Ini Solusi Persoalan Sampah di Kota Tapis Berseri

 


Pengap, sumpek, bau. Setidaknya itulah kesan Saya sewaktu mengunjungi TPA Sampah Bakung akhir tahun lalu. Saya datang sekitar jam sembilan pagi, ketika truk-truk bermuatan sampah mulai memasuki area seluas 14 hektar itu. Beberapa ekor kambing pemakan sampah meyambut Saya dengan suka cita. Saya pun lantas larut memperhatikan proses penimbangan truk yang nampak sebagai formalitas belaka. Kemudian Saya diajak ke tempat pembuatan kompos. Di sana sampah organik dari pasar pada akhirnya dicacah, dikeringkan, lalu ditimbun beberapa hari untuk kemudian dihaluskan lagi dan disebut kompos. Di lokasi itu pula tinggal puluhan keluarga pemulung mulai dari balita sampai lansia. Bukan sekedar rumah-rumah kardus semata, bahkan ada juga warung di sana. Kalian boleh tak percaya, mungkin sampai kelak di sana terjadi peristiwa Leuwigajah Jilid Dua. 

Kota Tapis Berseri adalah sebutan bagi Bandar Lampung yang merupakan Ibu Kota Serambi Sumatera, Provinsi Lampung. Kota yang letaknya hanya selompatan Selat Sunda dari Jakarta, namun terkadang seperti jauh di ujung sana. Di Kota ini terdapat 20 Kecamantan yang terdiri dari 126 desa dan kelurahan. Luas wilayah Kota Bandar Lampung sebesar 197.22 Km2 dengan peningkatan pertumbuhan penduduk di Kota Bandar Lampung dari tahun ke tahun yang tercatat 891,374 jiwa naik menjadi 979,267 jiwa. Padatnya penduduk kota, mampu menghasilkan sampah yang dihasilkan di Kota Bandar Lampung pada hari adalah 700 sampai 750 ton, namun jika hari libur maka sampah yang masuk bisa 800 ton. Jika diperhitungkan jumlah penduduk dengan pengeluaran sampah yang rata-rata 1 kg/warga, maka bisa disimpulkan sampah yang masuk sekitar 80 persen sisanya 20 persen warga masih membuang sampah di tempat lain yang disediakan, dan juga masih adanya masyarakat yang belum tertib sehingga memebuang sampah ke sungai, parit bahkan laut perharinya. 



Saat ini, Kota Bandar Lampung mempunyai satu Tempat Pembuangan Akhir (TPA) Sampah, yaitu TPA Bakung. TPA Bakung sudah beroperasi sejak tahun 1994 dengan luas lahan 14 hektare. Berdasarkan penelitian mengenai analisis perubahan luas sampah pada tempat pemrosesan akhir sampah Bakung, diperoleh informasi bahwa berdasarkan hasil digitasi pada citra pada Google Earth kenaikan luas sampah pada TPA Bakung pada tahun 2014-2015 adalah 21.12%, pada tahun 2015- 2016 adalah 6.24%, pada tahun 2016-2017 adalah 0.4%, pada tahun 2017-2018 adalah -0.21%, pada tahun 2018-2019 adalah 21.71% dan total perubahan pada tahun 2014-2019 adalah 56.93%. 

Parahnya KLHK pernah menilai Bandar Lampung sebagai kota besar terkotor kedua setelah Manado. 

Jumlah penduduk sangat berhubungan dengan luas sampah yang terhampar pada TPA Bakung. Setiap terjadi pertambahan jumlah penduduk maka luas sampah pada TPA Bakung juga akan bertambah. Masalah yang dihadapi oleh Kota Bandar Lampung dalam pengelolaan sampah antara lain adalah rendahnya jangkauan pelayanan, khususnya untuk sampah domestik, tingginya kebutuhan terhadap land fill, serta tingginya subsidi pemerintah yang mengakibatkan masyarakat tidak perduli terhadap jumlah sampah yang dihasilkan. Pengelolaan sampah yang dilakukan oleh petugas kebersihan ternyata menggunakan tenaga kerja sebanyak 997 orang membutuhkan biaya yang tinggi akibat besarnya biaya operasional truk dan kendaraan lain. Selama ini, proses melenyapkan sampah dari rumah-rumah terbilang sangat mudah dan murah. Mengapa masyarakat harus susah payah memilah? 

Courtesy Walhi Lampung


Pertumbuhan penduduk, kemajuan teknologi dan perubahan gaya hidup tentu berdampak pada bertambahnya jumlah dan jenis sampah. Kondisi ini memerlukan pengelolaan sampah yang terintegrasi mulai dari sumbernya dengan manajemen yang baik. Prinsip 5R (Rethink, Reduce, Reuse, Recycle, dan Recovery) dan pembangunan berkelanjutan (sustainability development) dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan sampah yang terintegrasi. 

Saya dan beberapa mahasiswa melakukan audit sampah yang dilakukan selama 8 hari di Kelurahan Sawah Brebes terhadap 50 kepala keluarga. Dari audit tersebut diketahui bahwa rata-rata sampah anorganik paling banyak merupakan sampah plastik yang terdiri dari plastik kemasan dan plastik kresek (7,85 Kg/hari), pembalut dan popok sekali pakai (5,64 Kg/hari), dan botol plastik (5,21 Kg/hari). Sisanya adalah sampah organik, kaleng, kaca, kain, kertas, B3 dan sebagainya. sementara volume sampah organik adalah 57,2 %.

Ini (Bukan) Solusi Masalah Sampah! 

Pemerintah sempat melontarkan ide untuk memperluas area TPA, tapi tentu itu bukan solusi terbaiknya. TPA Bakung memang tak hanya menampung sampah dari Kota Bandar Lampung saja, tapi juga daerah-daerah di sekitarnya. Seiring dengan kondisi volume sampah yang semakin meningkat tersebut, Pemerintah Provinsi Lampung berencana membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) sebagai upaya mengolah sampah menjadi energi listrik berbasis teknologi ramah lingkungan dan PLTSa merupakan salah satu upaya Pemerintah mengurai masalah persampahan. Pemerintah akan bekerjasama dengan BUMN PT Wijaya Karya akan melakukan penandatanganan MoU dengan dilanjutkan perjanjian kerja sama untuk menghadirkan Instalasi PLTSa pada pertengahan tahun 2021. PLTSa tersebut nantinya diklaim bisa mengonversi 700 ton sampah yang dikeruk setiap harinya menjadi 15 juta watt listrik setiap satu jam. 

Di sisi lain, penggunaan PLTSa sebagai sumber energi terbarukan hingga saat ini masih terus diperdebatkan. Terlebih karena penggunaan teknologi thermal kerap menjadi masalah karena menghasilkan masalah lingkungan dan ekonomi. Hal ini juga berkaitan dengan kesehatan manusia. Menggunakan proses thermal insinerasi dan pirolisis, memang dapat mereduksi volume sampah hingga 70%. Namun mekanisme ini menghasilkan emisi yang tinggi sehingga kurang ramah lingkungan. Memang pada dasarnya penggunaan insinerator dengan suhu di atas 1000 derajat celsius mampu mengeliminasi dioksin atau senyawa yang berkarakteristik persisten, bioakumulatif dan karsinogen. Namun, insinerator juga menghasilkan partikel halus serta logam-logam berat, termasuk merkuri, timbal, kadmium, tembaga dan seng. Hal tersebut dapat berdampak buruk bagi lingkungan dan kesehatan manusia serta berbagai penyakit yang dapat timbul akibat terpapar sumber pencemar ini. 




Katanya, Lampung masih defisit energi listrik sebesar 600 MW. Pemerintah Provinsi menjanjikan semua desa akan teraliri listrik 100 persen pada Tahun 2020. Saat ini masih tersisa 60 desa yang belum berlistrik atau rasio kelistrikannya 98,56 persen. Terakhir, 40 desa sudah berlistrik termasuk d Dusun Kalangan dan Pulau Pahawang Induk. Siapapun memang sepakat bahwa kebutuhan daya listrik di Lampung sangat dibutuhkan pada sektor ekonomi mikro dan pariwisata. Kegiatan ekonomi produksi sangat terganggu dengan seringnya mati lampu. Termasuk sektor pariwisata di Lampung. Sehingga perlu didorong percepatan pembangunan infrastruktur kelistrikan di Lampung. 

Alih-alih membangun PLTU yang sampai saat ini masih menggunakan batu bara sebagai sumber energi, atau membangun PLTSa, Provinsi Lampung memiliki potensi yang besar untuk energi terbarukan yang berasal dari geothermal, biomassa, matahari, dan air. Sumber geothermal dengan potensi energi listrik 2.825 Mwe dan baru dimanfaatkan sebesar 5,8%. Energi surya juga tersedia dengan sangat melimpah di Provinsi ini. Energi biomassa juga potensial dikembangakan karena banyak limbah industri pengolahan hasil pertanian dan limbah pertanian lainnya. Khusus untuk daerah-daerah terpencil yang sulit dijangkau oleh jaringan listrik PLN di provinsi Lampung dapat dialiri listrik dengan mengembangkan pembangkit listrik dari energi terbarukan berbasis potensi daerah tersebut seperti mikro hidro, biogas, sel surya, dan biomassa. Dengan sistem ini rasio elektrifikasi 100% untuk provinsi Lampung dapat dicapai tanpa perlu membangun PLTSa. 

Sejatinya, pengelolaan sampah bukan sekedar bagaimana melenyapkan sampah di hilir, tapi juga bagaimana mengedukasi masyarakat tentang pentingnya kesadaran terkait dengan penggunaan sumberdaya. Sehingga yang menjadi penting untuk dilakukan adalah mencegah sampah sejak dari sumbernya dan menyelesaikannya di setiap sumber penghasil sampah. 

Rekomendasi Bagi Pemerintah 

Itikad baik dari pemerintah kota sebenarnya sudah dimulai sejak 2012. Saat itu Kota Bandar Lampung telah menyusun masterplan persampahan dalam rangka menangani persoalan sampah. Masterplan ini telah ditindaklanjuti dan melahirkan Peraturan Pemerintah Daerah Nomor 5 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Sampah Kota Bandar Lampung. Namun, dalam pelaksanaannya pengelolaan sampah di Kota Bandar Lampung masih mengandalkan TPA Bakung sebagai tempat pembuangan akhir dengan cara open dumping dan pembakaran. Aktivitas pembakaran sampah melanggar Pasal 29 Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah. 

Pemerintah bertugas menjamin terselenggaranya pengelolaan sampah di wilayahnya. Pengelolaan ini diatur dalam Peraturan Menteri dalam Negeri Nomor 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Sampah yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, pengelolaan, dan kerjasama kemitraan. Menurut peraturan tersbeut, kegiatan pengelolaan sampah terdiri dari pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah spesifik. Pengelolaan sampah rumah tangga dan sejenisnya meliputi pengurangan (pembatasan timbunan sampah, daur ulang, pemanfaatan kembali) dan penanganan sampah yang meliputi pemilahan, pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir. Sedangkan pengelolaan sampah spesifik adalah tanggung jawab Pemerintah (dalam hal ini Presiden selaku Pemerintah Pusat) dan diatur dengan peraturan pemerintah. Terkait pengelolaan sampah ini, pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib membiayai penyelenggaraan pengelolaan sampah. Pembiayaan ini bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah. 

Di tataran pusat, selain UU Tahun 2018, setidaknya Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan aturan-aturan tentang pengelolaan sampah diantaranya sebagai berikut: 
  1. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 13 Tahun 2012 tentang Penerapan program reduce, reuse, dan recycle melalui bank sampah.
  2. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 53 Tahun 2016 tentang Adipura.
  3. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 59 Tahun 2016 tentang Baku Mutu Air Lindi dari Kegiatan TPA. 
Harapannya, tulisan ini nantinya akan mendorong aksi dan menjadi rekomendasi kebijakan yang akan diberikan kepada Pemerintah Kota Bandar Lampung dalam pengelolaan sampah berbasis masyarakat. Tanpa bisa ditawar lagi, sebagai implementasi Undang-undang No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah, maka Pemerintah Kota Bandar Lampung harus melakukan pengelolaan sampah dari hulu ke hilir. Hal ini untuk mencapai target pengurangan sampah 30% dengan penangangan 70% sampah pada 2025.

Berkenalan dengan Konsep Zero Waste Cities

Inisiatif dalam penanganan sampah nasional telah dilakukan di beberapa daerah seperti Cimahi dan Bandung sejak 2017 dan telah menerapkan model Zero Waste Cities (ZWC).



Konsep ini bertujuan antara lain sebagai berikut:

  1. Membuat model pengelolaan sampah yang mempunyai sistem pengelolaan sampah terpadu dan terdesentralisasi.
  2. Masyarakat mempunyai paradigma yang tepat tentang prinsip-prinsip pengelolaan sampah yang sesuai dengan UU 18/2008.
  3. Pengembangan model peran kewilayahan dalam pengelolaan sampah.
  4. Masyarakat memahami dan menerapkan berbagai metode pengolahan sampah yang sesuai dengan kondisi kawasannya.

Sehingga pada akhirnya nanti, implementasi konsep ZWC ini akan menghasilkan output berupa pengurangan jumlah produksi sampah yang diangkut ke TPA, munculnya sistem pengelolaan sampah yang terdesentralisasi dengan dukungan sistem pendukung dan partisipasi masyarakat untuk mengelola sampah di tingkat rumah tangga maupun komunal.

Dalam penerapan program ZWC ini akan muncul informasi mengenai karakter sampah sehingga memudahkan dalam memilih penanganan sampah yang tepat di suatu kawasan. Selain itu juga ada edukasi dari rumah kerumah sehingga terjadi partisipasi aktif dari masyarakat yang pada akhirnya akan mampu membangun sistem pengelolaan sampah secara mandiri di kawasannya.

Partisipasi warga di RW 7 Kelurahan Lebak Gede

Serupa dengan konsep ini adalah  konsep pengelolaan sampah yang diterapkan Pemerintah Kota Bandung yang berjuluk “Kang Pisman” yang merupakan akronim dari Kurangi, Pisahkan, Manfaatkan. Konsep pengelolaan sampah ini sangat patut untuk diimplementasikan di Lampung. Meskipun mengubah gaya hidup masyarakat yang sudah telanjur nyaman dengan menumpuk sampah bahkan membuangnya dimana pun itu sulit, namun dengan adanya kondistensi dan sinergi para pihak, ini pasti bisa diwujudkan. 

Tak perlu muluk-muluk dulu, ambil saja contoh beberapa kelurahan dan desa di beberapa kecamatan. Sudah itu tetapkan pula RT atau RW percontohannya. Penyediaan fasilitas sanitasi termasuk pengelolaan sampah adalah kewajiban pemerintah. Hal itu jelas tertuang dalam aturan negara dan harusnya sudah terpatri dalam tekad aksi para pemimpin kita. Dari semua rencana aksi dan alternatif ssolusi, yang menjadi pendorong utama adalah dukungan dan langkah nyata pemerintah dan partisipasi masyarakat. Bukan sekedar janji politik yang manis-manis gula namun pahit pada kenyataannya.

1 comment

  1. masih berurusan dengan TPA Bakung? saat ini.

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<