Jurnal Bootcamp Empowomen #2 Day #1


Sabtu pagi lalu (15/02) adalah yang cukup hectic bagi Saya. Saya harus mengikuti pertemuan perdana untuk Bootcamp Empowomen #2. Being so grateful join this event, yet afraid. Pasalnya Saya harus hadir 100% dalam lima pertemuan yang nanti akan digelar.
Pagi-pagi sekali Saya sudah masak, Sakha sudah sarapan dengan Appa dan Saya harus ada di Kantor Bappeda Provinsi tepat pukul delapan pagi. Sudah barang tentu Saya terlambat karena begitu sampai di sana, Kak Pravita dari Empowomen tengah menjelaskan banyak hal, termasuk kontrak belajar.


Fasilitator kami di pertemuan perdana itu adalah Isabella Veronica Silalahi. Perempuan yang multilalented, cheerful, dan passionate. Bisaan aja Empowomen nemu yang begini, pikir Saya.

Bella, perempuan itu biasa dipanggil, merupakan 'agen' UN dan leader Girl Up Indonesia.  Girl Up ini menjadi penting perannya di Indonesia karena karakteristik kita kan people lead by example. Jadi role model memberikan dampak yang lebih nyata di 3 isu utama di grassroot kita. Isu ini meliputi sexual health, sexual harrashment, dan confidence.
Bella juga mengajarkan bagaimana sih untuk dapat menyatu dengan audience, bagaimana memulai suatu kegiatan fasilitasi agar enjoy dan tujuan dari kegiatan dapat tercapai dengan optimal.

Ketika kita bicara tentang gender, hal utama yang harus kita pahamkan bersama adalah makna dari gender itu sendiri. Apa benadanya antara gender dan sex. Jika sudah mengenal bahwa sex adalah biologically defined sedangkan gender adalah siciety defined, maka hal yang selanjutnya hars dilakukan sebagai pegiat isu gender adalah mengenali diri sendiri.

Saya juga dibuat mengangguk-angguk ketika Bella mengungkapkan bahwa gender is not a zero-sum game. saya terkadang miris, sedih, ketika menyadari bahwa konsentrasi dari pengarusutamaan gender di Indonesia masih terbatas pada ranah kuantitatif. Tentang bagaimana kuota 30% anggota dewan perempuan terpenuhi, namun kinerja tak terlalu dipedulikan.

Menderngar bahwa Jakarta adalah 9th danger city in the world, hati saya mencelos.  Ya gimana, nyata buat saya yang tidak pernah berjuang di kerasnya Ibukota negara saja merasakan bahwa kasus semacam pelecehan seksual itu nyata adanya. Bisa kita temui dimana saja. Bahkan di kampus sekalipun yang harusnya menjadi lingkungan dengan jaminan keamanan dan kenyamanan untuk belajar. Apalagi di jalanan? Saya adalah korban, dan saya tidak ingin kondisi ini terus terjadi berkepanjangan.

Ketika Bella memimpin aktivitas dalam kelompok untuk mem-breakdown hal apasaja yang tidak boleh dilakukan oleh perempuan atau laki-laki, saya merasakan suatu upaya pembebasan. Upaya pelepasan apa-apa yang menjadi belenggu dalam pikiran saya terkait mengapa perempuan harus diberi batasan ini-itu, sementara laki-laki tidka. Sebaliknya mengapa laki-laki tidak boleh memakai baju berwarna pink atau bermain masak-masakan? Apakah Tuhan yang menakdirkan demikian?

Hal yang selalu saya tekankan kepada orang-orang terdekat saya adalah bahwa laki-laki dan perempuan selalu punya kesempatan yang sama. Kesempatan untuk sukses maupun merasa terpuruk dalam palung kehidupannya. Seperti juga saya mengamini bahwa emosi harus diakui, harus divalidasi, dan tak boleh dikekang oleh aturan yang dibuat-buat oleh lingkungan.

Hal yang tak kalah menarik adalah pada sesi gender language dimana Bella mengungkapkan bagaimana seharusnya publikasi media mengenai gender. Bagaimana kita memilih kata per kata, merangkainya dalam kalimat dan menempatkan subjek, predikat, mapun objeknya. Semua itu memengaruhi persepsi pembaca yang pada akhirnya juga memangaruhi pola pikir dan membentuk reaksi masyarakat kita selepas membacanya.

 I do agree. Namun perlu berapa abanyak lagi rekan wartawan yang harus hengkang lantaran memilih menjaga idealisme daripada segelintir uang dengan bandrol kinerja di balik meja industri media?

Saya paham betul kondisinya. Saya pernah ada di posisi seorang reporter yang sudahlah tugasnya repot muter-muter, laporannya pun harus dipelintir sedemikian rupa demi menyenangkan atasan yang tentunya juga menggajinya.

Lantas muncul pernyataan idealis bahwa, ya inilah tugas kita! Hell yeah! Tulisan saya mengenai kekerasan seksual di kampus pun berkali-kali ditolak media lokal. Tulisan berisi harapan tentang kampus berhati nyaman yang nyatanya justru dianggap sebagai boomerang. Tak ada media yang mau mengangkut tulisan saya hingga kasus  demi kasus tenggelam dengan sendirinya.

Saya tidak pesimis. Namun lebih mencoba realistis. Hingga saya disadarkan oleh Bella di sesi terakhir yang memuat tentang membuat strategi untuk aksi. Saya terkadang lupa bahwa saya punya dua jenis asset, tangible dan intangible. Ini yang harus dioptimasi lagi. Saya juga telah menyadari batasan-batasan saya dan juga kompetitor-kompetitor saya. So, setelah hari pertama bootcamp ini, saya merasa lega, bahagia dan bersemangat untuk GET READY TO WIN! YA, Memenangi segala medan pertempuran.


Kualanamu International Airport, February 22 2020

No comments

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<