Kekhawatiran Calon Dosen Yang Belum Punya Homebase


Masih relevannya tulisan saya terkait penghapusan NIDN membuat saya sedih. Artinya masih banyak orang-orang yang bernasib kurang lebih sama dengan saya. Orang-orang yang baru lulus dan menginginkan untuk segera mengabdi, segera mendapatkan homebase. Apalagi biasanya bagi penerima beasiswa diharuskan mengabdi selama N+1 atau N+2. Namun sepertinya karena curhatan saya tersebut terlalu panjang, justru menjadi sulit dipahami oleh pembaca. Entah karena kurang membaca detail, atau saya yang terlalu bertele-tele. Yang jelas waktu itu saya menulis masih dalam kondisi baper. LOL.

Kenapa saya katakan sulit dipahami? Pertama, saya menerima banyak email dan pesan melalui media sosial. Saya sih senang-senang saja. Namun rupanya pertanyaan mereka kadang serupa, dan jawabannya sudah ada dipaparkan secara gamblang di blogpost saya dua tahun lalu. Kedua, banyak yang meminta pendapat terkait labgkah yang harus diambil. Saya bukan person in charge dalam hal ini. Jadi saya tidak punya kapasitas untuk menentukan kamu harus anu, kamu jangan ini dulu. Tanggungjawabnya besar, gengs. Di blogpost itu saya hanya sharing pengalaman dan saya juga sudah paparkan untuk segala pertanyaan terkait bisa langsung ditanyakan via PINTU di Kemenristekdikti.


Dalam postingan kali ini saya ingin menanggapi terkait kekhawatiran bagi calon dosen yang belum mendapatkan homebase. Ini adalah kekhawatiran yang sama dengan yang saya alami dulu, tapi jujur saya nggak pernah sekhawatir itu.
Catatan saya adalah kenapa kasus-kasus seperti ini masih ada? Ya karena kita masih mau diperdayai. Fresh graduate kebanyakan belum makan asam garam kehidupan, terus yang penting ada status sebagai dosen. Enough. Biasanya gitu. Saya punya kawan, lulus S2 bareng saya di 2015. Sampai saat ini dia masih mengajar di PTS, tapi nggak mau dibuatkan NIDN. Dia sadar PTS itu bukan goal dia. Jadi dia asyik berwirausaha sambil mengajar sesuai passionnya. Di kesempatan lain saya pergi ke bank, Si Mbak teller yang cantik bilang bahwa namanya dipakai oleh sebuah PTS yang cukup well known di kota saya. Dia memang nggak butuh ijazahnya karena dia kerja di bank. So, dia rela dibayar hanya Rp. 500.000 untuk jasa peminjaman ijazah.

Artinya, praktik pinjam ijazah ini masih ada ya karena diantara kita masih ada aja yang mau dibayar murah atau bahkan nggak dibayar sama sekali. Miris. Seandainya kita punya bargaining position yang lebih baik, tentunya PT yang nakal sampai yang bodong itu nggak akan lagi memperdayai kita.

Suatu waktu ada yang bertanya begini via email, "Bila mana ingin mengajukan pengunduran diri dari suatu kampus yang ber home base pada PTS tetapi belum mendapatkan PT lain sebagai tempat kerja, apakah otomatis NIDN akan terhapus dari PTS lama? dan akan ada masalah jika mengajukan NIDN dar PTN baru bila sudah di terima?" Saya tegaskan sekali lagi bahwa NIDN itu melekat, jadi nggak bisa dihapus. Ini sudah saya terangkan di blogpost fenomenal itu, ya. So, tolong dibaca lagi dengan detail. Termasuk saran saya untuk tidak melakukan penghapusan NIDN sebelum mendapatkan homebase baru.

Ini berlaku bagi orang-orang yang khawatir akan lama mendapatkan kampus baru atau bahkan tidak mendapat kampus sama sekali. Which is ini sangat nggak mungkin karena jumlah perguruan tinggi terus berkembang dan tentunya membutuhkan tenaga pengajar yang nggak sedikit.

Kalau misalnya takut menganggur sementara di kampus sebelumnya sudah punya NIDN, tapi pengin cabut karena berbagai hal, ya coba cari dulu PT yang mau menerima dosen yang sudah punya NIDN. ini juga sudah saya bahas, ya. Sangat sedikit PT yang masih mau menerima resiko dengan menerima dosen baru ber-NIDN. Kecuali, mungkin PT itu adalah PT yang sudah mandiri dan PT tersebut tinggal klaim NIDN dosen baru itu dengan berbekal surat lolos butuh dari PT awal. Saya nggak tau apakah aturan ini sudah berubah atau belum. Yang jelas ini juga sudah saya paparkan di blogpost terdahulu.

Soal penghapusan NIDN, tapi masih dalam kondisi menganggur saya pikir ya nggak perlu khawatir. Bumi Allah ini luas banget, loh. Bisa keluar dari cengkeraman PT yang maunya cuma memanfaatkan kita, tapi lantas merana sih nggak pantes banget saya pikir.
Hampir setahun setelah saya memutuskan untuk memperjuangkan penghapusan NIDN Itu, tapi hidup saya seperti lebih tenang. Saya menikmati hidup sebagai freelancer. Passion saya di dunia jurnalisme dan NGO membawa saya pada kondisi yang cukup membuat saya merasa nyaman. Setidaknya saya nggak perlu risau lagi soal homebase.

Hingga suatu waktu takdir itu benar-benar membawa saya kepada PTNB yang sama sekali belum saya kenal sebelumnya. PT baru, semuanya masih harus diperjuangkan bersama-sama, tapi entah kenapa saya merasa begitu yakin. Saya yakin masa depan saya ada di sana.
So, semua itu akan ada waktunya. Seperti jodoh mungkin ya. Right man on the right time.

Selamat berjuang, Kawan-kawan!



30 comments

  1. Saya ga pernah kuliah, jadi ga ngerti ini ngomongin apa ��

    Tapi semoga mendapat yang terbaik dan ilmunya bermanfaat ya mbak.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe.. aamiin yaa rabb. But, thanks snyway yaa mbak atas kunjungannya 😘

      Delete
  2. Oh gitu ya, baru tahu ada NIDN untuk dosen, pernah pengen jadi dosen setelah S2 tapi sekarang mau fokus ngurus bocah dulu di rumah

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku pun kalau udah punys bocah gimana yak. Semacam galau haha

      Delete
  3. Aneh jika NIDN dihapuskan, padahal banyak sekali pengajar/dosen swasta yang dengan kepakarannya membina di kampus layaknya dosen negeri. Tapi alinea terakhir yang saya suka : bumi itu luas dan Allah yang tentukan rezeki :) semangat mbak

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, karena ini kasusnya kan di kampus nakal. Kita cuma dimanfaatkan aja

      Delete
  4. wah,, malahan ada temen saya yang ijazah di pinjem tapi ga dkasih kompensasi apa pun. ckckckck
    Tetap yakin tapi lah, berjuang dari 0 bisa menempa mental buat kedepan nanti.
    Jalan yang selalu mulus ga berarti kita pasti aman di akhir.
    Justru dengan ada nya maslah dan rintangan, memberi kita pengalaman dan pelajaran.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Wah banyak yang begitu. Dan kalau kitw sendiri nggak kuat posisinya ys mereka bakal gitu ters yakan?

      Delete
  5. Wuah iya mbak, aku juga sedang memperjuangkan. Ini masih menunggu kabar perihal beasiswa S2. pengennya jadi dosen, soalnya sasaranku lebih ke mahasiswa, si agent of change. Sambil ngedosen, ya nulis juga. Aku yakin sih dengan profesi dosen, soalnya sebentar lagi akan banyak univ yang dibuka sekitar daerahku

    Alhamdulillah ya mbak. Tiap orang punya hadiah masing2... Tinggal kitanya aja yang mempersiapkan diri untuk berhak mendapatkannya

    ReplyDelete
    Replies
    1. Yeaaay... Semoga lolos yaaa beasiswanyaaa terus bisa terwujud semua cita-cita mulianya. Semangat!

      Delete
  6. Ternyata jadi dosen banyak seluk belukny ya. Saya kurang ngerti kenapa NIDN harus dihapus dan sebagainya. Tapi saya mencoba memahami bahwa itu adalah pilihan mbak Rinda, pasti sudah dipikirkan matang2 baik buruknya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, mbak karena kita nggak mendapatkan apa yang seharusnya kita dapatkan. Bukan hanya hak, tapi juga kewajiban atas NIDN itu

      Delete
  7. Adek saya di PTS lama nya gak mau bikin NIDN karena katanya ga bagus PTS nya dalam artian ga bagus dalam memperlakukan para dosennya. Di PTS yg baru ini baru dia akan membuat NiDN krn lebih berkualitas dan bagus perlakuannya terhadap dosen. Dari situ saya dikit2 tau tentang NIDN. Rumit juga yaaa ternyata.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, mbak. Nggak semua PTS nakal. Banyak juga yang bagus kok, malah ada juga yang sangat bagus. Adeknya udah pandai membaca situasi berarti ya mbak

      Delete
  8. saya pikir menjadi dosen itu gampang
    bergelar S2 terus ngelamar ke perguruan tinggi
    ngajar..ya udah
    tp harus ada nomor induk ya ?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, sama juga dengan guru. Ada nomor induknya dan itu melekat dalam identitas kita. Jadi cuma bisa ada satu nomor

      Delete
  9. Uhmm agak berlika liku yah kak. Tapi sembari tetap berusaha, siapa tahu menemukan jalan. Oh, aku baru tahu ada pinjam memijam ijazah seperti itu, tapi jadi agak ngeri nggak sih kak? :3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ngeri banget. Bahkan ada yang g digaji sama sekali loh, dan nggak dilepaskan juga. Serba salah

      Delete
  10. Salah satu impian terbesar saya adalah menjadi guru, ya paling enaknya dosen sih, karena akan mengajar ilmu khusus dan harus dibahas secara mendalam, lebih mendalam ketimbang masa sekolah dulunya. Namun, setelah berkaca, aku pun belum cocok jadi dosen. Akhir-akhir ini, aku sedang mencoba mengembangkan passionku di bidang jurnalistik. Sempat kepikiran sebuah ide menjadi jurnalis kesehatan di luar ataupun di dalam negeri. But, aku pun berkaca dan merasa bahwa ini bukanlah yang aku bisa lakukan. Skill komunikasi dan ngajarku masih berstatus below average.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apapun passionnya, yang penting jalani dengan ikhlas dan bahagia. Yang penting enjoyyyy. Aku sanhat ingin jadi jurnalis, tapi nggsk dapat resti dr ortu. Hihi

      Delete
  11. Kalo pindah...bisa kok pindah home base...

    Dari kampus lama ke kampus baru.., ya kampus lama juga mesti cooperatif.., kadang ada juga kampus nakal..gak mau urus pindahin home base bekas dosen...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Nah itu dia, aku sampai berproses lama banget. Huhuuuuu. Semuanya harus diperjuangkan dengsn sabar dan semangat

      Delete
  12. doa terbaik deh buat Mba Rinda :)

    ternyata susah juga yaa menjadi dosen

    ReplyDelete
    Replies
    1. Susah prosedural ya maakkkk as usually hihi. Makasiiiiii

      Delete
  13. Perjuangan calon dosen zaman now yang harus melawan kejamnya zaman. Jadi sekarang semua dosen harus terdaftar (bagus nih) jadi bisa tahu juga kualitas pendidikan disuatu institusi perguruan tinggi. Semoga semua juga sudah siap ya. Jadi lebih bagus dan terorganisir

    ReplyDelete
  14. Saya belum paham soal NIDN, nih. Hehe.
    Soal pinjam ijazah itu, aduh ternyata masih banyak juga ya yang mau dibayar murah atau bahkan enggak dibayar sama sekali. Ngeri deh dunia pendidikan kita ini :(

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ya, hukum jual-beli berlakulah ya. Karena masih ada yang mau jadi ya masih ada aja yg nakal begitu

      Delete
  15. Mb, kl dr guru Honorer pgn jd dosen bisa? Tentu setelah lulus s2. Tp dia sdh pny nuptk. Apakah nt bs bikin nidn dg menonaktifkan nuptk?

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<