Perempuan dalam Era Kemerdekaan Pers



 Media sosial khususnya di Lampung dan sekitarnya pekan lalu (3/3) heboh lantaran sebuah Surat Kabar Harian memuat berita bertajuk; Kapolda: “Perwira dan Polwan di Hotel” Diproses Etik-Pidana. Bukan gara-gara berita yang jadi headline yang dimuat di halaman satu koran yang katanya paling banyak dibaca oleh masyarakat Lampung ini. Masalahnya adalah pada ilustrasi yang berupa paha perempuan dengan sepatu heels yang terkesan sensual dan hanya mengenakan stoking bermotif jaring.


Ada yang kenal dengan Nobuyoshi Araki? Seniman fotografi kontemporer asal Jepang yang karya-karyanya memiliki pesona eksotis yang kerap bertema sensualitas dan gender. Seni yang kontroversial, provokatif dan beda tipis dengan pornografis. Dia mengklaim bahwa foto-foto jepretannya bukan untuk melecehkan derajat wanita, sebaliknya dia sangat memuja wanita.

Sensualitas seperti lumrah dalam keseharian kita. Dalam iklan, misalnya. Kondom yang memang bukan diperuntukkan bagi segala usia, menurut saya mengandung selera tidak wajar, melecehkan kodrat perempuan. Belum lagi iklan pembalut wanita, parfum, bahkan makanan kerap terkesan khusus untuk orang dewasa meski dengan sengaja pasarnya adalah anak dan remaja. Dari segi desain jelas, tagline apalagi, ini terlalu dekat dengan aspek sensulitas dan seksualitas, jauh dari norma ketimuran, apalagi norma keagamaan.

Jika ini sekedar tentang kepantasan yang sangat subjektif, lalu bagaimana hubungannya dengan UU No. 44 Tahun 2008 tentang pornografi yang menyatakan bahwa pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat. Artinya, norma pun dijamin keberlakuannya oleh undang-undang.

Sensualitas memang bukan sesuatu yang fantastis di dunia seni, di luar kehidupan ‘dunia nyata’ yang tanpa sensor. Tapi kita tidak bicara tentang seni pertunjukkan, atau seni rupa yang tidak dipertontonkan kepada semua orang. Saya bicara tentang koran, harian, yang mana ini dikonsumsi di sekolah-sekolah, di kantor-kantor, bahkan di rumah oleh siapa saja tanpa pandang usia, orientasi seksual, atau pun derajat pendidikannya.

Pada pasal 4 Ayat 1 pasal ini berbunyi: Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat: a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual; c. masturbasi atau onani; d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau f. pornografi anak.

Kemerdekaan pers merupakan sarana bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi, memenuhi kebutuhannya yang hakiki dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Untuk itu kita, khususnya kawan-kawan pers dengan berbagai organisasi profesinya kerap menghujat, mendemo dan protes jika ada salah satu wartawan yang mendapat perlakuan tak senonoh dari narasumber. Untuk itu, dalam menjalankan peranannya, pers selayaknya menghormati hak asasi setiap orang, professional dan selalu dikontrol oleh masyarakat. Dalam hal ini, pers memerlukan landasan moral dan etika profesi yang menjadi acuan dalam setiap tindakan. Lebih dari itu, wartawan Indonesia menetapkan dan patuh pada Kode Etik Jurnalistik yang menjadi rel perjuangan mereka.

Jelas tertulis dalam Pasal 4 Kode Etik Jurnalistik, bahwa wartawan Indonesia tidak membuat berita bohong, fitnah, sadis, dan cabul. Di sini saya hanya ingin menekankan pada kata terakhir dalam pasal itu, cabul. Cabul ditafsirkan sebagai penggambaran tingkah laku secara erotis dengan foto, gambar, suara, grafis atau tulisan yang semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi. Selain itu, telah sama-sama dipahami bahwa dalam penyiaran, gambar ilustrasi yang dipasang harus sesuai dengan nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Jika ini ditaati tentu tidak akan menimbulkan salah paham antara maksud sang illustrator, reporter, redaktur, maupun masyarakat yang membaca dan melihat gambar tersebut.

Masih di halaman yang sama, pihak SKH Tribun Lampung justru berdalih bahwa  gambar tersebut "hanya ilustrasi tidak berkaitan dengan berita". Sudah jelas tidak ada kaitannya dengan berita mengapa sepasang paha tersebut bisa hadir di halaman pertama seolah sebagai ilustrasi dari berita yang sedang naik daun? Apakah ini upaya cuci tangan sebelum pembaca sadar dan menggugat mereka?

Pada pasal 8 Kode Etik Jurnalistik disebutkan bahwa wartawan Indonesia tidak menulis atau menyiarkan berita berdasarkan prasangka atau diskriminasi terhadap seseorang atas dasar perbedaan suku, ras, warna kulit, agama, jenis kelamin. Sudah jelas bahwa yang dilakukan oleh SKH Tribun Lampung ini melanggar Kode Etik Jurnalistik yang jadi kitab suci para jurnalis, menghina dan melecehkan obyek berita, lalu menganggapnya sebagai produk kebebasan berekspresi, merupakan tradisi pers mungkar yang hanya dilakukan manusia berpikiran dangkal.


SKH Tribun Lampung keesokan harinya langsung mengeluarkan pernyataan permintaan maaf yang dimuat di sudut kiri halaman pertama. Lalu bagaimana dengan gambar yang sudah terlanjur menyebar? Bagaimana dengan penilaian dan kecaman masyarakat dan pembaca? Ibarat selembar kertas yang telah diremas, tak mungkin lagi semuanya akan kembali sama. Namun ada baiknya kita memberi kesempatan kesekian kalinya. Saya sendiri merasa bangga pernah jadi bagian dari mereka. Saya sempat mengukir mimpi untuk meniti karir di sana sebelum akhirnya mendapat beasiswa. Saya percaya, SKH Tribun Lampung masih dapat dipercaya meski tidak masuk dalam perusahaan pers yang terverifikasi oleh Dewan Pers. Harapannya agar pengalaman SKH Tribun Lampung masih satu ibu dengan surat kabar nasional ini bisa lebih setara dengan induknya. Setidaknya dalam hal konsistensi profesionalisme.

Sebelum ini, SKH Tribun Lampung juga sempat dikritik ketika memuat berita tentang persidangan kasus tatakan gelas pada 2014 silam. Pada 2015 koran ini menampilkan foto perempuan dengan pakaian tembus pandang yang terjaring razia narkotika yang digelar BNN Lampung. Perempuan tersebut difoto di dalam kamar dalam keadaan tidak sadarkan diri lantaran pengaruh obat-obatan. Gambar-gambar tersebut adalah salah satu bentuk eksploitasi tubuh perempuan. Perempuan terkesan menjadi akar permasalahan dari segala kasus amoral yang kerap terjadi.

Awalnya, Jaringan Perempuan Padmarini bersama-sama dengan beberapa lembaga perempuan yang lain berniat mengajukan keberatan, kritikan, atau tuntutan terkait dengan ilustrasi SKH Tribun Lampung ini. Namun pada akhirnya kami memilih untuk memaafkan, lalu bersama-sama kembali percaya sambil tetap melakukan peran kontrol demi kebaikan bersama. Kami juga tak ingin hubungan kami justru jadi seperti Ahok dan FPI. Intinya kami tak ingin berlebihan, kami percaya media ini hanya melakukan kekhilafan.

Akhirnya, dari berbagai pengalaman yang dialami oleh SKH Tribun Lampung, sudah sepatutnya jajaran redaksinya memiliki self control yang baik, dan menaati rambu-rambu yang telah bersama-sama disepakati. Semua media baik mainstream maupun sosial hendaknya selalu  melindungi serta menghargai khalayak, jangan pernah merendahkan agama, budaya, golongan, dan tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku.

Tanpa itikad yang baik, hasil kreatif ilustrasi dari media yang memenangkan penghargaan perwajahan terbaik pada 2017 ini akan melulu berkesan diskriminatif, cabul, erotis, sensual bahkan seksual. Parahnya, jika ini dibiarkan bukan mustahil media lain akan melakukan kekonyolan yang lebih keterlaluan daripada sekedar memamerkan paha. Nyatanya, ide-ide kreatif justru sering muncul di luar kesan negative dan berita bisa saja booming tanpa sensualitas yang Nampak sebagai hardselling dari suatu berita. Pers memiliki fungsi edukasi yang seharusnya bisa memberikan bacaan yang bernada positif dan tidak mengganggu kenyamanan pembaca. Selain kode etik, pers diharapkan memegang teguh UU Pers No.40 tahun 1999 dan mematuhi kode etik jurnalistik.

Berita perselingkuhan tak harus berkesan cabul. Sebagaimana berita kecelakaan dan pembunuhan sadis yang tak harus disajikan dengan darah yang muncrat dan membanjir. Perbaikan tentunya harus dimulai dari tiap-tiap diri seorang jurnalis dengan membuka cakrawala pikir dan hati mereka betapa pentingnya menghargai sebuah etika. Ide kreatif tak melulu harus melacurkan diri di tengah persaingan dunia bisnis. Bagi pembaca, tetaplah kritis. Kita kawal bersama kemerdekaan pers yang pasti masih akan memunculkan pelanggaran. Kemerdekaan yang digaung-gaungkan justru kerap disalahgunakan dan pembaca sebagai end user adalah  salah satu pihak yang bisa meluruskannya.

Selamat hari pers, selamat merayakan kemerdekaan informasi yang layak bagi khalayak!


12 comments

  1. Pertama lihat covernya aja udah eneg ya mba Rinda, kita udah risih lihatnya,

    ReplyDelete
  2. Covernya emang nggak keliatan biasa ya mbak.. Dan headlinenya pun nggak nyambung ya sama ilutrasinya.. Huhu. Makasi sharingnya ya mbak Risda..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Dan jelas dibilang di bawah gambar itu kalo emang nggak nyambung. Duh.

      Delete
  3. hah hot banget mba..duh nggak kebayang hebohnya pemberitaan disana. Ini mah jadi ilustrasinya lebih heboh dibandingkan beritanya :D

    ReplyDelete
  4. Sayangnya jumlah laki-laki (dan perempuan) yg seksis dan diskriminatif masih lebih banyak daripada yg tidak ya 😡

    -Tatat

    ReplyDelete
  5. Pertama liat ilustrasinya langsung "aduh"!
    Semoga tribun Lampung menjadikan hal ini sebagai pelajran.
    sehingga permintaan maafnya tidak sekedar basa-basi.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, sekali lagi begitu, kami nggak akan diam aja

      Delete
  6. Terkesima dengan isi artikel ini secara keseluruhan. Rinda cocok jadi wartawan atau esais :)

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<