Masa Lalu yang Kotor


 
Masa kecil saya dihabiskan di sebuah desa di Selatan Lampung. Desa yang cukup jauh dari kota dan cukup tertinggal. Jadi sudah bisa ditebak bahwa teman-teman saya waktu kecil ya anak-anak buruh tani. Saya juga main di sawah. Saya main kotor-kotoran, dan saya nggak pernah menyesali masa kecil saya.



Saya justru bersyukur saya pernah hidup disana. Sehingga saya bisa belajar dari mereka.


Saya adik-adik saya dititipkan kepada keluarga seseorang yang dulu saya panggil Mbokdhe, atau Bude, tapi kemudian pada generasi adik saya dia sudah punya cucu yang seumuran dengan adik, maka maki lantas memanggilnya Mbah Idok, alias Nenek Perempuan.  Rumahnya di seberang tempat Ibu kerja, dan Bapak juga kalau jemput Ibu selalu transitnya disana. Selain itu juga dulu waktu pertama kali datang dan ditugaskan di desa itu, Bapak tinggal bersama keluarga tersebut.

Mbokdhe berprofesi sebagai pedagang pecel dan gorengan. Dan Pakdhe, suaminya, punya bengkel macam-macam. Mulai dari sepeda, motor, mobil, sampai traktor pn jadi kliennya. Jadi kami sudah terbiasa hidup ‘kotor’.

Selain kepada keluarga mereka, kami terkadang juga dititipkan kepada Mbokdhe Yah. Ini sebenarnya kawan orang tua kami, tapi sudah seperti saudara sampai sekarang. Rumahnya di samping sawah. Jadi kebayang kan kami mainnya dimana. LOL.

Kami juga beberapa kali dititipkan di rumah Mbah Lastri. Mbah ini sebenarnya masih terhitung saudara jauh dengan Ibu. kehidupannya sangat sederhana. Rumahnya dulu geribik. Sumurnya lumayan jauh dari rumah. Disana kami sering makan telur bebek dadar campur tepung terigu. Biar hemat. Jadi satu buah telur, dicampur terigu, lalu digoreng super tipis. Biar apa? Biar jadinya lebar. Masyaa Allah.

Di lingkungan rumah pun saya punya cerita. Kami tinggal di lingkungansekolah Maarif dan pondok pesantren. Sementara lingkungan masyarakat di sekitarnya merupakan keluarga yang ekonominya kelas menengah kebawah. Saya sering melihat bayi-bayi mereka makan nasi pakai air garam. Lagi bags kalau ditambah bawang goreng. Saya jadi sering request ke Ibu untuk makan dengan menu itu. Kadang-kadang saya juga makan Cuma pakai bawang goreng. Saya juga pernah keidean makan pakai margarin yang dicampur kenasi hangat. Pernah juga makan nasi pakai minyak bekas goreng ikan.

Ibu nggak pernah melarang saya untuk ikut-ikutan teman. Karena ya masih kecil juga, ikut-ikutannya ya baru sebatas itu. Saya merasa makanan di rumah saya beda dengan mereka. Bahkan dari baunya pun beda. Kadang masakan di rumah merek awarnanya hitam. Mungkin teroksidasi, tapi kalau kata ibu juga karena pengaruh wajan yang hitam dan juga asap dari tungku.

Beberapa kali saya mendapati karakter makanan olahan dapur yang mirip seperti itu di lokasi pemberdayaan. Itu membuat saya makan dengan lahap dan melayangkan ingatan pada masa kecil saya. Saya juga jadi paham, rumah dan penghuninya yang seperti apa yang bisa menghasilkan masakan dengan karakter serupa.

Teman-teman saya memang unik. Sewaktu kami mencuci tenda bekas kemah Pramuka di sawah, teman-teman saya malah mencari bahan makanan. Ada sayuran yang memang saya kenal seperti genjer dan kangkung, tapi ada juga yang saya anggap rumput sampai sekarang. Mereka makan itu. Tak sekedar menyelesaikan tanggungjawab dari sekolah untuk mengembalikan kondisi tenda kami, beberapa teman juga tetap membantu orang tua mencari sayuran. Saya sendiri pulang dengan membawa cerita segudang karena ternyata sawah tempat kami mencuci tenda adalah tempat penggembalaan sapi dan kerbau. Jadilah saya gatal-gatal.

Beberapa kali Ibu memberikan sepatu dan tas kepada beberapa teman saya. Saya paham betul, kami beli sepatu di kota ketika mudik lebaran atau liburan. Sementara teman saya beli sepatu bertahun-tahun hanya sekali. Tak jarang dari mereka juga kesekolah pakai sandal atau bahkan tanpa alas kaki. Bahkan ada seorang teman sekelas saya waktu SD, rumahnya belasan kilometer dari sekolah. Dia naik sepeda. Kalau musim hujan dia nggak bisa kesekolah karena harus melewati sungai besar yang banjir. Kadang-kadang dia sampai di sekolah dengan kondisi badan berlumpur.

Ada juga yang kesekolah memakai tas dari kresek. Iya kantong kresek yang hitam. Ah, tapi saya yakin kehidupan mereka kini sudah membaik. Saya nggak pernah ketemu mereka lagi. Mungkin juga saya susah mengenali wajahnya. Pernah saya ketemu seseorang yang dulunya kecil dan malu-malu, sekarang badannya berotot dan sudah mirip Bapak-bapak. Maklumlah, kehidupan menempanya dengan keras.

Saya bersyukur pernah tinggal di desa itu dengan segala keunikannya. Meski pada dasarnya kami sekeluarga nggak ada yang betah tinggal disana, tapi setidaknya saya bisa mendapatkan banyak pelajaran. Empati dan simpati saya telah terlatih sejak kecil, berkat para pengasuh saya, teman-teman saya, dan juga orang tua yang nggak pernah melarang kami untuk memuaskan masa bermain dan bereksplorasi.

No comments

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<