My Big Regret



Setiap orang saya pikir punya penyesalan dalam hidupnya. Tapi terkadang saya dan kebanyakan orang berpikir bahwa penyesalan ada karena kesalahan yang telah saya perbuat dalam hidup.


Kalau orang-orang mungkin menyesal  nggak menikahi laki-laki yang sebenarnya dipilih dan diidam-idamkannya. Ada juga orang yang bilang dia menyesal karena menikah dengan orang yang salah.

Intinya, menyalahkan keputusan besar dalam hidup yang telah diambil. Saya pikir itu bukan hal bijak.

Kita terlalu fokus kepada keputusan yang kita ambil. Tapi ternyata itu salah.



"The old adage still rings true: it’s not the things you do in life that you regret—it’s the things youdon’t do," Emotion Journal.


Jadi pernah ada studinya bahwa dari ratusan responden dalam enam penelitian yang dilakukan oleh seorang peneliti. Mereka diminya untuk menyebutkan satu saja penyesalan dalam hidupnya. Dan guess what, 76 persen dari para responden kebanyakan memberikan jawaban bahwa mereka nggak bisa mencapai idealisme yang mereka tanamkan terhadap diri mereka sendiri.

Kalau di dalam masyarakat kita, masih berlaku ‘kebenaran umum’ semacam untuk jadi orang yang dianggap baik-baik saya berarti kita harus menikah tepat waktu, banyak uang, punya anak, dan sebagainya. Sementara saya pikir kita tidak bisa hidup dalam bayang-bayang dan ekspektasi orang lain.

Kalau penyesalan terbesar dalam hidup saya sendiri adalah bahwa saya tidak memanfaatkan usia yang telah Tuhan berikan seoptimal mungkin. Diusia saya harusnya saya sudah hidup dengan tenang, menikmati karir dan mungkin bersosialisasi.

Namun sepertinya masa lalu saya habis untuk bereksperimen. Mencoba ini itu. Hidup sebagai ini dan itu. Bercita-cita ini dan itu sampai akhirnya saya sadar bahwa tubuh saya sudah tak sekuat dulu.


Lah kan kamu juga masih muda!


You said!

Tapi saya yang merasakan tubuh saya sangat berubah. Ingat bahwa kita harus mulai merawat kulit wajah dan menggunakan anti aging sejak usia 25 tahun? Ketika itulah tubuh mulai berubah.

Saya pikir kapan lagi saya bisa jadi relawan kesana dan kemari. Kapan saya bisa ikut kompetisi ini dan itu. Kenapa saya dulu nggak terpilih untuk ajang itu tapi saya kok menyerah begitu saja? Kenapa usaha saya Cuma sampai segitunya. Kenapa saya begitu mudah menyerah? Kenapa saya nggak ambisisus padahal saya kompetitif?

Whatever, you name it... prestasi-prestasi itu masih jauh, sangat jauh dari harapan. Nyatanya ya saya sudah harus berhenti. Sekarang banyak sekali pertimbangan untuk bisa melakukan sesuatu sebebas dulu. Sekarang hidup sudah masuk pada tahapan menerima. Tak ada waktu untuk denial lagi. Setidaknya itu yang saya pelajari dari perubahan kurva hidup saya setahun belakangan.


Dalam waktu yang singkat, orang mungkin akan menyesali ‘kenapa saya melakukan itu’. Namun dalam jangka waktu yang lebih lama, penyesalan yang lebih dalam akan berkutat tentang ‘kenapa saya tidak melakukan itu’.


So, selagi masih ada waktu, lakukanlah apa yang ingin kamu lakukan. Kejarlah. Jangan terlalu banyak excuse yang membuat kamu nggak akan pernah melakukan apa-apa. Belajar banyak bahasa, melakukan perjalanan ke ujung dunia, menulis buku, membangun komunitasmu, mencapai gelar akademik, mengumpulkan uang... jangan menunggu sampai besok. Hal itu Cuma bisa kita lakukan sekarang atau penyesalan akan datang kemudian.

Ya, kalau sudah sampai tahap penyesalan nggak akan ada yang bisa kita lakukan. Menerima, ikhlas, dan move on untuk bisa melanjutkan hidip. Yakin sekecil apapun, kita pasti bisa memberikan manfaat untuk umat, untuk bumi, untuk alam semesta.

No comments

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<