan terwujud apabila belum ada implementasi BBM ramah lingkungan. Isu ini menjadi penting karena untuk mendapatkan udara yang sehat dan bersih juga menjadi tanggungjawab pemerintah daerah dan juga pusat serta disukseskan oleh seluruh masyarakat.


Keuntungan Ekonomi Penggunaan BBM Ramah Lingkungan

 

Faktanya, kalau kita menggunakan BBM Premium sebenarnya kita rugi dua kali. Hal ini diungkpkan oleh Ketua Harian KBR, Tulus Abadi, bahwa bensin Premium dibandingkan Pertalite dan Pertamax memiliki jarak tempuh yang lebih rendah. Kalau kita gunakan BBM yang RON-nya lebih tinggi bisa lebih signifikan. Energi yang dihasilkan dari Premium rendah daripada BBM dengan RON yang lebih tinggi. Penyedia BBM di Indonesia pun tak hanya Pertamina, ada Shell, Total, AKR, British Petroleum, atau Vivo.

 


Kedua, kerugian yang secara tidak langsung dicapai kalau kita menggunakan premium akan mengeluarkan biaya lebih untuk maintenance karena premium lebih korosif. Meski demikian, standar yang menjadi patokan kita bukan merek, tapi octane number atau RON (Research Octane Number) dan cetane number.  Untuk mesin dengan kompresi tinggi, namun menggunakan bensin oktan rendah beberapa efeknya antara lain terjadi lost power. Karena bahan bakar tidak terbakar dengan sempurna. Selain itu, emisi gas buang menjadi lebih tinggi dan secara keseluruhan performa mesin akan merosot.

 

Demikian juga sebaliknya, mesin kompresi rendah juga tak disarankan menggunakan bahan bakar oktan tinggi. Efek negatifnya antara lain mesin cepat panas, bahan bakar menjadi boros, dan terjadi pre-ignition atau waktu pembakaran yang tidak tepat.

 

Maka dengan menggunakan BBM ramah lingkungan artinya kita turut serta menjaga lingkungan. Selain itu juga memberikan edukasi yang konkret bagaimana  jika menggunakan BBM dengan karakteristik tertentu sesuai dengan kebutuhan mesin kendaraan.

 

“Kendaraan yang terbaru, paling tidak edisi tahun 2000, sebenarnya harus menggunakan BBM yang kompatibel dengan kendaraan itu, misalnya RON 92,” Kata Tulus Abadi.

 

Preferensi Konsumen Terhadap BBM dan Gaya Hidup Anak Muda

 



Dari hasil survey singkat yang Saya lakukan pada hari ini terhadap 95 responden dengan rentang usia 18-40 tahun didapatkan informasi bahwa 47% responden menggunakan Pertamax, 44% Pertalite, 5,6% Premium dan hanya 2,8% menggunakan Shell  V Power.  Dari seluruh responden, 66,7% setuju untuk menghentikan peredaran Premium di pasaran tapi hanya 11,4% responden yang menyatakan bahwa harga BBM non subsidi tidak perlu diturunkan. Dari hasil mini survey ini terlihat bahwa responden sudah cukup teredukasi dengan memilih BBM yang lebih baik daripada Premium.

 

Ini bukti nyata meski jumlah responden Saya tidak cukup mewakili populasi bangsa Indonesia. Faktanya, anak muda lebih memilih BBM Non Subsidi yang lebih pricey. Entah karena alasan memang telah teredukasi, atau hanya karena gengsi. Penting untuk digarisbawahi bahwa orang-orang ini bukan pelaku salah sasaran budget subsidi.

 

Meski pada kenyataannya Pertalite memang lebih bagus dari premium, tapi BBM jenis ini masih belum memenuhi standar BBM ramah lingkungan. Untuk itu Pertalite harus dinaikan satu RON lagi untuk bisa dikatakan ramah lingkungan menjadi RON 91.

 

Di dalam UU Energi, subsidi hanya bisa diberikan kepada orang-orang yang tidak mampu. Saat ini karena pandemi, orang miskin di Indonesia ada 10 juta, itulah yang layak menerima subsidi. Premium ini pun tidak layak disubsidi karena tidak ramah lingkungan. Mungkin yang lebih layak adalah biodiesel dan EBT.

 

Menurut data yang didapat dari Susenas 2008 dan Bank Dunia 2010, subsidi BBM yang diberikan saat ini belum tepat sasaran. Sebagian besar subsidi dinikmati oleh kalangan mampu. Untuk bahan bakar diesel atau selain Solar subsidi, Pertamina telah menyediakan Solar non subsidi yakni Dexlite yang lebih hemat dan memiliki kualitas jauh lebih baik dari Solar.

 

Di Lampung saja misalnya, perjalanan Saya seringkali terganggu dengan antrian BBM bersubsidi yang mengular sampai kejalan keluar area SPBU. Mirisnya, mereka yang mengantri adalah kendaraan-kendaraan keluaran baru yang tentunya jelas tidak dimiliki oleh penduduk miskin yang dalam seminar ini disebutkan sebanyak 10 juta jiwa saja selama pandemi.

 

Artinya, banyak orang mampu yang melakukan pelanggaran hukum, memakan hak orang miskin dan masih bisa bergaya dengan tongkrongannya padahal harusnya mereka malu.

 

Masyarakat relatif akan membeli apa yang ada di pasar dan apa yang murah. Tidak banyak masyarakat yang tahu (atau tidak mau tahu) untuk mobil keluaran tahun tertentu harus memakai BBM dengan RON tertentu. Sales mobil juga sering kali tidak menyampaikan hal itu. Namun demikian dalam keterangan kendaraan pasti disebutkan karakteristik kendaraan dan spesifikasi hingga perawatannya.

 

“Preferensi konsumen terhadap BBM adalah ketersediaan dan harga,” kata Febby Tumiwa, perwakilan Institute for Essential Service Reform (IESR).

 

Menurut Febby, ketika ketersediaan premium dibatasi di kota-kota besar di Jawa, masyarakat membeli pertalite. Angka penjualan pertalite dan pertamax naik. Solar jenis Dex juga meningkat, namun ketika ada Dexlite penjualan jadi terganggu. Hal ini juga yang terjadi pada tahun 2018 di saat harga Premium naik, maka masyarakat beralih ke Pertalite.

 

“Saran saya adalah kalau ingin konsisten  pemerintah harus membatasi jenis merek BBM yang beredar dan hanya menyediakan BBM berkualitas karena ini akan mendorong pola konsumsi masyarakat,” tandasnya.

 

Membenarkan hal itu, Deny Djukadi, dari Pertamina juga menyatakan bahwa di Indonesia ada 6 varian BBM, sementara di negara lain paling banyak 2-4 varian BBM. Ini akan terlalu memberikan pilihan kepada konsumen sehingga arah untuk membeli BBM ramah lingkungan agak tersendat. Untuk itu Pertamina juga telah melakukan program-program marketing agar masyarkat mempunyai kesempatan untuk menggunakan BBM dengan kualitas yang lebih baik.

 

“Kami bertugas di samping sebagai perusahaan yang melayani public service juga sebagai private sector. Kita juga dituntut untuk bisa melakukan performa bisnis yang baik dengan memperhatikan prospek dari planet, people, and profit,” papar Deny.

 

Menurut Pemimpin Redaksi KBR, Citra Dyah Prastuti, permasalahan kita adalah pengembangan  BBM nabati dilakukan oleh swasta. Sementara tarik menarik politik pada persoalan energi  sangat kuat karena ada perusahaan besar terlibat, ada permasalahan yang berkelindan. Mungkin saat ini kebutuhan kita adalah mengajak publik bersuara. Public demand akan muncul ketika ada kerisauan masyarakat.

 

“Kenapa mengangkat isu miras lebih cepat daripada isu lingkungan?” tanya moderator acara, Maulana Isnuarto,”Nah, difatwa saja oleh MUI bahwa merusak lingkungan itu haram!”

 

Sekedar ironi, karena kita semua tahu bahwa nggak-gitu-konsepnya, Bro.

 

Saya jadi ingat di salah satu sesi pertemuan dengan perempuan-perempuan pembawa perubahan dalam She Creates Change beberapa pekan lalu, Afutami pernah menyampaikan kenapa isu lingkungan dipandang tidak seksi dan permasalahan kenaikan suhu di bumi diumpamakan seperti perubahan suhu dalam ruangan ber-AC yang tidak berbeda nyata ketika dinaikkan satu derajat celcius.

Tidak banyak orang yang mau berpikir dengan kesadaran penuh bahwa “oh ya, nanti kelanjutan generasi  Saya gimana?” boro-boro mikirin nasib beruang kutub yang terancam tempat tinggalnya karena es terus mencair dan permukaan laut berangsur-angsur naik.

 

Kendaraan Listrik Adalah Solusi?

 

Saya pikir, selama sumber listrik kita masih berasal dari energi kotor, maka percuma saja. Saya tidak menafikkan perkembangan industri kendaraan listrik, tapi Saya juga realistis. Olga Lidya misalnya, dia bicara mengenai mobil hybrid yang sangat potensial dalam mereduksi emisi, namun dia juga seolah sekaligus menyangkal bahwa mobil ini akan menjadi solusi.

 

“Mobil hybrid ini sangat mengurangi penggunaan BBM, tapi siapa yang mau beli mobil hybrid kalau pajaknya dobel?” Olga Lidya turut mengungkapkan kegelisahannya,”it doesn’t make sense, barangnya satu tapi pajaknya dua, mobil listik dan mobil bensin.”

 

Pekan lalu, Saya diajak jalan-jalan secara virtual oleh LPDP dalam suatu kesempatan Persiapan Keberangkatan Study bagi Awardee Beasiswa LPDP ke sebuah pabrik sepeda motor listrik. Kendaraan ini diklaim merupakan kendaraan produksi anak bangsa dengan teknologi mutakhir dan menyelesaikan berbagai persoalan ekonomi negara ini sekaligus menghadirkan sepeda motor tanpa emisi. Ya, dalam operasionalnya, kendaraan listrik tidak menghasilkan polusi. Namun ketika Saya bertanya mengenai Extended Producer Responsibility (EPR), ternyata hal ini belum pernah dibahas oleh produsennya. Ini menjadi persoalan lain ketika nantinya negara kita mampu menghentikan impor sepeda motor, menghasilkan kendaraan zero emisi, tapi di sisi lain  limbahnya belum terpikirkan untuk ditangani oleh perusahaan dan masih membutuhkan energi listrik yang bersumber dari energi kotor. Menyelesaikan masalah dengan masalah baru.

 

Suatu dilema yang perlahan Saya yakin pasti akan terpecahkan bersama seiring dengan konsistensi para pihak untuk mengawal dan menyukseskan upaya untuk menurunkan emisi di Indonesia. Untuk itu, kita perlu fokus pada solusi yang telah ada di depan mata. Konversi kepada kendaraan listrik bisa dibarengi dengan upaya penyediaan energi bersih, terlebih pemanfaatan Energi Baru Terbarukan (EBT) yang potensinya melimpah ruah di Indonesia. Menyukseskan janji bakti untuk mewujudkan langit biru bagi Indonesia adalah tugas bersama yang memerlukan sinergitas kerja dan konsistensi nyata.

 

Satu hal lain yang mungkin sering luput dari pantauan kita adalah bahwa hampir tidak ada pemerintah daerah yang mengangkat janji terkait isu transportasi umum ketika kampanye. Hal ini disampaikan oleh Olga Lidya yang seperti membangunkan masalah yang terkubur rapat.  Mewujudkan langit biru juga harus in line dengan penguatan sarana transportasi umum yang makin menjadi persoalan jika berbicara mengenai kondisi sarana transportasi di daerah. Terlebih perkembangan industri jasa transportasi online terbilang sangat masif dan sangat diterima oleh masyarakat.

 

Perwakilan dari Dinas Perhubungan, Dinas Pariwisata dan Bappeda Provinsi Lampung mengungkapkan fakta yang sedikit di luar jangkauan pemikiran beberapa orang. Nyatanya, di kala pandemi, angka kunjungan wisata di Lampung dipenuhi oleh mobil-mobil bernomor polisi BG, warga Sumatera Selatan. Hal ini dikarenakan mereka dapat sampai di Lampung hanya dalam waktu tiga jam saja dengan perjalanan darat via tol. 

 


Kita bisa melakukan pengecekan kualitas udara di beberapa daerah di Indonesia dengan mengunduh aplikasi ISPUnet di Playstore. Hal ini diungkapkan oleh Dasrul Chaniago dari Kementerian LHK yang menyatakan bahwa aplikasi ini menampilkan data kualitas udara real time yang diambil dengan menggunakan peralatan yang dikalibrasi secara berkala. Menurut Dasrul, kualitas udara di Lampung cenderung baik, terlihat dari grafik salah satu indikator yaitu CO2 pada gambar di atas. Namun Saya belum mendapatkan data kompilasi time series mengenai perubahan kualitas udara di Lampung sebelum dan setelah beroperasinya Jalan Tol Lintas Sumatera.

 

Para narasumber yang hadir pun turut mengamini hal ini. Bahwa pembangunan tol juga akan meningkatkan frekuensi perjalanan darat. Pilihan perjalanan yang dinilai lebih aman, praktis, dan tidak perlu mahal-mahal membeli tiket pesawat. Namun jika kondisi ini tidak didukung dengan penggunaan BBM yang ramah lingkungan, maka akan mengancam kualitas udara di daerah-daerah.

 

Kita sudah sangat tertinggal. Kita harus berlari dan sinergi. Tulus Abadi menutup diskusi dengan mengemukakan fakta bahwa hanya ada 7 negara di dunia yang masih menggunakan premium, termasuk Indonesia. Solusinya adalah menciptakan kondisi yang memaksa masyarakat untuk tidak punya pilihan lain seperti pada saat konversi bahan bakar memasak dengan LPG beberapa tahun silam. Mumpung kita sedang pandemi, ini adalah momen yang tepat karena banyak orang sedang di rumah sehingga tidak perlu mengeluarkan biaya operasional yang besar untuk mobilisasi.

 

Di sinilah peran media untuk bisa mengangkat permasalahan ini kepermukaan agar menjadi isu nasional lagi untuk memaksa agar lebih serius ditangani. Para pemuda yang merupakan potensi besar bangsa di tengah ancaman baby boomers juga diharapkan bisa hadir di garda depan penyelesaian persoalan ini. Kapan lagi, gaya hidup yang tak sekedar untuk gede-gedean gengsi ternyata mampu menjadi solusi?

 

 

4 comments

  1. Mantapp, keren, inspiratif dan sangat mengedukasi karena tulisannya mudah dipahami dan kompleks.

    Terima kasih dan sering2 ya bikin konten edukasi, terlebh dijaman digital ini org banyak yg males nulis dan hanya mengandalkan vlog.

    ReplyDelete
  2. Selama PLN masih supply listrik kotor dari batubara ya tetap aja kendaraan listrik bukan solusi. Tapi upayanya bisa beriringan daripada terus menyalahkan pemerintah

    ReplyDelete
  3. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  4. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<