Berdialog dengan Anak Masa Kini (Part 2)



Nah, saya sendiri merasa kesulitan ya untuk memahami anak. Mungkin juga karena Sakha emang belum bisa bicara lancar dan ya emang belum ada komunikasi yang baik diantara kami aja. Meski begitu, saya percaya bahwa bayi-bayi itu hanyalah orang dewasa yang terperangkap dalam tubuh yang kecil. Jadi ya pasti ada sih pesan kita yang sampai kedia, cuma responnya masih beda.


 
Mbak Anti bilang, bercerita merupakan teknik komunikasi yang efektif. Yeaaaaay saya kan selalu cerita. Bukan semata dongeng loh tapi juga cerita yang menambah kosa kata, pengalaman pribadi, kisah nabi dan rasul, atau fabel.


Komunikasi Positif sebagai Kunci Komunikasi Efektif. Sebenarnya, apa sih yang dimaksud dengan komunikasi positif? Tentunya ini menghindari kata-kata yang berkesan jelek atau negatif. Lebih kepada statement yang mendukung perkembangan anak. Misalnya,

-         Memberikan ruang untuk mencoba menyelesaikan masalahnya sendiri
-         Menghindari penilaian (judgement) atau pesan tambahan seperti "tuh kan kamu kalau makan..."
-          Kalimat judgemental bisa diganti agar lebih bernada positif seperti kalimat "wah... ternyata, kalau makannya hati-hati tidak berantakan, ya.”

Jadi dengan penggunaan kata dan kalimat yang tepat, kita jadi terkesan lebih menghargai apa yang telah dilakukan oleh anak. Anak nggak akan berpikir, “aku kok apa-apa salah, ya” atau “mama kok nggak bolehin aku, ya” yang ujungnya “oh iya, aku nggak bisa!”

Hal ini juga berlaku untuk komunikasi kita dengan orang lain, deh. Apalagi kalau sudah berkomentar sesama ibu-ibu, tuh. Udah paling merasa benar sendiri. LOL.


Jangan Berkata Jangan



Nah loh, ini udah sering banget, ya kita dengar. Tepai sebenarnya boleh nggak sih kita melarang anak dengan menggunakan kata “jangan”? Sebelumnya, bisa digambarkan sebagai berikut:

  • Bagaimana perasaan kita ketika mendengar kata "jangan"? jadi coba     disimulasikan dengan bicara kepada diri sendiri dulu. Kesannya gimana?
  • Pemilihan kata “jangan” merupakan salah satu ciri bentuk komunikasi yang berjalan satu arah. Pola komunikasi ini tidak memberikan kesempatan kepada anak untuk menyanggah.
  • Perhatian kondisi dan situasi ketika akan bilang "jangan"

Jadi menurut Mbak Anti, kata “jangan” itu nggak haram-haram banget, kok. Asal tahu penempatannya pada situasi seperti apa. Misalnya, anak sudah mau menyeberang jalan sendirian. Mau nggak mau kita pasti akan teriak, “jangan nyebrang!” or somethinglah. Dan itu memang situasi bahaya yang hanya untuk komunikasi satu arah, anak nggak bisa lagi menyanggah dan ya, dia harus nurut dong. Setelah itu baru dijelaskan pelan-pelan, kenapa sih kok dilarang.


Kekuatan Briefing dan Sounding pada Anak



Saya sudah melakukan briefing dan sounding ini entah dari kapan, ya. Rasanya sejak depresi saya membaik. Saya mulai concern untuk berkomunikasi dengan Sakha. Misalnya, “Sakha besok akan pergi kesekolah...” lalu saya gambarkan kondisi di sekolah seperti apa. Atau “nanti sore Eyang akan kesini. Sakha baik-baik sama Eyang. Eyang kangen dan pengin main bareng Sakha, be nice, ya!” entah dia paham atau enggak ya nggak apa-apa. Itung-itung latihan jga karena ini pasti akan penting sekali dilakukan untuk membuat anak siap akan suatu kondisi tertentu.

Briefing dan sounding bisa dilakukan dengan cara sebagai berikut:
§  Beri tahu anak apa yang akan dilakukan anak dan diulang-ulang karena ini sifatnya abstrak untuk anak. Ingat, anak konsepnya adalah here and now.
§  Upaya ini emang usahanya besar, tapi tantangannya akan beda lagi ketika anak sudah usia SD. Mereka konret juga tapi sdh paham artinya besok, minggu depan, dll. Jadi bisa digunakan juga simulasi seperti nama hari, atau jam.
§  Beri tahu anak kepada siapa dia harus meminta pertolongan ketika kita tidak ada.
§  Jelaskan kapan kita akan kembalinya. Jelaskan agak anak paham aku dimana? sama siapa? Itu jg bisa dilakukan ketika kita berkunjung, perlu dijelaskan secara konkret apa yang akan dilakukan disana, berapa lama.
§  Akui perasaan anak, marah, sedih,
§  Tepati janji terhadap anak. Kalau belum bisa ditepati, ungkapkan dan beri pengertian kepada anak.


Gadget: Penghambat  atau Pendukung Komunikasi Efektif



Diakui atau tidak, gadget adalah perkembangan teknologi yang harus kita ikuti. Nggak boleh enggak. Masa iya anak kita jadi cupu. LOL. Kalau saya pribadi sih nggak anti gadget, tapi lebih kepada manajemen gadget. Saya sendiri nggak punya tivi, dan nggak pengin beli tivi. Yangapain kalau tivi isinya gitu-gitulah dan justru melenakan. Enggak, saya nggak nyalahin acara tivinya, kok. Saya sadar bahwa acara tivi itu di luar lingkaran pengaruh saya. Siapa sih saya, kok mau ngatur-ngatur? Jadi karena keluarga saya adalah tanggung jawab saya, jadi yaudah saya mula manajemennya dari keluarga aja dulu.


Gadget, apapun itu bentuknya ada masanya jadi penghambat komunikasi dalam keluarga bergantung gimana kita memanfaatkannya. Misalnya ketika semua anggota keluarga berada di ruangan yang sama tapi pegang gadget masng-masing ya artinya kan komunikasinya nggak  jalan. Lebih parahnya lagi ketika gadget dijadikan sebagai pengganti kehadiran orang tua. Yang paling penting adalah kita tahu batasannya sampai sejauh mana. Gadget menjadi bahaya juga ketika orang tua sedang bekerja dnegan gadgetnya ketika anak memanggil tapi nggak sepenuhnya hadir (seperti yang sudah dijelaskan pada Part 1).

Namun nggak perlu khawatir, namanya generasi alpha kayak anak-anak kita sekarang, gadget tentunya akan jadi pendukung komunikasi. Misalnya, ketika anak nonton bareng dnegan orang tua dan ketika sedang berada jauh dari anggota keluarga lainnya.

Sakha bahkan udah ngerti banget kalau video call dengan Eyang atau Nininya. Meski akhirnya pas nyambung malah sibuk nyari-nyari dan pegang wajah yang ngomong, at least dia sudah tahu bahwa begitulah caranya berkomnikasi dengan keluarga yang jaraknya jauh.


Ada quote dari Ali bin Abi Thalib yang menyatakan bahwa, “Didiklah anakmu sesuai dengan zamannya karena mereka tidak hidup di jamanmu.


So, jangan sampai anak kita jadi gagal gaul dan ketinggalan zaman hanya karena orang tuanya yang terlalu ketakutan terhadap sesuatu yang belum pasti terjadi. Orang tua adalah panutan, titik tumpu, pijakan sementara anak masih merasa bahwa dunia luar adalah ancaman. Kata Mbak Anti, tidak ada orang tua yang sempurna. Tapi saya percaya bahwa semua orang tua pasti ingin yang terbaik untuk anaknya. Entah caranya seperti apa, yang jelas sebagai orang tua millenial ya jangan berhent belajar.

1 comment

  1. Mantap maaakkk.. Aku gk ikut seminarnya tp malah dpt reviewnya lgsg ❤

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<