Foto: film-iqro.com |
Judul Film : Iqro
Sutradara :
Iqbal Al Fajri
Penulis : Aisyah A. Nasution, Tatia
Produksi : Masjid Salman ITB, Salman Film Academy
Produksi : Masjid Salman ITB, Salman Film Academy
Sinopsis
Aqila, seorang siswi Sekolah Dasar pengin
banget jadi astronot gara-gara sering dengar cerita kakeknya yang berprofesi
sebagai astronom dan tinggal di Pusat Peneropongan Bintang Boscha. Seperti gayung
bersambut, ia ditugaskan oleh gurunya, Bu Mona, untuk membuat laporan terkait
penelitian ilmu pengetahuan. Aqila pengin melihat sendiri Pluto dari
abservatorium Boscha. Kakek dan Neneknya nggak lantas mengabulkan keinginan
Aqila yang menggebu-gebu untuk meneropong. Mereka membuat syarat, Aqila harus
bisa membaca Al Quran baru Sang Kakek akan memperbolehkannya menggunakan teropong
bintang di Boscha.
Baca juga: Jangan Nonton Film Headshot
Menyampaikan
dengan Kasih Sayang
Di film ini saya sangat merasakan
kehangatan dalam sebuah keluarga. Gimana mereka memeluk, berbicara dengan
lembut, hingga memaafkan. Kasih sayang inilah yang perlu ditekankan pada saat
sekarang ini. Ketika dimana-mana orang menebarkan kebencian, film ini justru
mengajarkan kelembutan.
Profesor Wibowo yang diperankan oleh Cok
Simbara sangat fasih memerankan figure seorang kakek yang agamis sekaligus
pengagum ilmu pengetahuan garis keras. Beliau mengajarkan kepada mahasiswanya
tentang keajaiban alam semesta yang ada dalam Al Quran. Begitu pula kepada
Aqila. Keteladanan dari Sang Kakek ini yang menggugah hatinya untuk mau
mengaji, meski awalnya itu dilakukannya karena terpaksa. Demi bisa pergi ke
observatorium utama Boscha.
Kebanyakan orangtua emang gitu kali ya. Anak diiming-imingi hadiah supaya mau melakukan sesuatu. Kayak Film Hafalan Sholat Delisa, itu sebenernya baik nggak sih? Dan orangtua selalu aja gitu. Suka menghalang-halangi keinginan yang udah deadline bahkan sampai ngasih tambahan syarat yang memberatkan sekaligus kadang mengecewakan. Bikin magel, gitu. Ssst... ini bab curhat. Boleh diskip.
Kebanyakan orangtua emang gitu kali ya. Anak diiming-imingi hadiah supaya mau melakukan sesuatu. Kayak Film Hafalan Sholat Delisa, itu sebenernya baik nggak sih? Dan orangtua selalu aja gitu. Suka menghalang-halangi keinginan yang udah deadline bahkan sampai ngasih tambahan syarat yang memberatkan sekaligus kadang mengecewakan. Bikin magel, gitu. Ssst... ini bab curhat. Boleh diskip.
Kasih sayang juga sangat diperlihatkan
oleh Sang Nenek, Neno Warisman yang selalu membesarkan hati Profesor Wibowo. Di
tengah terancamnya nasib Boscha, Sang Nenek inilah yang selalu hadir,
menenangkan Sang Kakek meski akhirnya Boscha nyaris benar-benar ditutup karena
tidak efektif apalagi produktif dalam tiga bulan terakhir.
Bahkan seorang Bang Codet, yang awalnya
jadi tangan kanan pengusaha properti akhirnya mengakui tindakannya meneror
Profesor Wibowo. Dia justru berniat ngasih modal untuk usaha Bang Codet, usaha
kerupuk Palembang. Dia sama sekali nggak marah, tapi justru berbaik hati.
film-iqro.com |
Kasih sayang juga ditunjukan dalam
jalinan pertemanan di film ini. Gimana seorang Rhaudah, Guru Ngaji Aqila
melerai anak-anak yang bertengkar. Juga gimana cara dia membesarkan hati Aqila.
Sampai akhirnya Aqila bisa berteman dengan Fauzi, anak Bang Codet yang awalnya
selalu ngusilin dia. Hanya kehangatan yang ada di sana.
Sayangnya saya ketinggalan dengan cerita akhirnya. Jadi buat yang mau nonton, harus sampe diusir sama mbak-mbaknya yaaaa baru keluar teater. Biar greget. Saya nggak ada pas diceritain gimana akhirnya kisah Aqila dan temen sekelasnya yang bikin laporan tentang pengamatan di Taman Kupu-kupu Gita Persada. Padahal hubungan mereka sangat real kondisi kelas yang penuh dengan kompetisi. Menurut saya, anak nggak seharusnya dibiarkan berkompetisi kayak Aqila dan temennya. Biasanya temen yang kayak gitu suka caper sampe curan demi memenangkan pertandingan. Dan saya suka kebagian peran sebagai pecundang yang nggak bisa nerima kekalahan.
Sayangnya saya ketinggalan dengan cerita akhirnya. Jadi buat yang mau nonton, harus sampe diusir sama mbak-mbaknya yaaaa baru keluar teater. Biar greget. Saya nggak ada pas diceritain gimana akhirnya kisah Aqila dan temen sekelasnya yang bikin laporan tentang pengamatan di Taman Kupu-kupu Gita Persada. Padahal hubungan mereka sangat real kondisi kelas yang penuh dengan kompetisi. Menurut saya, anak nggak seharusnya dibiarkan berkompetisi kayak Aqila dan temennya. Biasanya temen yang kayak gitu suka caper sampe curan demi memenangkan pertandingan. Dan saya suka kebagian peran sebagai pecundang yang nggak bisa nerima kekalahan.
Tentang
Observatorium Boscha
Film ini melempar saya ke masa kecil. Seorang
Aqila yang ngotot dengan kemauannya. Juga Boscha yang sempat muncul di
Petualangan Sherina jaman saya masih SD. Saya sempat pengin banget kesana
sewaktu kerja praktek di LIPI. Waktu itu pergi ke Boscha adalah life goal
banget disamping ketemu Mocca. Meski saya harus menelan kekecewaan. Waktu itu
katanya kalau mau masuk sana harus rombongan.
Baca juga: Me and My Mocca
Observatorium yang konon terbesar di Asia
Tenggara ini dikelola oleh ITB. Statusnya jadi Cagar Budaya pada 2004, dan pada
2008 Boscha ditetapkan sebagai salah satu objek vital nasional yang harus
dilindungi. Kalau Boscha statusnya selalu ‘naik’ kenapa hutan dan Gunung Anak
Krakatau justru statusnya malah mau ‘diturunin’? lagi-lagi karena iming-iming
PAD di bidang pariwisata dan potensi alam yang bisa mengundang investor.
Gitu juga dengan yang terjadi di Boscha. Kalau
kata Profesor Wibowo di film ini, sejak 2005 aktivitas Boscha terganggu oleh
polusi cahaya. Bandung kan berkembang luar biasa cepat, belum lagi kalo ada
konser besar yang cahaya lampunya berpendar langsung ke langit. Dengan adanya
cahaya itu, aktivitas pengamatan di Boscha jadi nggak efektif lagi. That’s why
di Lampung mau dibangun observatorium serupa di Gunung Betung. Eh tapi itu
kayaknya di arah teluk udah ada tower tinggi banget. Bakalan polusi juga nggak
kira-kira?
Tentang Pluto yang ‘diusir’ dari jajaran
para planet, ini juga udah lama isunya. Tapi di buku pelajaran Aqila di sekolah
Plutonya masih terhitung sebagai planet. Jadi gimana, tuh? Tukang bukunya nggak
update kali, yah? Ini juga udah dijelaskan sama mas-mas yang menjelaskan
tentang astronomi di Planetarium Jakarta. Ceritanya besok-besok deh tentang
Planetarium ini.
Film
yang Nanggung
Menurut saya nonton film ini rasanya
kayak udah tiga hari nggak bisa pup, pas mau pup gagal lagi. Nggak lega. LOL. Dari
awal alurnya lompat-lompat, terus ke belakang konsisten settingnya di Boscha
dan sekali di Bandung pas Festival Iqro. Konfliknya nggak kerasa karena
semuanya berjalan dengan smooth. Bahkan trailernya aja udah spoiler, jadi
jangan salahin blogpost ini yang spoiler. Di trailer itu diceritain banget
bakal gimana ceritanya. Jadi penonton kayak nunggu kapan nih dialog yang gini,
gitu.
Tonton trailernya di sini:
Sewaktu Bang Codet diperintahkan suruh
neror Profesor Wibowo juga ketebak banget. Ini pasti akhirnya damai. Nggak ada
konflik. Padahal pasti seru kalo Profesor Wibowo berupaya mempertahankan Boscha
terus sang pengusaha property keukeuh menempuh cara-cara licik. Baru deh sampai
pada kabar baik bahwa Boscha bisa aktif lagi dan pembangunan hotel di hentikan.
Yaiyalah, 200 meter dari Boscha kan masuk tanah negara. Meski dimana-mana hal
kayak gitu udah bukan lagi rahasia.
Tentang acting para cast-nya sih saya
acungi jempol banget. Apalagi yang main udah actor kawakan kayak Neno Warisman,
Cok Simbara, apalagi Meriam Belina. Eh, kok saya pas nonton jadi
kebayang-bayang Noktah Merah Perkawinan? LOL. Bahkan acting Si Aqila yang cute
banget juga kayak total gitu. Jadi yang agak wagu buat saya adalah acting si
asisten sama mahasiswanya Profesor Wibowo yang namanya Thomas and friends
itu.
Nah, sayangnya waktu mau udahan itu kayak
dipaksakan dan terkesan buru-buru. Tiba-tiba ada berita baik, terus pembangunan
hotel dihentikan, terus akhirnya Aqila bisa pengamatan di Boscha tanpa dikasih
tau hasilnya gimana. Udah gitu aja, dan berlangsung sangat cepat.
Resiko nonton film segala umur dan
berkorelasi dengan pendidikan dan ilmu pengetahuan adalah ribut. Banyak banget
bocah yang bahkan belum ngerti apa-apa diajak nonton. Terus merengek-rengek,
goyang-goyang. Dan mereka kan dalam usia yang sangat mudah terinspirasi gitu. Jadi sekalinya
ada yang lari-lari bahkan sampe guling-gulingan di depan layar ya yang lain
pada ikutan. Dan anehnya orangtuanya asik aja nonton. Annoying banget dah bab
ini.
Shortly, yang paling berkesan bagi saya
dari film ini adalah gimana orangtua mengajarkan ilmu pengetahuan kepada anak
dengan kasih sayang. Gimana cara memancing anak supaya seimbang dalam
kehidupannya. Antara passion terhadap ilmu semesta, juga mendalami agama yang
bahkan telah memuat semua clue rahasia semesta.
Ada yang udah nonton juga? Share dong
pengalamannya.
Wuiiiih,cepet banget updatenya, padahal baru launching 😅
ReplyDeleteSaya juga pengen nonton, tapi di jember maaah.... Tayangnya belakangan 😅😅😅
Lho, Iyakah? Kapan di Jember? Selamat nonton.
DeleteBaru mau nonton nii ajak bocaah..
ReplyDeleteHayu nonton buat anak, biar mencontoh semangat Aqila
Deletewaah... film yg bagus utk anak2 dan org tua ini, jadi pengen nonton juga :)
ReplyDeleteIihh...Boscha + Mocca = lifegoals. Toss!
ReplyDeleteBaca ini spoiler banget wkwkkw...tapi tetep pinisiri laaahh