Nah,
saya sendiri merasa kesulitan ya untuk memahami anak. Mungkin juga karena Sakha
emang belum bisa bicara lancar dan ya emang belum ada komunikasi yang baik
diantara kami aja. Meski begitu, saya percaya bahwa bayi-bayi itu hanyalah
orang dewasa yang terperangkap dalam tubuh yang kecil.
Jadi ya pasti ada sih pesan kita yang sampai kedia, cuma responnya masih beda.
Baca dulu: Berdialog dengan Anak Masa Kini (Part 1)
Mbak
Anti bilang, bercerita merupakan teknik komunikasi yang efektif. Yeaaaaay saya
kan selalu cerita. Bukan semata dongeng loh tapi juga cerita yang menambah kosa
kata, pengalaman pribadi, kisah nabi dan rasul, atau fabel.
Komunikasi Positif sebagai Kunci Komunikasi
Efektif. Sebenarnya, apa sih yang dimaksud dengan komunikasi positif? Tentunya ini
menghindari kata-kata yang berkesan jelek atau negatif. Lebih kepada statement
yang mendukung perkembangan anak. Misalnya,
-
Memberikan ruang untuk mencoba
menyelesaikan masalahnya sendiri
-
Menghindari penilaian (judgement) atau pesan
tambahan seperti "tuh kan
kamu kalau makan..."
-
Kalimat judgemental bisa diganti agar lebih bernada
positif seperti
kalimat "wah... ternyata, kalau makannya
hati-hati tidak berantakan, ya.”
Jadi dengan penggunaan kata dan kalimat yang tepat, kita jadi
terkesan lebih menghargai apa yang telah dilakukan oleh anak. Anak nggak akan berpikir, “aku kok apa-apa salah, ya”
atau “mama kok nggak bolehin aku, ya” yang ujungnya “oh iya, aku nggak bisa!”
Hal ini juga berlaku untuk komunikasi kita dengan orang lain, deh. Apalagi kalau
sudah berkomentar sesama ibu-ibu, tuh. Udah paling merasa benar sendiri. LOL.
Jangan Berkata Jangan
Nah loh, ini udah sering banget, ya kita dengar.
Tepai sebenarnya boleh nggak sih kita melarang anak dengan menggunakan kata “jangan”?
Sebelumnya, bisa digambarkan sebagai berikut:
- Bagaimana perasaan kita ketika mendengar kata "jangan"? jadi coba disimulasikan dengan bicara kepada diri sendiri dulu. Kesannya gimana?
- Pemilihan kata “jangan” merupakan salah satu ciri bentuk komunikasi yang berjalan satu arah. Pola komunikasi ini tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk menyanggah.
- Perhatian kondisi dan situasi ketika akan bilang "jangan"
Jadi menurut Mbak Anti, kata “jangan”
itu nggak haram-haram banget, kok. Asal tahu penempatannya pada situasi seperti
apa. Misalnya, anak sudah mau menyeberang jalan sendirian. Mau nggak mau kita
pasti akan teriak, “jangan nyebrang!” or somethinglah. Dan itu memang situasi
bahaya yang hanya untuk komunikasi satu arah, anak nggak bisa lagi menyanggah
dan ya, dia harus nurut dong. Setelah itu baru dijelaskan pelan-pelan, kenapa
sih kok dilarang.
Kekuatan Briefing dan Sounding pada Anak
Saya sudah melakukan briefing dan sounding ini entah dari kapan, ya. Rasanya
sejak depresi saya membaik. Saya mulai concern untuk berkomunikasi dengan
Sakha. Misalnya, “Sakha besok akan pergi kesekolah...” lalu saya gambarkan
kondisi di sekolah seperti apa. Atau “nanti sore Eyang akan kesini. Sakha
baik-baik sama Eyang. Eyang kangen dan pengin main bareng Sakha, be nice, ya!”
entah dia paham atau enggak ya nggak apa-apa. Itung-itung latihan jga karena
ini pasti akan penting sekali dilakukan untuk membuat anak siap akan suatu
kondisi tertentu.
Briefing dan sounding bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut:
§ Beri
tahu anak apa yang akan dilakukan anak dan diulang-ulang karena ini sifatnya
abstrak untuk anak. Ingat, anak konsepnya adalah here and now.
§ Upaya
ini emang
usahanya besar, tapi tantangannya akan beda lagi ketika anak sudah usia SD.
Mereka konret juga tapi sdh paham artinya besok, minggu
depan, dll. Jadi bisa digunakan juga
simulasi seperti nama hari, atau jam.
§ Beri
tahu anak kepada
siapa dia harus meminta pertolongan
ketika kita tidak ada.
§ Jelaskan kapan
kita akan kembalinya.
Jelaskan agak anak paham aku dimana? sama siapa? Itu
jg bisa dilakukan ketika kita berkunjung, perlu dijelaskan
secara konkret apa yang
akan
dilakukan disana, berapa lama.
§ Akui perasaan anak,
marah, sedih,
§ Tepati janji terhadap anak. Kalau
belum bisa ditepati, ungkapkan dan beri pengertian kepada anak.
Gadget: Penghambat atau Pendukung Komunikasi Efektif
Diakui atau tidak, gadget adalah perkembangan teknologi yang harus kita
ikuti. Nggak boleh enggak. Masa iya anak kita jadi cupu. LOL. Kalau saya
pribadi sih nggak anti gadget, tapi lebih kepada manajemen gadget. Saya sendiri
nggak punya tivi, dan nggak pengin beli tivi. Yangapain kalau tivi isinya
gitu-gitulah dan justru melenakan. Enggak, saya nggak nyalahin acara tivinya,
kok. Saya sadar bahwa acara tivi itu di luar lingkaran pengaruh saya. Siapa sih
saya, kok mau ngatur-ngatur? Jadi karena keluarga saya adalah tanggung jawab
saya, jadi yaudah saya mula manajemennya dari keluarga aja dulu.
Gadget, apapun itu bentuknya ada masanya jadi penghambat komunikasi dalam
keluarga bergantung gimana kita memanfaatkannya. Misalnya ketika semua anggota
keluarga berada di ruangan yang sama tapi pegang
gadget masng-masing ya artinya kan komunikasinya nggak jalan. Lebih parahnya lagi ketika gadget
dijadikan sebagai pengganti kehadiran orang tua. Yang paling penting adalah
kita tahu batasannya sampai sejauh mana. Gadget menjadi bahaya juga ketika
orang tua sedang bekerja dnegan gadgetnya ketika anak memanggil tapi nggak
sepenuhnya hadir (seperti yang sudah dijelaskan pada Part 1).
Namun nggak perlu khawatir, namanya generasi alpha kayak anak-anak kita
sekarang, gadget tentunya akan jadi pendukung komunikasi. Misalnya, ketika anak
nonton bareng dnegan orang tua dan ketika sedang berada jauh dari anggota
keluarga lainnya.
Sakha bahkan udah ngerti banget kalau video call dengan Eyang atau Nininya.
Meski akhirnya pas nyambung malah sibuk nyari-nyari dan pegang wajah yang
ngomong, at least dia sudah tahu bahwa begitulah caranya berkomnikasi dengan
keluarga yang jaraknya jauh.
Ada quote dari Ali bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa, “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya karena mereka tidak hidup di jamanmu.”
So, jangan sampai anak kita jadi gagal gaul dan ketinggalan zaman hanya
karena orang tuanya yang terlalu ketakutan terhadap sesuatu yang belum pasti
terjadi. Orang tua adalah
panutan, titik tumpu, pijakan
sementara anak masih merasa bahwa dunia luar adalah ancaman. Kata Mbak Anti, tidak ada orang
tua yang sempurna. Tapi
saya percaya bahwa semua orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Entah
caranya seperti apa, yang jelas sebagai orang tua millenial ya jangan berhent
belajar.
Mantap maaakkk.. Aku gk ikut seminarnya tp malah dpt reviewnya lgsg ❤
ReplyDelete