Menyoal Mainstreaming Gender dan Lingkungan dalam Pilpres 2019




Membangun suatu negara, seharusnya tidak luput dari urusan gender. Meski sering termarginalkan, isu ini memiliki urgensi untuk diperhatikan. Sejak masa revolusi industri, pembangunan mengusik alam sebagai Ibu Pertiwi menjadi objek pengerukan sumber daya sebagai komoditas dan perempuan sebagai pengelola alam.





Kekayaan alam dimaknai sebagai sumber penghidupan dan perempuan secara khusus mempunyai fitrah sebagai ahli dalam pengelolaan alam, pemelihara, dan memproduksi kehidupan. Sehingga pada prinsip feminin, perempuan berperan nyata dalam menjaga keberlanjutan dan penyedia kehidupan, mereka membuat segalanya menjadi tumbuh. Kini perempuan dan masyarakat lokal semakin tak berdaya terhadap lahan yang bahkan sudah turun temurun mereka kelola yang dirampas izin investasi hingga perampasan lahan berujung land clearing sangat masif terjadi.

Data Walhi menunjukkan 82,5% kejahatan lingkungan didalangi korporasi yang difasilitasi negara juga pemerintah dengan segenap jajarannya termasuk aparat keamanan. Perempuan yang ditempatkan sebagai pihak yang bodoh, bahkan terhadap pengetahuan tentang tubuhnya dan korelasinya dengan sumber daya alam. Maka, tak heran jika perempuan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Borosnya penglepasan emisi gas rumah kaca ke atmosfer akibat bumi tak kuasa lagi menyerapnya. Kerusakan hutan, pertanian yang tidak berkelanjutan, perkebunan skala besar, dan hilangnya fungsi DAS menambah panjang daftar kerja sekaligus ancaman bagi perempuan.

Bumi adalah ibu, perempuan. Perempuan yang dalam perjuangan merebut kembali hak-hak yang dirampas. Sebagai bentuk aksi melintasi batasan-batasan itu, perempuan hadir sebagai agen perubahan dalam pemulihan krisis lingkungan. Namun ruang gerak perempuan masih sangat terbatas. Terkungkung dalam dogma patriarki yang mendarah daging di bumi pertiwi.

Dari sekian banyak tema debat capres/cawapres, isu-isu krusial malah jadi isu marjinal. Adapun tema debat pertama mengenai hukum, HAM, korupsi, dan terorisme; debat kedua, mengenai energi dan pangan, SDA dan lingkungan hidup, infrastruktur; dan yang akan datang, debat ketiga akan diusung tema pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan, sosial dan kebudayaan; debat keempat mengenai ideologi, pemerintahan, pertahanan dan keamanan, hubungan internasional; serta debat kelima mengenai ekonomi dan kesejahteraan sosial, keuangan dan investasi, perdagangan dan industri.

Selama enam bulan masa kampanye Pilpres 2019, kedua pasangan capres-cawapres justru belum menampilkan gagasan apa yang ditawarkan oleh mereka untuk masalah keadilan gender, keberagaman, lingkungan hidup, disabilitas, keadilan hukum, korupsi dan transparansi. Hingga masa debat Pilpres kedua berlalu, para jagoan masih berkutat pada isu-isu yang sensasional, booming namun tidak substantif. Belum ada gagasan yang ditawarkan meruncing pada isu-isu sustansial yang justru menjadi marjinal. Meski pada debat kedua di-hightlight tentang isu lingkungan, namun pembahasannya masih sekedar di permukaan. Blunder. Muter-muter tanpa ada hal konkret yang dinyatakan sebagai jaminan bagi rakyat.

Isu-isu gender seperti tingginya angka perkawinan anak, tingginya angka kematian ibu, kesempatan pendidikan perempuan yang masih rendah, diskriminasi upah terhadap pekerja perempuan dan isu diskriminasi terhadap perempuan lainnya. Hal ini sangat terkait erat dengan komitmen Indonesia menuju Gender Equality Planet 50:50 serta pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan atau SDGs. 

Permasalahan ini mau tidak mau harus diakui berdampak pada kehidupan dan penghidupan perempuan, anak perempuan, ujung tombak keberlanjutan bangsa Indonesia.
Hukum di Indonesia juga masih diskriminatif, misalnya seperti UU Perkawinan, Perda diskriminatif, KUHP dan RKUHP, serta tertundanya pembahasan dan pengesahan RUU perempuan (RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender). 

Riwayat dua kali debat Pilpres sebenarnya sudah cukup menggambarkan bagaimana pandangan calon orang penting di negeri ini dalam hal-hal rigid yang sangat mempengaruhi perputaran roda kenegaraan. Dari setiap tingkah dan ucap masih terlintas bahwa pemerintah masih sangat patriarkis dan belum sepenuhnya punya perspektif gender, aplagi dalam kaitannya dengan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan.

Dalam debat Pilpres pertama, sempat diangkat permasalahan gender yang dilontarkan oleh Paslon 1 kepada Paslon 2. Sebagaimana yang saya baca di laman iklancapres.id, perdebatan tersebut cukup menarik karena mengangkat soal representasi perempuan serta kualitasnya untuk menempati posisi-posisi strategis dalam politik yang sampai saat ini masih terus diperjuangkan oleh gerakan perempuan. Keterwakilan perempuan baik di tingkat yudikatif, legislatif, maupun eksekutif masih rendah dan jauh dari harapan. Di legislatif angka keterwakilan perempuan masih 17,32%, di tingkat eksekutif kabinet kerja pemerintahan Jokowi sekitar 23,5%. Ini masih jauh dari target yang tertuang dalam aturan legislasi nasional yaitu sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan.


Jika kita bicara tentang kualitas, memang benar masih banyak yang harus dibenahi terkait keterwakilan perempuan dalam menempati posisi strategis di berbagai lini. Tak hanya untuk mewakili kepentingan perempuan, keberadaan perempuan di sana seharusnya lebih kepada aksi nyata dalam menghasilkan keputusan-keputusan pro-kelompok-rentan. Namun bagaimana dengan kualitas laki-laki yang menduduki mayoritas posisi strategis di negeri ini? Pernahkan kualitasnya dipertanyakan?
Persoalan kuantitas dan kualitas perempuan di berbagai posisi strategis memang selayaknya mendapatkan perhatian lebih serius dari capres-cawapres. Sehingga bisa dipastikan mereka mengusung program-program prioritas dan kebijakan terkait pemajuan perempuan dalam segala sendi kehidpan secara kuantitas maupun kualitas.

Isu gender tak hanya soal perempuan, melainkan lebih kepada bagaimana pembagian peran antara perempuan dan laki-laki. Rakyat di negeri ini masih memandang perempuan sebagai objek, sebagai pemanis dalam bahasan-bahasan debat yang kadang diangkat dalam bahasan ironis. Sementara perempuan dan isu substansial yang melekat di dalamnya justru belum diseret keranah urusan negara.


Dalam kaitannya dengan isu gender, persoalan degradasi hingga kejahatan lingkungan yang kerap dibidani tindak korupsi menyeret perempuan dan anak sebagai korban. Yang marak terjadi, korupsi di tingkatan perizinan pemanfaatan dan penguasaan lahan, memaksa masyarakat sekitar hutan jadi buruh murah di tanahnya sendiri. Perempuan ikut turun mengolah tanah, anak-anak tak mampu bersekolah. Belum lagi jika terjadi konflik berdarah, mereka akan jadi janda dan yatim yang masih harus berjuang menantang kerasnya kehidupan.


Mungkin benar pameo yang beredar di masyarakat, bahwa siapapun presidennya, hidup rakyat tetap saja sengsara. Nyatanya permasalahan gender adalah lingkaran setan yang akan terus membelit lehar Indonesia. Tidak adanya pengarusutamaan gender dalam hal regulasi hingga masalah praktisnya, merupakan akar persoalan dari segala persoalan. Mulai dari budaya patriarki yang memustahilkan pembagian peran laki-laki dan perempuan dalam hal pendidikan, kesehatan, hingga kesempatan dalam ruang-ruang politik membuka luka berupa persoalan-persoalan lainnya.
Selain capres-cawapres, tim sukses dan para politikus juga seharusnya memberikan edukasi politik untuk menjamin kedewasaan masyarakat dalam berdemokrasi. Alih-alih mendidik masyarakat, masyarakat justru dibombardir dengan propaganda. Tak heran masyarakat malah semakin kehilangan kepercayaan terhadap figur pemimpin negara, terhadap politikus, dan berkutat dalam kekhawatiran dan ketidakpastian. Bahkan isu gender dan lingkungan malah nampak sekedar sebagai pemanis daripada tidak dibahas sama sekali meski esensinya masih mengambang tinggi.

Perempuan dan lingkungan hidup adalah hal yang tak terpisahkan. Perempuan dapat memengaruhi keluarga bahkan masyarakat di sekitarnya terkait gaya hidup dan pola pikir. Perempuan juga lebih dekat dengan lingkungan dalam kehidupan sehari-hari, bagaimana mereka menggunakan air bersih, mengolah pangan sehat, pengelolaan sampah domestik, berkebun, hingga berladang. Apalagi, perempuan-perempuan tangguh yang tinggal di desa atau di sekitar hutan yang telah terbiasa melakukan pengelolaan lahan secara turun-temurun sebagai kearifan lokal.


Perubahan iklim yang tak bisa dibendung maupun kerusakan lingkungan berkaitan erat dengan permasalahan yang tak akan pernah habis, ketahanan pangan, udara bersih dan ketersediaan air. Hal ini tentunya juga akan berkorespondensi dengan kacaunya kondisi sosial masyarakat. Saat ini investasi justru terlihat seperti lilin, menerangi yang jauh sementara sekitarnya tetap dirundung gulita. Bahkan kedua paslon seperti enggan menguak pengalamannya sendiri terkait permasalahan lingkungan, bagaimana ini bisa terjadi, seperti apa dampaknya, apa motif di balik itu dan seterusnya.

Dari data yang dikeluarkan oleh iklancapres.id, sejak awal kampanye hingga akhir bulan Januari 2019, pasangan capres 01 mengangkat isu lingkungan hidup dalam kampanye mereka di media sosial hanya sebanyak 15 kali. Sementara isu ekonomi yang diangkat pasangan capres 01 yang sudah mencapai 233 kali.

Hal yang sama juga terjadi di pasangan capres 02. Sejak awal masa kampanye, pasangan capres 02 hanya 11 kali mengangkat isu lingkungan hidup dalam kampanye mereka. Sementara, pasangan capres 02 telah mengangkat isu ekonomi dalam kampanye mereka sebanyak 340 kali.



Angka yang sangat njomplang terkait konten kampanye capres dalam pilpres 2019 ini setidaknya mengindikasikan bahwa kedua pasang capres, baik 01 dan 02, lebih mengedepankan kepentingan ekonomi daripada ekologi. Jika kedua capres tersebut lebih mementingkan kepentingan ekonomi dibandingkan ekologi, bagaimanakah lingkungan hidup di negeri ini? Dapat dipastikan persoalan lingkungan hidup akan tetap diabaikan.
Sementara siapapun pasti memahami bahwa biaya yang harus negara keluarkan untuk mengembalikan kondisi lingkungan akan jauh lebih tinggi daripada biaya pemeliharaan saat ini. Siapapun capres/cawapres yang terpilih kelak wajib memberikan jaminan keselamatan dan ruang hidup bagi kaum rentan sebagai korban kejahatan lingkungan dan kebijakan yang tidak pro terhadap pengelolaan lingkungan berkelanjutan. Bicara kejahatan lingkungan, juga bicara tentang kejahatan HAM. Pembangunan adalah suatu keniscayaan yang tak akan pernah bisa kita tampik, tetapi pembangunan berkelanjutan adalah jawaban dari segala persoalan degradasi hingga kejahatan lingkungan yang sampai saat ini masih berkelindan. Idealnya, kepentingan ekonomi harus sejalan dengan kepentingan ekologi.

Referensi:

walhi.or.id
iklancapres.id

 

No comments

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<