Sawit, Dilema Sang Primadona


Bicara satu komoditas, juga tentang sumberdaya secara keseluruhan, air, lahan, semuanya

Menyoal sawit dalam riuh disrupsi informasi memang bukan perkara gampang. Namun kali ini saya tegaskan, saya membahas mengenai sawit, bukan kebakaran hutan dan lahan.

Aneka propaganda mengaburkan fakta-fakta mengenai  esensi perilaku konsumsi dan akar masalah sawit yang sebenarnya. Komoditas yang kini menjadi andalan ekspor Indonesia. Komoditas yang produk turunannya bahkan sangat akrab dalam keseharian manusia. Perlu disepakati, bahwa sawit tidak pernah salah apa-apa.

Sawit tidak pernah mendesak kehidupan manusia. Manusialah yang menggantungkan hidup pada aneka olahannya. Manusia yang mencari-cari sehingga permintaan terhadap produk palm oil based menjadi semakin tinggi.

Jika selama ini yang akrab di telinga adalah kampanye palm oil free, semata-mata itu karena industrinya. Sehingga sawit dibenci dan ditolak dimana-mana. Di sisi lain, manusia pun pusing mencari penggantinya.

Sawit dan Pembukaan Lahan

Isu sawit adalah terkait pembukaan lahan. Hutan hujan tropis yang jadi primadona di Indonesia kian habis. Habitat flora dan fauna endemik juga secara masif menghilang. Masyarakat adat terdesak ruang hidupnya hingga tak punya harapan. Akhirnya negara harus menanggung agenda tahunan kebakaran hutan dan lahan yang belum serius ditangani.

Pembakaran sejak masa prasejarah masih dianggap metode pembukaan lahan yang paling efisien. Murah dan mudah. Bahkan untuk memanen tebu pun masih ada yang mebakar kebun. Lalu apakah Anda mengakui lalu memboikot gula?

Sawit bukan semata-mata alasan praktik pembakaran. Sayangnya, karakteristik tanah di kebanyakan kebun sawit adalah gambut. Pembakaran menjadi semakin membabi buta sehingga dampaknya kemana-mana. Bukan sekedar masyarakat tempatan yang jadi korban, tapi juga provinsi bahkan negara tetangga.

Gambut adalah potensi lain dari negara kita. Lahan marginal yang sempat jadi korban proyek transmigasi sejak masa orde lama. Alasannya, komoditas pertanian lainnya tidak mampu menghasilkan produktivitas serupa dengan sawit di lahan yang sama.

Rawa Pacing yang Kini Telah Dikonversi Menjadi Lahan Sawit

Soal pembukaan lahan, mari kita menarik garis waktu kebelakang. Setelah manusia sadar untuk tidak lagi berburu dan mengumpulkan makanan, kita sudah mulai merambah hutan. Orang utan tersingkir demi hamparan padi. Aneka flora dan fauna juga tersingkir demi padatnya pemukiman manusia.

Jika solusinya adalah penghutanan kembali kebun-kebun sawit di pelosok Sumatera dan Kalimantan, mengapa tidak dengan Pulau Jawa? Bukankah ada rusunawa,  solusi penghematan lahan?

Perlu diakui, memikirkan diri sendiri adalah karakter utama manusia yang berbahaya. Membeli rumah sebidang meski di lahan pertanian. Persetan dengan kepentingan pangan. Membangun mall dengan membabat hutan kota demi pertumbuhan ekonomi, persediaan oksigen kita pikirkan kemudian.

Padahal jelas menurut undang-undang, 30% adalah angka minimal ketersediaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) pada suatu kawasan. Negara sudah memangkasnya hingga 30% meski awalnya adalah 100%. Kebutuhan akan sandang, pangan, dan papan mendesak ruang makhluk hidup lain yang juga berhak sejahtera.

Jalan Panjang Sertifikasi Sawit Indonesia

Intensifikasi pada industri sawit hulu hingga hilir masih merupakan solusi utama. Diantara tanaman penghasil minyak lainnya, sawit memiliki produktivitas paling tinggi dengan luas lahan jauh lebih rendah. Mengganti minyak sawit dengan minyak lainnya bukan solusi terbaik sampai saat ini. Masifnya permintaan minyak akan menuntut ketersediaan lahan dan menimbulkan masalah baru di segala bidang. 

Pemerintah telah mengupayakan peningkatan daya saing industri sawit Indonesia di pasar dunia, salah satunya dengan kebijakan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Ada pula Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) yang bertujuan mengembangkan dan mengimplementasikan standar global untuk produksi minyak sawit berkelanjutan.

Saya cenderung sepakat dengan definisi minyak sawit berkelanjutan dari RSPO. Menurut RSPO sawit berkelanjutan harus berpedoman pada people, planet, dan Profit yang tercantum dalam prinsip dan kriteria. Keberadaan RSPO merupakan bentuk respon, integrasi, dan strategi politik adaptif industri yang langsung menjawab permasalahan global.

Sayangnya, sebagai pecinta gorengan dan penganan tersier lainnya, sulit bagi konsumen kita untuk memilih antara produk ecolabel atau gaya hidup semata. Selama konsumen belum mau menuntut produk ecolabel, maka komoditas semacam sawit tetap akan menjadi dilema.

Referensi:

1 comment

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<