Mewujudkan Kampus Bebas Kekerasan Seksual

source: idntimes

Pembaca pasti sudah tahu tentang Murad, gadis 25 tahun yang pernah menjadi budak seks ISIS. Dia telah keluar dari peristiwa mengerikan itu dan mendapatkan nobel perdamaian, simbol kemenangan bagi perempuan korban kekerasan seksual.

Tentunya tidak mudah bagi Murad, bagi anak korban pencabulan, bagi keluarga korban untuk pergi dan bicara tentang dirinya yang jadi korban nafsu birahi. Tidak mudah bagi mereka dan korban-korban yang masih bungkam untuk merasa cukup yakin untuk bersuara.


Di ranah lingkungan akademis, ada seorang CE yang mencicipi jeruji penjara lantaran perbuatannya kepada DC, mahasiswinya sendiri. CE memang bukan Sitok Srengenge. Dia tidak (atau belum) sampai menghamili mahasiswanya dan kasusnya tidak menasional seperti Sitok pada 2013. Bukan pula EH yang memegang payudara dan menempelkan penis ketubuh mahasiswinya. Sayangnya masih ada yang berpikir pelaporan tindakan cabul yang dilakukan CE terhadap mahasiswinya ini lebay dan tak perlu dibesar-besarkan?

Tak berselang lama, muncul kasus E yang mengaku jadi korban SH. Kasus yang sempat membuat media sosial dan mainstream menjadi panas di akhir tahun lalu. Ini menjadi warning bagi korban-korban lain untuk speak up. Jangan diam sekalipun Anda ‘hanya’ di-grepe-grepe atau bahkan ‘sekedar’ catcalling (siulan) atau dilecehkan via chatting.

Kekerasan seksual nyatanya bukan sekedar kekerasan fisik semata. Kekerasan seksual sering dianggap wajar dan lumrah, seperti halnya catcalling dan gurauan mesum. Masih ingat kasus pelecehan terhadap penyanyi Via Vallen dan YouTuber Gita Savitri? Keberanian mereka mengungkap pengalaman buruknya justru dihujani cacian oleh netizen. Masyarakat dunia maya yang pandai mengoperasikan gadgetnya tapi lupa menyekolahkan jemarinya. Parahnya, shaming yang paling menyakitkan justru dilakukan oleh sesama perempuan.

Berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan kasus pelecehan seksual pada 2018 ini terdapat 1.210 kasus incest (pelaku orang terdekat yang masih memiliki hubungan keluarga), kasus perkosaan 619 kasus, kemudian eksploitasi seksual 555 kasus. Dari total 1.210 kasus incest, sejumlah 266 kasus (22%) dilaporkan ke polisi, dan masuk dalam proses pengadilan sebanyak 160 kasus (13,2%). CATAHU juga mengungkap bahwa pelaku kekerasan seksual tertinggi di ranah privat adalah pacar 1.528 orang, diikuti ayah kandung 425 orang, kemudian diperingkat ketiga adalah paman 322 orang. Di ranah publik angka kekerasan seksual mencapai 76% (2.670 kasus), yaitu pencabulan (911 kasus), pelecehan seksual (708 kasus), dan perkosaan (669 kasus). Mungkinkah ada kasus yang tidak dilaporkan? Banyak. Bahkan mungkin lebih banyak daripada kasus yang terlaporkan.

Kekerasan seksual tak hanya mengguncang tubuh korban tapi juga jiwanya. Dalam kondisi demikian, korban merasa malu, sedih, sakit, bahkan terhina. Bercerita kepada sahabat pun sulit, apalagi polisi dengan pertanyaan ngaco semacam,”waktu diperkosa, kamu ngerasa enak?”

Dear korban, kalau Anda mengalami suatu ketidakadilan, mengapa masih betah diam? Ya, mungkin dalam benak korban muncul berbagai pertanyaan dan pengandaian. Kalau saya melaporkan kejadian ini, maka semua orang akan tahu.”

"Mereka menilai saya bergaul terlalu bebas. Pakaian saya mengundang syahwat. Padahal suka sama suka. Ini tetap salah saya. Lekuk tubuh saya masih terlihat dari balik gamis. Bahasa tubuh saya dinilai erotis. Saya tidak tegas melawan aksi si otak penis."

Lalu korban memilih bungkam. Diam menyimpan pengalaman buruk itu di dalam benaknya sendiri.

Saat ini banyak orang yang hanya memasang logika sebagai penonton  semata. Para pembaca, penonton yang kini tengah bersorak-sorai, bisakah memosisikan diri sebagai korban selanjutnya?

Pikirkan ketika Anda berada di angkutan umum ada yang bergerayang, bergerilya di paha Anda. Ketika Anda berjalan di trotoar ada yang tiba-tiba meremas dada Anda. Dosen yang memegang kunci kelulusan Anda mencium, memeluk, dan mengancam Anda. Anda hanya bisa pasrah, tak mampu melawan. Hanya ada rasa malu dan hina mengalir dalam tubuh kotor Anda.

Saya ragu ketika telah Anda memosisikan diri sebagai korban, saudara korban, orang tua korban, atau pasangan korban, Anda masih bisa berpikir “toh korban juga dapat enaknya!”

Bagaimana korban akan mampu bicara jika dia tidak merasa terlindungi?

Masih ingat Yuyun yang diperkosa 14 anak sampai lubang dubur dan vaginanya bersatu? Atau kasus sebulan terakhir di Lampung, bocah yang ratusan kali diperkosa oleh ayah, kakak, dan adiknya sendiri?

Dengan mengingat kembali angka kejadian kekerasan seksual di Indonesia, tentu siapapun pasti merasa geram. Pilu. Khawatir. Salah satu cara mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual adalah melalui penegakkan hukum yang menghormati nilai-nilai norma, moral, keadilan. 
Hingga saat ini, masih sangat sulit untuk membantu korban kekerasan seksual mendapatkan keadilan dan memulihkan diri.

UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga hanya mengatur kejadian di lingkungan privat rumah tangga. UU Perlindungan Anak hanya bisa diterapkan untuk anak-anak. UU Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang hanya untuk korban human traficking. KUHP fokusnya pemidanaan pelaku tanpa melihat kondisi korban yang butuh pemulihan dan pendampingan.

Semua itu bisa terakomodasi oleh RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) yang tetap bergeming sejak 2016 silam. Padahal RUU ini bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kekerasan seksual dan mewujudkan lingkungan bebas kekerasan seksual.

RUU PKS menjadi urgent untuk disahkan! Di dalamnya jenis-jenis kekerasan seksual diperluas, bukan sekedar kontak fisik langsung. Bahkan aturan ini juga melindungi personal, relasi kerja, bahkan perempuan-perempuan yang disiksa oleh suaminya, dipaksa hamil dan sebagainya. Di pasal 12, netizen juga dilindungi agar tak ada lagi Baiq Nuril yang dilecehkan atasannya. Eksploitasi seksual seperti blackmail dan ancaman ternaungi dalam Pasal 13.

Untuk korban, RUU PKS ini juga menjamin hak perlindungan dari drop out, mutasi, PHK, bahkan perlindungan hukum dari stigma negatif. Seringkali stigma menjadi lebih menakutkan daripada harus bertarung dengan penjahat di mejsa hijau. Label sosial adalah momok yang masih menjadi alasan utama korban kejahatan seksual merahasiakan penderitaannya. Bahkan dalam RUU ini juga diatur tentang pemulihan psikis korban.

Saya melihat RUU PKS sebagai paket lengkap perlindungan bagi korban sekaligus pencegahan. Tanpa ini, pelaku tak akan mendapatkan efek jera. Alih-alih masuk penjara, akan makin banyak pemakluman yang membiarkan kasus serupa selesai dengan jalan damai dan memerdekakan pelaku kejahatan merajalela.

RUU PKS tidak ada hubungannya dengan  zina yang mengkhianati ikatan perkawinan dan telah diatur dalam UU Perkawinan. RUU PKS adalah rancangan undang-undang yang agak miris nasibnya. Hanya dipedulikan oleh korban-korban pelecehan seksual yang benar-benar peduli. Ini adalah salah satu jihad untuk melindungi generasi. Lebih dari itu tugas kita untuk mengedukasi setelah mengakui bahwa sex education di Indonesia ini dalam kondisi memprihatinkan.

Lingkungan Kampus Bersih dari Kekerasan Seksual

Kekerasan seksual di lingkungan kampus bukan hal baru lagi. Bukan sekedar terjadi pada Sitok Srengenge, CE, maupun SH. Sudah sejak lama terdengar desas desus kasus ini-itu yang melibatkan si ini dan si itu. Namun itu hanya berakhir sampai tahap desas desus saja. Berentet dari mulut ke mulut hingga tak jarang ditambah bumbu supaya isunya digosok makin sip.

Beragam respon muncul, mulai dari yang empati sampai yang julid. Jangankan memprosesnya hingga pengadilan, mampu curhat dengan kawan pun butuh berkali-kali penguatan keyakinan. Tak heran karena mahasiswi diperkosa ketika KKN berujung damai. Mahasiswi diperkosa sampai hamil selesai dengan dinikahkan. Diperkosa, hamil, lantas dinikahkan dengan pemerkosa dengan dalih menutupi aib. Aib siapa? Itu adalah aib pemerkosa, aib penjahatnya. Bukan aib perempuan sebagai korbannya.

Korban kekerasan seksual di kampus bukan hanya mahasiswi. Pelakunya bukan hanya dosen. Dalam beberapa kasus, ini juga terjadi pada mahasiswa hingga tenaga kependidikan. Pelakunya juga bukan sekedar dosen terhadap mahasiswi, tapi juga sebaliknya. Bukan hanya bicara sebagai perempuan sebagai korbannya, tapi juga laki-laki.

Melindungi nama baik pelaku dan institusi kerap dijadikan tameng mentahnya kasus kekerasan seksual di kampus. Apalagi jika pelaku berstatus PNS yang hanya bisa dipecat oleh BKN. Hukuman akan lebih sulit lagi diberikan kepada pelaku senior dan ternama. Sementara kampus hanya memberikan sanksi seperti skorsing atau penghentian pembimbingan tugas akhir. Ketegasan institusi yang didambakan mungkin hanya sekedar gertak sambal.

Edukasi hingga advokasi terkait kekerasan seksual hanya akan terus menjadi barang mentah tanpa ada instrumen hukum yang memayunginya. Di dalam RUU PKS itu bahkan diatur bagaimana peran masyarakat menghadapi kejadian kekerasan seksual. Bagaimana kita penonton yang bahkan tak dibayar ini membantu pemulihan korban bukan malah mem-bully mereka.

Hingga kini korban kekerasan seksual masih harus berjuang demi nasibnya sendiri di tengah kondisi jiwa yang belum sepenuhnya pulih.

My body is mine mungkin sering dianggap konsep feminis garis keras. Padahal ini bukan sekedar tentang perempuan tapi juga laki-laki. Penghormatan terhadap tubuh sendiri yang akan membuat orang tak sampai hati untuk melakukan kekerasan terhadap tubuh orang lain. Termasuk mencemooh kasus kekerasan seksual yang dialami oleh orang lain. Konsep ini membuat kita tak perlu menunggu pengesahan RUU PKS yang mungkin masih jauh panggang daripada api. Konsep ini harusnya ada di dalam diri masing-masing.

Rape culture, lingkungan dimana pelecehan seksual dianggap lazim dan dinormalisasi tak boleh tumbuh di kampus. Pemakaian kata-kata mysogynist (menyudutkan perempuan) yang mempertontonkan objek tubuh perempuan yang dianggap lumrah di kehidupan sehari-hari.

Hentikan victim blaming, menyalahkan korban pelecehan seksual. Hentikan melabeli dan membuat korban makin tidak ingin melaporkan kejadian. Pelecehan seksual bukan salah korban, namun pilihan tindakan yang diambil pelaku. Jangan biarkan pelaku melanjutkan hidupnya dengan nyaman tanpa rasa bersalah sementara korban tetap dirundung kenangan pahit dan kebencian.

Memasuki tahun akademik baru, teriring harapan agar kekerasan seksual di dalam kampus-kampus segera dapat diakhiri. Saya berikan apresiasi kepada mahasiswa bimbingan CE yang tak hanya memilih diam dan merutuki keadaan. Untuk E yang bahkan mendapat dukungan pula dari berbagai pihak  hingga berdemo. Salut juga kepada korban lain yang enggan menyimpan dendam, amarah, rasa malu dan kotor seorang diri. Mungkin lain kali tak akan ada korban-korban selanjutnya yang membuat CE dan SH merasa bebas dan besar kepala. Tak ada CE-SH lain jumlahnya meningkat secara linear seiring terciptanya lingkungan kampus yang bersih dari kekerasan seksual di dalamnya.

Rinda Gusvita
Koordinator Jaringan Perempuan Padmarini, Pengajar di ITERA

No comments

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<