Wow! Seram
ya judul saya? Ini saya kutip dari banner yang dibawa oleh seorang perempuan
ketika melakukan aksi demo beberapa
waktu lalu. Harga-harga sekarang naik, telur aja Rp. 24.000 Cuma dapat 16 butir
ukuran sedang. Untuk beli beras saya harus mengeluarkan Rp. 125.000 per sepuluh
kilogram. Harga tempe daun ukuran makan empat orang lima ribu perak. Belum minyaknya,
garamnya, bawangnya, ketumbarnya, gasnya, tenaganya. Halah. Pusing, kan?
“... Penak jamanku, tho?”
Nggak asing
juga kan dengan jargon “penak jamanku” yang biasa kita lihat di kaos atau
stiker? Ya emang, jaman saya SD dulu beras kayakna masih harga seribu-dua ribu,
jajan aja Cuma lima ratus perak.
LOL.
Tapi kalau
saya sih sadar bahwa dunia terus bergerak. Nilai uang juga sudah berubah. Jadi ya
wajarlah kalau semuanya berubah. Kalau yang dipermasalahkan oleh ibu-ibu
pendemo di atas itu kan soal pemerintah yang kesannya lebihi mementingkan
pembangunan infrastruktur daripada mengurusi rakyatnya yang nggak sanggup beli
beras.
Apakah benar infrastuktur itu nggak penting? Jangan skip tulisan saya, ya. Baca terus sampai akhir.
Seperti
yang pernah saya tulis sebelumnya, Indonesia
membutuhkan pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6% pertahun. Selain harus
naik, pertumbuhan ekonomi harus inklusif.
Jangan sampai ada ketimpangan yang sangat signifikan yang akan
menyebabkan pertumbuhan ekonomi yang tidak sustainable.
Sementara skenario Bappenas menggunakan asumsi bahwa
investasi tumbuh rata-rata 5,5% pertahun. Selain itu asumsinya adalah tidak ada
peningkatan efisiensi pasar tenaga kerja dan tidak adanya reformasi di dunia
pendidikan.
Demi mencapai target pembangunan, pemerintah saat ini
memang tengah gencar melakukan pembangunan infrastruktur. Pemerintah Provinsi
Lampung pada 2017 misalnya, membuka transportasi darat masyarakat di lima
kabupaten yakni Lampung Barat, Pesisir Barat, Tulangbawang, Tulangbawang Barat,
dan Mesuji. Akses itu dibuka lewat angkutan perintis dengan tarif terjangkau.
sesuai Nawa Cita Presiden Joko Widodo dimana negara hadir di tengah masyarakat,
angkutan perintis adalah bentuk kehadiran itu. Ini sekaligus memperkuat
konektivitas antarwilayah, memperkecil ketimpangan, dan kesenjangan sosial di
bidang transportasi. Transportasi itu urat nadi pembangunan. Kalau urat nadinya
jalan, denyut kehidupan akan ikut bergairah. Otomatis, potensi ekonomi bisa
dioptimalkan. Harga komoditas tentu akan naik, jika transportasinya lancar. Ini
yang menjadi fokus kami, agar angkutan perintis menjadi ujung tombak sekaligus
sebagai public service obligation pemerintah.
Baca juga:
Tantangan
Pertumbuhan Ekonomi Domestik
Terkait infrastruktur inilah, orang nomor satu di
Indonesia jadi bulan-bulanan. Lantaran Presiden juga menggarap dan membangun
mulai dari daerah pinggiran, dari desa, dan dari perbatasan. Menurut Presiden,
di beberapa tempat milik Indonesia kondisinya sudah jauh lebih baik ketimbang
milik negara tetangga. Pembangunan airport, bandara, jalan trans Kalimantan,
Papua, jalan tol dari mulai Lampung menuju Aceh agar ekonomi kita semakin baik
dan rakyat kita semakin sejahtera. Semoga dalam implementasinya juga
dilaksanakan sebaik mungkin di tingkatan bawah sehingga nggak terjadi lagi
ganti rugi lahan untuk tol di bawah harga tanahnya seperti beberapa waktu lalu
hingga masuk ke persidangan.
Buibu tukang demo, sesungguhnya pembangunan infrastruktur itu ya untuk menjawab kegelisahanmu tentang tingginya harga untuk bertahan hidup!
Ini tentang ketimpangan yang selama ini terjadi. Ketimpangan
yang jadi masalah di seluruh dunia tak terkecuali di Indonesia. Ketimpangan ini
memang sudah ada sejak jaman dahulu kala, jadi untuk memutus rantainya, nggak
bisa dilakukan dengan sulap seribu candi dalam semalam.
Diketahui dari data BPS, bahwa angka ketimpangan pengeluaran penduduk
Indonesia yang diukur dengan rasio Gini pada Maret 2017 bergerak stagnan
sebesar 0,393. Angka tersebut sebenarnya turun, tetapi penurunannya sangat
kecil yakni hanya 0,001 poin jika dibandingkan dengan rasio gini September 2016
yang mencapai 0,394. Jika dibandingkan dengan rasio Gini Maret 2016, penurunan
mencapai 0,004 poin dari 0,397.
Apa sih penyebab adanya ketimpangan? Banyak. Diantaranya karena adanya
perbedaan income, kesempatan dan akses terhadap uang, teknologi, informasi yang
menyebabkan kesenjangan kesejahteraan. Hal ini juga timbul akibat adanya
perspektif gender dan lingkungan fisik dan juga aset yang dimiliki.
Hal ini erat kaitannya dengan ketidakstabilan sosio-politik di negara kita.
Bayangkan saja, negara Indonesia sudahlah miskin, ketimpangan ekonominya tinggi
pula. Jadi masyarakat Indonesia yang kaya buanget yang hartanya nggak habis
dimakan tujuh turunan sekecamatan ada, yang nggak makan seminggu juga ada. Nah,
ini dapat menyebabkan konflik yang tentunya kelak menghambat pertumbuhan
negara. Selanjutnya, dengan adanya ketimpangan akan muncul lebih banyak
hambatan dalam lingkungan bisnis, birokrasi yang memberatkan UKM, dan
investasi.
Konon menurut beberapa ahli, sistem perekonomian di Indonesia memang rentan
menyebabkan ketimpangan. Tentunya Indonesia tidak dapat lepas dari pengalaman
masa lalu. Akibatnya, sejumlah kecil dunia usaha menjadi sangat dominan dan
menguasai pasar dan akses terhadap teknologi dan informasi. Sementara sebagian
besar UKM ynag dibangun dari grassroot mempunyai akses yang lebih terhadap sumber
daya tersebut. UKM biasanya mempunyai kelemahan dalam pembiayaan, teknologi,
kemampuan manajerial, produktivitas hingga kealpaan pengetahuan dan akses
terhadap regulasi dan hukum secara umum. Sistem ekonomi semacam ini
mengakibatkan adanya rantai pasok atau supply chain hanya dimiliki oleh
kelompok tertentu. Sistem supply chain di luar konglomerasi sangat lemah.
Dalam kesempatan pertemuan dengan Menteri Bappenas seusai menerima
penghargaan Adikarsa Mahatama di kampus Institut Teknologi Sumatera (ITERA), setahun
lalu, saya mengutarakan pendapat tentang buruknya supply chain dan value chain
di Indonesia yang menyebabkan gap atau ketimpangan antara penduduk di Jawa dan
luar Jawa menjadi sangat tinggi. Hal itu diamini oleh Pak Bambang Brodjonegoro,
itulah mengapa pemerintah saat ini tengah fokus membangun infrastruktur.
Sebenarnya pemerintah telah berusaha sangat keras untuk menurunkan angka
ketimpangan ini. Struktur perekonomian di Indonesia yang masih didominasi oleh
masyarakat di Pulau Jawa salah satunya adalah karena konektivitas. Di pulau
Jawa, manajemen rantai pasok atau supply chain sudah lebih baik daripada daerah
di luar Jawa. Untuk itu pemerintah membangun konektivitas yang mampu
menghubungkan wilayah timur dengan bagian barat. Dengan konektivitas yang lebih
baik, kawasan timur Indonesia akan dapat merasakan dinamika pembangunan yang
telah dilakukan di wilayah barat Indonesia dan tengah seperti di Pulau Jawa.
Kedua, pemerintah juga membangun sentra ekonomi di luara Jawa. Dengan
membangun zonasi-zonasi industri di luar Jawa akan mampu mengurangi biaya
logistik. Selama ini harga kebutuhan pokok di luar Pulau Jawa lebih tinggi.
Apalagi di pelosok, sudahlah harganya tinggi, langka pula.
Ketiga, meningkatkan peran serta swasta dalam pembangunan ekonomi dengan
penciptaan lapangan kerja. Keberadaan usaha kecil dan menengah akan mampu
mengatasi permasalahan supply chain dan value chain. Sebenarnya fokus bahasan
utama supply chain adalah adanya kolaborasi dan koordinasi lintas organisasi,
fungsi, kepentingan, hingga lokasi demi terpenuhinya kebutuhan masyarakat
secara efektif dan efisien.
Adanya kesenjangan antara usaha kecil dan besar di Indonesia utamanya
disebabkan kelemahan dalam pengembangan rantai nilai atau value chain dan
supply chain. Supply chain dibentuk oleh usaha besar, dengan mampu menguasai
pemasaran, mereka mengembangkan produksi hingga menjadi vertikal integrasi.
Menurut saya, akan lebih baik jika UKM dari berbagai sektor diintegrasikan
dengan usaha yang sudah lebih besar dan menguasai pasar.
Aspek yang sangat dibutuhkan dalam supply chain manajemen adalah
reliability (Handal), responsiveness (cepat tanggap), agility (Fleksibel dan
Adaptif), process efficiency (kemampuan untuk efisiensi biaya) dan asset
productivity (kemampuan untuk memaksimalkan produktivitas dan revenue dengan
meminimalkan penggunaan aset). Aspek reliability, responsiveness dan agility
merupakan aspek-aspek supply chain dari sisi kepentingan pelanggan, sementara
process efficiency dan asset productivity lebih merefleksikan kepentingan
perusahaan.
Dalam aktivitas supply chain, ada lima proses utama yang tidak bisa
dilepaskan. Aspek tersebut adalah planning, procurement, production,
distribution dan handling returns. Dengan adanya pemahaman antara aspek yang
melingkupi proses dalam supply chain, maka upaya untuk menekan angka
ketimpangan harus dilakukan secara menyeluruh dan terintegrasi dengan
menggandeng pihak swasta seperti yang sebelumnya saya katakan. Saya optimis
bahwa upaya ini akan lebih berdampak nyata daripada sekedar memberikan bantuan
atau pun subsidi. Dengan demikian masyarakat akan bangkit dan sadar bahwa
tingkat ekonomi mereka adalah tanggungjawab untuk mereka perjuangkan. Dengan
adanya dukungan jalan dari pemerintah tentu akan membuka mata dan membuncahkan
semangat bagi masyarakat.
Nah kembali lagi ke banner demonya perempuan itu. Jadi supply chain yang
saya maksud ini ada hubungannya dengan infrastruktur. Dengan pembangunan jalan,
misalnya. Ini akan memutus rantai supply chain sehingga orang-orang Papua sana
nggak perlu jalan kaki berhari-hari mendaki gunung lewati lembah demi
berbelanja atau sekedar ada keperluan mengunjungi instansi. Dengan adanya akses
jalan raya, membawa orang sakit juga jadi lebih mudah dan cepat.
Contoh lainnya dengan pembangunan pelabuhan di Sei Mangke misalnya, produk
impor nggak perlu dibawa dengan menggunakan kapal besar ke Singapura, lalu
dioper pakai kecil ke Indonesia gara-gara masalah ketinggian daratan. Kapal-kapal
kecil pengangkut barang juga sekarang nggak harus singgah di Tanjung Priok dulu,
tapi bisa langsung ke pelabuhan tujuan.
Selain untuk menyetarakan harga-harga kebutuhan pokok di seluruh Indonesia, pembangunan infrastruktur ini juga penting untuk menjaga kualitas barang. Sehingga umur simpan barang yang pendek tidak habis diperjalanan.
Hal ini
terungkap dalam kesempatan Dialog Nasional Indonesia Maju yang digelar di
Gelora Bung Karno Hall Basket, Selasa ( 4/12).
Kegiatan ini dibidani oleh LPP Edukasi Yogyakarta yang didirikan oleh
Dr. Wahyu Purwanto, MSIE di bawah binaan Yayasan Pendidikan Mahisa Agni
Yogyakarta bekerjasama dengan Kopertis Wilayah 2. Melalui penyelenggaraan
dialog yang telah memasuki seri ke 11 ini menurut Dr. Dwi Soetjipto dalam
sambutannya mewakili LPP Edukasi, para peserta diharapkan selain mendapatkan pemahaman dari sumber yang
berkompeten, harapannya juga dapat menghasilkan feedback dari masyarakat dalam mendukung kinerja pemerintah saat
ini.
Kegiatan yang
turut didukung oleh Blue Bird, BRI, PLN, Kementerian Perhubungan, hingga Grab
ini turut menghadirkan Pengamat Transportasi Dr. Darmaningtyas, Menteri
Perhubungan Budi Karya Sumadi, dan Dirjen Perhubungan Darat dan Kakorlantas
Mabes POLRI.
Dalam kesempatan
itu, pengamat Dr. Darmaningtyas mengungkapkan bahwa proses modernisasi transportasi
di Indonesia juga dibangun lewat pengembangan stasiun, bandara, dan LRT yang
didukung IT.
“Bandara Soekarno Hatta sudah peringkat kesepuluh dari bandara-bandara di dunia,” kata Menteri Budi.
Fakta ini
turut diamini oleh Dr. Darmaningtyas dengan mengatakan,”tidak ada bedanya
kualitas bandara Soekarno-Hatta dengan bandara terkenal di luar negeri.”
Beliau juga
mengungkapkan bahwa pemerintah juga akan melakukan optimalisasi penataan
angktan umum yang melewati jalan tol. Sementara di luar Jawa akan dilakukan
pembangunan 2.882 tambatan perahu untuk optimalisasi angkutan sungai.
Nah tentunya,
lanjut Dr. Darmaningtyas, untuk membangun Indonesia satu, maka harus ada
persamaan harga. Dulu di Jawa harga BBM Rp. 1.000/liter diprotes. Sedangkan di
Papua malah Rp. 50.000/liter. Butuh proses edukasi publik, bahwa Indonesia
tidak hanya Jawa. Manfaat infrastruktur dapat dinikmati sampai anak cucu untuk
menggerakkan ekonomi dan kemudahan kehidupan.
Jadi, mana suaranya yang bilang enggak makan infrastruktur dan terus menerus memaki pemerintah?
Setuju banget mbak Rinda, mau cari nafkah dari jualan gorengan pun harus mengeluarkan modal .
ReplyDeleteApalagi memberi nafkah ratusan juta mulut penduduk Indonesia