"... Lalu yang kamu anggap sebagai momen terbaik itu yang gimana?" tanya HB ketika saya bilang bahwa melahirkan Sakha bukanlah momen terbaik saya setelah membaca blog sujiwo.com.
Entah
gimana kata-kata itu meluncur dari mulut saya meski ada rasa takut dimarahi oleh
suami sendiri.. Momen terbaik bagi saya adalah yang
membahagiakan dan saya justru sedih paska melahirkan. Post
partum is not that easy. Saya bilang bahwa saya nggak punya momen terbaik
di 2018. Terlebih sejak hamil trimester kedua
menjelang ketiga. Sakit, bosan, sedih.
Baca juga: 2trimester dan Kejutan dari Kakak Plasenta
Perasaan
itu berlanjut hingga saya harus begadang tiap malam. Berganti-gantian dengan HB
atau Ibu terbangun, sedikit tidur, lalu bangun lagi hingga tidak tidur sama
sekali. Perasaan itu makin ingin membuncah ketika saya dengar hujatan-hujatan
atau sekedar komentar pedas atau pun yang sebenarnya hanya bermaksud membagi
pengalaman dan kebahagiaan. Saya
menangis setiap melalui siang hari hanya berdua dengan Sakha. Ketika saya
bahkan belum sempat mandi atau sarapan dan dia merengek terus tanpa ampuun. Tak
ada hal lain yang saya lakukan selain menangis dan merutuki keadaan.
Nyatanya saya tidak (atau belum) merasa bahagia.
Ya,
saya memang bahagia ketika berada di ruang operasi. Saya
merasa sangat nyaman ketika memasrahkan kehidupan saya. Sangat bahagia karena
rasa sakit yang saya alami selama berbulan-bulan akan berhenti di sana. Di meja
operasi lewat denting-denting pisau dan jarum.
Saya
tidak pernah menyebut diri saya sebagai 'ibu hamil', Saya mengaku
sebagai seorang 'perempuan hamil'. Mungkin karena memang saya belum siap untuk
menjadi Ibu. Mungkin karena memang saya belum memikirkan tentang diri saya
sendiri dan perubahan-perubahan sangat besar yang akan terjadi. Saya hanya tahu
tentang teori-teori melahirkan yang nyaman, ASI, pengasuhan, tapi saya lupa
menyiapkan teori tentang diri saya sendiri.
Saya
bukan tidak bersyukur, saya justru sangat bersyukur. Saya
bersyukur terlepas dari kesakitan selama berbulan-bulan. Jadi jangan
judge saya atau semangat saya untuk pulih akan makin kendur
dan hati saya hancur. Saya bukan kufur, saya hanya butuh waktu untuk tafakur.
Saya
hanya tidak
siap menerima tamu nyinyir dalam kondisi tubuh yang ringkih. Saya tidak siap
tersenyum sumringah dalam kondisi mengantuk, sakit kepala, leher berat dan
demam karena payudara bengkak. Saya tidak pernah menyangka bahwa sakit yang
saya rasakan ketika belajar tidur miring dan berjalan ke kamar mandi adalah
tidak sebanding dengan sakit hati dan pikiran-pikiran dalam otak saya sendiri.
Lalu
di tengah kulit saya yang pucat pasi, rambut awut-awutan karena belum menyisir
sejak pagi, kulit kemaluan iritasi karena berminggu-minggu memakai pembalut
tanpa henti, saya masih harus sibuk dengan tangis bayi.
Saya
merasa kebebasan saya dikekang, bahkan hak hidup saya dirampas dan masa depan
saya seolah akan hilang. Berhenti di sini. Semuanya berakhir
dalam urusan ini, menimang, ASI dan mengganti popok bayi.
Di
sisi lain saya diliputi kekhawatiran, akankah semua teori yang saya dapatkan
tentang MPASI, toilet training, gadget, dan seterusnya itu akan teraplikasikan
dengan baik atau tidak. Apakah kelak saya akan mampu menjaga amanah ini atau
tidak. Apakah saya mampu memberikan kehidupan yang baik, kasih sayang tulus,
dan masa depan gemilang atau tidak.
Mempunyai
anak, bagi saya adalah memikul beban tanggungjawab yang teramat sangat berat.
Tanggungjawab yang entah akan seperti apa pelaksanaannya kelak.
Atau
bahkan akan berakhir sama seperti pola meng-ASI-hi eksklusif plus sufor saya
yang dihujat, dijudge, dan dikomentari begini begitu lalu akhirnya seret. Macet.
Ketika
pumping dan hanya menghasilkan 20 ml itu sangat menyakitkan sementara orang
hanya mampu teriak "paksakan!".
Kondisi yang akhirnya membawa saya bertemu dengan terapis, yang justru
hanya memaksa
saya untuk tidak stress. Sementara saya sendiri tidak yakin apakah saya stress
atau bahkan gila. Terapis yang memaksa anak saya untuk direct breast feeding
hingga anak saya terus menangis berjam-jam. Anak saya trauma,
bahkan ketika melihat puting Ibunya sendiri. Menjerit melengking ketika haus
dan makin tidak sabaran. Saya makin tertekan.
Blogpost
pengumuman giveaway di blog Pungky-Topan itu sungguh membawa perubahan,
setidaknya bagi saya. Bagi pola pikir saya.
Ad-dhuha. For when you’re feeling lost and hopeless.
Siang
itu saya mengirim pesan chat kepada seorang sahabat. Hanya chat iseng. Hingga
berakhir dengan sharing dan kesimpulan bahwa saya butuh me time.
Lho,
saya sudah melakukan itu. Malam-malam di Leipe Coffee berhadapan dengan laptop,
segelas espresso-based-beverage-yang-saya-lupa-namanya dan alunan Bon Jovi dari
home band berjarak tak lebih sepuluh
meter dari saya. Ya, hanya sekali itu saya me time, pun dengan deadline
pekerjaan. Selebihnya saya pernah me time ke pasar, tergesa-gesa, memburu waktu
karena hari menjelang sore.
Menurut
sahabat saya itu bukan me time. Seharusnya saya benar-benar menikmati waktu
saya. Bukan untuk menyelesaikan pekerjaan meski dalam suasana berbeda dan
nampak bersenang-senang.
Ah,
setidaknya postingan di blog Pungky-Topan telah membawa saya untuk bicara
dengan HB secara terang-terangan dan tanpa keterpaksaan. Semua mengalir begitu
saja. Meski dengan isak tangis yang berakhir di pelukan, saya bahagia perasaan
saya terungkap, membuncah begitu saja tanpa saya sadari.
Bahagia
kembali pada definisi sebenarnya. Bahagia itu saya sendiri yang ciptakan.
Bahagia ada dalam otak dan mengalir lewat aliran darah saya.
Terkadang
saya memang terlalu berambisi pada
rencana. Saya terbiasa set up ekspektasi, dan dalam kondisi seperti ini saya
jadi stress sendiri. Me, myself connecting the dots and reflect on what
happened to me. Dan saya kembali percaya bahwa garis cerita yang indah tidak
melulu tersusu dari titik-titik bahagia semata.
Saya
bahagia, di masa-masa yang melelahkan dan membosankan ini akhirnya saya
menyadari perasaan dalam diri sendiri. Perasaan yang saya sendiri tidak
bermaksud untuk menutupi karena saya pun bingung dengan situasi
ini. Perasaan yang menyayat dan merongrong kewarasan tanpa saya sadari.
Life is better when sharing. Saya bahagia ada HB, saya bahagia bersama
sahabat saya. Saya bahagia karena kemarin bisa kepasar beli persiapan bahan buat
pengabdian lalu siang sampai sore melakukan pengabdian masyarakat. Lalu hari ini saya sangat
berbahagia karena bisa nonton Wiro Sableng lanjut rapat kecil bahas program
bersama kawan-kawan tangguh Jaringan Perempuan Padmarini (JPP). Saya bahagia
karena Ibu dan Bapak datang, merindukan cucunya lalu mengasuhnya sepanjang
hari. Saya bahagia beberapa persen kewarasan saya telah kembali.
Lalu
ketika saya sadar bahwa bahagia adalah saya sendiri yang ciptakan, berdamai
dengan keadaan, maka sekarang saya bisa bilang bahwa
melahirkan Sakha adalah momen terbaik saya. Kelahiran saya sebagai Ibu adalah
momen terbaik saya. Melahirkan kedua orang tua saya sebagai Eyang adalah
momen terbaik saya. Dari sanalah saya mulai belajar untuk lebih
bertanggungjawab, menjaga amanah, menjalankan muamalah, dan bahkan mengatur
kapan saya harus bahagia atau terlarut dalam sedih
berkepanjangan.
Saya tidak butuh dinasehati. Saya bukan tidak bersyukur. Saya hanya perlu momen untuk diri saya sendiri.
Saya membuka kembali album foto di galeri smartphone saya. Satu persatu
foto saya pandangi. Sayangnya ada momen-momen yang terkadang terlupakan yang
justru memberikan kenangan. Beruntung HB mengabadikan momen terbaik
di 2018, bahkan terbaik dalam hidup saya ketika saya akan memasuki ruang
operasi untuk melahirkan Sakha. Momen pertarungan nyawa. Momen yang terbaik
bagi saya dimana seluruh keluarga berdebar, berdoa. Seluruh kawan memberikan
perhatiannya berupa berkantong-kantong darah juga doa-doa dan semangatnya. Seluruh
tim dokter berusaha sekuat tenaga untuk menyelamatkan saya dan bayi. HB yang
pastinya lelah tapi bahagia sebagai runner yang kesana kemari. Pada momen itu,
semua orang yang saya sayangi dan menyayangi saya memfokuskan perhatian dan
afirmasi untuk semesta untuk mengantarkan kebahagiaan saya berikutnya. Motherhood.
Momen
inilah yang membawa saya pada kondisi hari ini. Belajar untuk bahagia meski
dalam kondisi yang sangat amat berbeda dari sebelumnya.
Tentunya,
saya tidak ingin momen-momen terbaik berikutnya terlewatkan begitu saja. Momen peningkatan
karir saya, kehidupan keluarga kecil saya, HB dan juga Sakha, millestone
pertumbuhannya hingga setiap saat akan saya abadikan agar mengingatkan saya
bahwa dalam menerima anugerah ini, tidak seharusnya saya bersedih hati. Saya harus
berbahagia.
Saya percaya, lewat jepretan kamera saya bisa mengabadikannya. Untuk mendukung
hal itu, tentu saya butuh smartphone dengan desain yang keren agar tidak kalah
saing dengan para mahasiswa saya yang tidak pernah ketinggalan zaman. Lalu untuk
mendukung keindahan tangkapan momennya, saya harus punya smartphone dengan
teknologi artificial intelligent (AI) yang mumpuni. Smartphone yang mempunyai
storage hingga 128 GB sehingga saya bisa menyimpan semua momen dalam hidup
sebanyak mungkin dalam bentuk foto dan video. Tentunya kapasitas storage
smartphone impian saya di 2018 haruslah yang paling besar di kelas smartphone
mid-end saat ini seperti yang dimiliki oleh Huawei Nova 3i. Boleh dibilang
ini adalah smartphone impian yang bakal mendukung saya dalam merekam semua
momen dalam hidup saya kedepan.
Membaca blogpost sujiwo.com ini membuat saya sedikit sadar bahwa ada yang
salah dalam diri saya. Ada yang anomali tanpa saya sadari. Bahkan sekedar melihat-lihat
foto pun ternyata bisa mengubah kondisi saya pribadi. Lalu saya berusaha menciptakan
bahagia saya sendiri dalam melalui setiap momen dalam hidup ini. Dengan begitu
saya bisa menyadari berkah-berkah dari sekitar, kode-kode dari Tuhan, bukan
dari komentar-komentar manusia.
Thank God for this bless!
Pengalaman yang luar biasa mb, semoga selalu berbahagia. Kalo ngomongin hp aku juga ngimpiin huawei nova 3i, ikut kontes juga tapi ditempat Oom Yahya
ReplyDeleteAamiin, wohohoho semoga kits beruntung yaaaa
DeleteWaktu anak pertama saya pun pernah merasakan seperti yang mba rasakan huhuhu mungkin kaget saya saat itu. Sekarang saya berdamai dengan keadaan, bener kata mba bahagia diciptakan dari diri kita sendiri
ReplyDeleteLalu anak berikutnya gimana mbak?
DeleteSemangat mba Rinda dan bahagiakan dirimu menurut versimu sendiri😘.Dulu 20thn yl aku ngalamin setelah kelahiran anak pertama dan berlanjut hingga kehamilan anak kedua.dan jaraknya ngga terlalu jauh,jadi itu fase2 terberat dlm hidup plus pernikahan.mungkin krn waktu itu usia masih di bawah 30 thn,inginnya perfect tapi ternyata kenyataan berbeda jauh😁😁 dan baru menyadari kesalahan setelah mengalami koma di meja operasi C-sectio ke dua anak kedua.itu menjadi titik balik aku menghadapi hidup dan memilih membahagiakan diri dgn caraku bukan kata orang lain😁😁 semangat terus ya💪💪
ReplyDeleteBener banget, bu. Pe gin perfect dan wah ganyangka ternyata rasanya gini banget huhu
DeleteSemangat menjadi seorang Ibu, mbak Rinda
ReplyDeleteSemangat!
DeleteBahagia itu dari diri sendiri. Seru baca sharingnya ����
ReplyDeleteYakadang dr orang lain jg sih, yg lagi capek2 dipesenin tukang urut gitu juga bikin bahagia
DeleteSaya pernah mengalami juga mbak, pas anak pertama. Ditambah pula hidup sendirian, ortu di propinsi yang berbeda, berjarak ratusan km. Suami juga masih bertugas di lain pulau.
ReplyDeleteSampai sekarang saya masih bisa langsung spontan emosi kalau ada yang mengomentari bagaimana saya membesarkan anak-anak.
Masyaa allah, ini pasti rasanya lebih luar biasa. Sungguh benar ya kalau kits tuh g boleh asal ceplos apalagi nyinyirin pola asuh orang
Deletekadang memang moment melahirkan ada yang enak ada yang ngka ya mbak, tapi pastinya jadi pengalaman baru.
ReplyDeleteIya pastinya! Swmigs bisa ambil hikmahnya aja
DeleteMasyaAllah begitu besar perjuangan seorang ibu. I feel you mbk, saat saya juga pernah laparoskopi. Dioperasi tapi yang dikeluarkan penyakit bukan bayi. Saat bius habis, perih panas, pedih dielus pun rasanya tak hilang. Tapi sekali lagi bahwa kita kuat dan dipilih Allah untuk melaluinya dengan segala rasa. Bersyukur dikelilingi orang2 baik dan sayang. Peluk erat mbk Vita..semangat.
ReplyDeletePeluuuukkkk! Mungkin juga menghapus dosa masa lalu. Aamiin
DeleteSalam kenal juga, Kak! Makasih udah mampir. Ujian orang beda2, makanya kutakpernah kepo kapan nikah, kapan punya anak, kapan nambah anak dll ��
ReplyDeleteSuper banget baca tulisan nya mbak, dalem banget make perasaan. Kadang apa yang kita anggap bukan menjadi the best moment adalah moment terbaik tanpa harus kita sadari
ReplyDeletebaca ini pengen nangis, ingat melahirkan anak pertama juga penuh drama. aku mengalami juga perasaan sediiiih jauh dari keluarga besar enggak ada yang jengguk, fasilitas minim dan huhu .... ekonomi juga dulu drop banget. Semangat Mbk Rinda, semoga segera menemukan ritme yang cocok ya
ReplyDeletesemangat mb rinda. mb sudah menjadi yang terhebat dan menciptakan momenntnya sendiri. semoga senantiasa dilindungi dan diberkahi kehidupannya. aamiin
ReplyDeleteRinda sangat serius menghadapi setiap hal, sepertinya. Eeeeeh, apa karena Umi sudah lama melewati masa-masa itu, ya? Dan saat itu belum menulis. Semangat, pokoknya. Hidup terus berjalan, bahagia atau pun sedih perasaan kita, pastinya enakan bahagia, ya ya ya :)
ReplyDeleteMba. Akukan pengen nikah punya anak ya. Tapi sering lho ngebayangin hamil melahirkan. lalu ketakutan. Hiks. Mau cerita ke temen keluarga ujungnya diomelin. Keknya aku juga cerita ke blog ya mba. Mba btw sing semangat ya. barakallah!
ReplyDeleteMbaaa, baca ini aju lgs inget ama pengalamanku melahirkan. Dan sama kayak kamu, aku dulunya sempet marah, ga trima dan ga akan pernah menganggab melahirkan anak2ku sbg moment terbaik. Buatku dulu, itu justru yg terburuk. Aku sempet babyblues dan ga mau memegang si babies ampe 3 bulan, yg artinya aku menolak kasih ASI. Aku mohon2 ke bos ku supaya maternityku dipercepat, krn aku stress di rumah. Buatku kerjaan kantor jauuuh lbh nyenengin. Sampe segitu parahnya :(
ReplyDeleteTapi lama2 aku bisa nerima sih, walopun lama waktunya. Cuma yg pasti udh bilang ke suami aku ga akan mau punya anak lg. Udh cukuplah yg kemarin2 itu , masih blm bisa kalo hrs melahirkan lagi.. Makanya baca pengalaman kamu, aku bisa ngerti, bangettt. Sampe skr pun momen melahirkan ga akan pernah jd momen terbaikku.
Ikutan larut dalam tulisannya Mbak Rinda,
ReplyDeleteKebayang jga kalau aku udah nikah nanti dan hamil, pas melahirkan, huhuhuuuu
semangat terus ya mbak, sehat-sehat juga buat mbaknya dan dedeknya
Amiin