Foto: kupastuntas.co |
Seiring perkembangan
teknologi dan taraf hidup masyarakat, kemacetan lalu lintas menjadi hal yang
lumrah dan dipandang sebagai parameter kesejahteraan rakyat. Pasalnya, jalanan
yang macet merupakan akibat dari kemudahan orang-orang dalam memiliki kendaraan
pribadi. Artinya, semakin banyak orang yang kemampuannya lebih dari sekedar
membeli satu atau dua jenis kendaraan saja.
Konon pemerintah senantiasa
berupaya menanggulangi masalah kemacetan lalu lintas ini. Namun sayangnya,
upaya itu cenderung dilakukan di hilir, bukan di hulu dimana permasalahan ini
muncul dan beranak-pinak. Justru sibuk melakukan rekayasa lalu lintas dan tampak menutup mata terhadap masalah sebenarnya.
Tak heran, jalanan semakin kacau. Hingga muncul pameo "hati-hati dengan Ibu-ibu, lampu sign ke arah kiri, beloknya ke kanan". Ya mau gimana lagi, untuk dapat SIM saja dipermudah oknum polisi. Anak sekolah yang belum siap secara fisik apalagi mental justru difasilitasi oleh dealer dengan pemilihan (semacam) duta motor dan diluncurkan produk yang menyasar anak sekolah. Lucu. Ah, yang penting kan naiknya perekonomian negara.
Masyarakat yang kian mempu
membeli kendaraan ditambah dengan mudahnya mendapatkan kendaraan baik secara cash maupun kredit membuat mereka tak
lagi bergantung pada alat transportasi umum.
1. Menggunakan kendaraan
pribadi lebih cepat dan murah.
2. Kendaraan pribadi lebih mampu
menjangkau lokasi tujuan yang tidak ter-cover
oleh jalur transportasi umum.
3. Banyaknya promo dalam
pemasaran kendaraan bermotor baik cash maupun
kredit.
Kebijakan ini dikeluarkan untuk
dapat meningkatkan kembali pertumbuhan penjualan kendaraan bermotor (mobil dan
motor) dan secara makro dapat mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi
nasional. – Detik Finance
Tanpa disadari,
atau terkadang juga masyarakat enggan mengakui dan cenderung acuh bahwa
pemakaian kendaraan pribadi menimbulkan beberapa kerugian. Diantaranya:
1.
Memakan ruang untuk parkir sehingga tenant atau toko-toko harus menyediakan
lahan parkir. Tarifnya masih sangat murah. Hanya Rp. 1000-2000 saja. Bahkan di
mall besar pun tariff maksimal untuk sepeda motor hanya Rp. 10.000. Parahnya lagi,
parkir kendaraan di bahu jalan menjadi hal yang lumrah seperti yang terjadi di
Yogyakarta. Di Bandung, pemilik kendaraan yang parkir di jalanan bisa terkena
denda hingga Rp. 500.000 untuk mobil.
2.
Pemborosan bahan bakar. Semua orang sepertinya paham
tapi enggan ambil pusing pada kenyataan bahan bakar fosil merupakan komoditas
yang kelak akan habis dan tak mungkin lagi ada. Sementara itu, penghasil minyak
mentah sengaja masih menjual murah minyaknya agar bahan bakar terbarukan belum
mampu merajai pasaran karena biaya produksinya masih tinggi.
3.
Polusi udara, siapa yang bisa menampik kenyataan
ini? ISPA semakin merajalela. Saya sendiri kalau berkendara atau jalan kaki
beberapa lama di pedestrian bisa sakit kepala, atau bersin, atau kadang juga
batuk-batuk. Ya, katanya memang kendaraan jaman sekarang sudah lebih ramah
lingkungan, tapi nyatanya dampak polusi itu masih bisa kita rasakan langsung di
jalanan. Juga karena masih banyak masyarakat kita yang memakai motor-motor tua
yang sebenarnya sudah harus masuk museum.
4.
Kemacetan mengganggu produktivitas. Dulu saya hanya
perlu spare waktu 30 menit untuk pergi ke kampus dari rumah nenek dengan
menumpang bus. Sekarang bahkan untuk mengendarai sepeda motor saya harus
menyisihkan waktu di jalanan sekitar satu jam. Ini juga bisa mengganggu rantai
pasok komoditi. Buah dan sayur keburu busuk di jalanan. Delivery order makanan bisa-bisa kita terima dalam kondisi sudah
dingin.
5.
Mengganggu laju kendaraan pada kondisi darurat. Bisa
dilihat dalam keseharian kita, ambulance meraung-raung tapi tidak ada kendaraan
yang bergeser. Bisa jadi memang macet sehingga sulit mengalah, bisa juga karena
apatis. Alasan terakhir ini yang paling parah. Ambulance seringkali hanya
mengantarkan nyawa saja. Belum lagi mobil pemadam kebakaran yang kadang jadi
pahlawan kesiangan macam Inspektur Vijay.
DP Kredit Kendaraan Bermotor (Foto: Detik Finance) |
Antisipasi Kepadatan Kendaraan Pribadi
Pemerintah mungkin
simalakama karena menyelesaikan masalah dengan mengurangi penjualan kendaraan
bermotor ini seperti keluar dari mulut buaya pindah ke rahang singa. Hal ini sempat
saya baca dari media massa pada akhir 2015 bahwa jauhnya realisasi pertumbuhan
perekonomian dalam negeri membutuhkan dorongan dari sektor konsumsi. Sehingga pihak
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mendukung pemerintah untuk mengeluarkan penurunan
uang muka (Down Payment) pembelian
kendaraan bermotor. Lucu, masih kalah dengan slogan salah satu BUMN yang mampu
menyelesaikan masalah tanpa masalah. Ini justru memunculkan masalah baru yang
jangka panjang berdampak pada anak-cucu bahkan seluruh dunia.
OJK merilis dua
Surat Edaran, yakni Nomor 19/SEOJK.05/2015 tentang Besaran Uang Muka (Down Payment) Pembiayaan
Kendaraan Bermotor Bagi Perusahaan Pembiayaan; dan Nomor 20/SEOJK.05/2015
tentang Besaran Uang Muka (Down
Payment/Urbun) Pembiayaan Kendaraan Bermotor Untuk Pembiayaan
Syariah. Kedua aturan ini berlaku mulai tanggal 30 Juni 2015.
Menurut saya, pemerintah justru
menutup mata terkait dampak dari nafsu menggenjot pertumbuhan ekonomi yang
dampaknya justru jangka panjang dan akan lebih sulit diatasi.
Sekarang,
pertumbuhan dealer kendaraan bermotor nyaris menyaingi kedai-kedai kopi. Alasannya,
kalau ditutup atau dibatasi, tentu akan banyak tenaga kerja yang harus
dirumahkan. Bengkel-bengkel akan merugi. Sehingga importir gulung tikar. Padahal,
di Negara asalnya, kendaraan-kendaraan itu tidak bisa berkembang dan apalagi dijual
bak seblak ceker super seuhah seperti
di sini.
Bisa jadi,
permasalahan kepadatan kendaraan di jalanan ini sebenarnya bisa dengan sangat
mudah diantisipasi oleh pemerintah. Tapi tinggal kemauan dan komitmen
pemerintah juga dalam melakukan penyadaran kepada masyarakat.
·
Pembatasan
kepemilikan kendaraan bermotor.
Honestly, di rumah saya ada enam anggota keluarga. Tapi
kami masing-masing membutuhkan kendaraan untuk menjalankan aktivitas. Karena di
desa kami tidak ada alat transportasi umum. Akhirnya, kami punya empat buah
sepeda motor. Rumah jadi sesak, pajak jadi berlipat-lipat.
Pembatasan kepemilikan ini
harusnya bisa dilakukan berdasarkan usia kendaraan. Selain kendaraan lama sudah tidak lagi ramah
lingkungan, ini akan memicu kemalasan orang yang punya kendaraan untuk mengurus
dan menggati kendaraan lama mereka. Efek negative dari system ini adalah akan
banyak bangkai-bangkai kendaraan yang juga membahayakan jika belum dapat diolah
secara maksimal.
Sejak pertengahan tahun
2015, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sudah lebih
maju dengan memberlakukan aturan baru terkait pajak progresif untuk kepemilikan
kendaraan bermotor. Bila sebelumnya pengenaan pajak progresif hanya didasarkan
pada nama pemilik kendaraan, maka terhitung per 1 Juni 2015, pengenaannya juga
didasarkan pada alamat. Hal itu tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi DKI
Jakarta Nomor 2 Tahun 2015. tarif pajak yang dikenakan terhadap pemilik
kendaraan pribadi sebanyak 2 persen untuk kendaraan pertama hingga 10% untuk
kendaraan ketujuhbelas.
Jadi, kalau saya tinggal di Jakarta, orangtua saya akan dikenai pajak
untuk empat buah sepeda motor kami karena alamat kami masih sama meski pun nama
pemiliknya berbeda. Sebelumnya, pengenaan pajak progresif hanya didasarkan pada
nama pemilik kendaraan.
Penerapan pajak progresif ini memang bertujuan untuk mengontrol laju kepemilikan kendaraan pribadi, yang bermuara pada upaya untuk mengurangi kemacetan.
Lain daerah, lain pula aturannya. Di Banten ternyata cukup lunak karena pajak
progresif baru akan dikenakan untuk kendaraan kedua yang memiliki kapasitas
2000cc. adakah sepeda motor kebanyakan masyarakat Indonesia dengan cc sebesar
itu?
Di website Polri, BPKB dibuat sekedar untuk tujuan keamanan dan kepemilikan, jadi memang belum mengatur tentang tata lalu lintas. Ya saya paham, polisi kan memang tugasnya menjaa keamanan. Tapi juga kalau jalanannya macet, kendaraaan semrawut, kecelakaan kan yang susah juga polisi.
Di website Polri, BPKB dibuat sekedar untuk tujuan keamanan dan kepemilikan, jadi memang belum mengatur tentang tata lalu lintas. Ya saya paham, polisi kan memang tugasnya menjaa keamanan. Tapi juga kalau jalanannya macet, kendaraaan semrawut, kecelakaan kan yang susah juga polisi.
·
Pemerintah
harusnya bisa menjembatani antara perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang
kendaraan bermotor dengan pengguna atau masyarakat. Sehingga, pembelian
kendaraan bermotor lebih terkendali.
Beberapa waktu lalu saya
sempat terlibat diskusi dalam sebuah forum terkait pemilikan kendaraan di luar
negeri. Ada yang sedang berada di Eropa dan Amerika, mereka bilang bahwa harga
mobil sangat mahal. Motor pun bisa seharga mobil di Indonesia. Belum lagi mobil
yang dijual di sana cc-nya besar-besar. Sedan saja paling tidak 4000 cc. Hal
itu menyebabkan munculnya anggapan bahwa mengendarai sepeda motor berbahaya,
karena lawannya kendaraan dengan cc besar. Konon di sana mobil seperti Yaris
dan Jazz hanya untuk kalangan menengah ke bawah. Sorry to say, tapi kalo di sini kan udah bangga bisa punya
begituan.
Ada lagi
undang-undang atau regulasi lalu lintas yang mewajibkan kalo motor tidak boleh
dikendarai lebih dari satu orang. So, tidak
mungkin ada ojeg di sana. Makanya Go jek, Grab Bike, Uber laris banget di
Indonesia, bukan di Eropa. Kurang efektif
kalo naik motor sendiri-sendiri. Kalau di kita mah jarang yang berpikir tentang efisiensi. Belum lagi prinsip kalo
sepeda motor hanya untuk hobi, jadi kebanyakan kalau orang punya motor ya
jenisnya moge. Bukan motor bebek karena tujuannya untuk touring dan gaya-gayaan yang tidak setiap hari digunakan.
"... bahwa utk mengatasi kemacetan mesti dikurangi penggunaan kendaraan pribadi (mobil dan motor) dan dikembangkan transportasi umum yang accessible, reliable, affordable dan comfortable," kata Pak Deden.
Saya juga
sempat berdiskusi masyuk dengan seorang ahli transportasi yang mengajar di
Savannah State University, Dr. Deden Rukmana. Beliau juga sependapat bahwa
sebelum semakin memburuk, kondisi transportasi dan kepemilikan kendaraan
pribadi di Indonesia harus segera dibatasi.
Kesadaran pribadi
memang jadi kuncinya, sih. Betapa orang kita terlalu malas untuk sekedar
berjalan kaki. Saya sendiri juga begitu. Toh ada tukang ojeg kalau mau jalan
dari dalam gang menuju jalur angkot. Apalagi kalau cuaca panas. Mau pakai payung
takut dibilang kemayu. Saya pernah
naik sepeda dari rumah kos di Jogja menuju warung makan pakai topi, dibilang
kayak turis. Duh, serba salah. Saya sendiri suka dibilang aneh, bahkan pernah
dibilang hebat karena saya jalan kaki dari wisma menuju kampus. Padahal kampusnya
saja kelihatan dari jendela kamar saya. Padahal para professor yang juga
tinggal di wisma kebanyakan memang pergi ke kampus jalan kaki, tapi yang muda
justru naik sepeda motor.
Hal yang
paling penting dan memang suka jadi alasan bagi orang Indonesia adalah
ketersediaan angkutan umum yang memadai. Kendaraan umum yang datang tepat
waktu, rapid transit, apalagi nyaman
memang jadi pilihan orang-orang di Negara maju. Daripada mereka harus beli
kendaraan dengan perizinan yang berbelit-belit, belum lagi pajaknya selangit,
ya mending berkorban untuk jalan sekitar satu atau dua blok menuju stasiun.
Kalau di
kita kan tidak. Slogannya “Ayo naik bus, biar nggak macet!” tapi busnya datang
dua jam sekali. Belum lagi ngetem dengan alasan sopirnya butuh setoran. Ya memang
ini seperti saling berkait. Orang naik kendaraan pribadi karena ketiadaan
kendaraan umum, sementara sopirnya ngetem gara-gara penumpangnya pada naik
kendaraan pribadi. Jadi memang selain ketersediaan kendaraan yang kurang
memadai dengan jumlah orang yang harus diangkut secara realtime, juga karena kesadaran pribadinya memang kurang.
Itera Tanpa Asap Kendaraan
Di kampus
saya, ada aturan “Selasa Itera Tanpa Asap Kendaraan”. Jadi setiap hari selasa
semua warga kampus dilarang menggunakan kendaraan bermotor. Aturan yang sudah
berjalan sejak Agustus lalu ini menuai kontra, karena memang 1:100 orang saja
yang mendukung ini. Selebihnya menurut karena “terpaksa”.
Situasi ini
dimanfaatkan oleh masyarakat sekitar yang menyediakan parkir liar. Kebanyakan mahasiswa
yang memanfaatkan ini. dengan biaya Rp. 2000-3000 mereka menitipkan kendaraan
di sana.
Sebenarnya
menurut saya aturan ini kurang efektif. Nyatanya untuk bisa menuju kampus tanpa
membawa kendaran pribadi, beberapa orang harus diantar menuju kampus oleh
orangtua atau tukang ojeg. Pulangnya juga harus dijemput. Untuk itu ada empat
siklus pergi-pulang yang dilalui oleh satu buah kendaraan. Artinya, emisi yang
dikeluarkan makin banyak daripapada sekedar membawa kendaraan pribadi lalu
memarkirnya di kampus. Belum lagi bahan bakar yang dibutuhkan tentu juga
semakin banyak. Apalagi waktu yang kurang efisien karena harus mengantar ke
kampus dulu.
Sebenarnya
untuk menuju kampus kami sudah ada bus Trans Lampung hadiah dari Kementerian
Perhubungan. Rutenya Unila-Itera. Hanya saja, sedikit warga kampus yang melalui
rute itu. Untuk yang tinggal di Tanjung Karang, mereka harus naik bus Trans
lalu nyambung naik BRT atau angkot. Waktu tempuhnya sangat lama karena
ketersediaan kendaraan umumnya hanya sedikit. Padahal ongkosnya sangat murah,
yaitu Rp. 2000 untuk mahasiswa dan Rp. 4000 untuk penumpang umum.
Para sopir
angkot juga kena dampaknya. Dulu, Bandar Lampung adalah Kota Angkot dengan
jumlah melebihi kebutuhan. Sehingga para pengusaha angkot berlomba memberikan
fasilitas terbaik bagi pelanggannya. Tidak kalah dari angkot “Nascar” seperti
di Kota Padang, di Bandar Lampung angkotnya juga full music dari sound system keren
dengan interior bertema yang cute hingga
kadang ada juga yang rock n’ roll hardcore.
Tapi itu dulu, sekarang masih ada angkot jam lima sore saja sudah bagus. Apalagi
menuntut kenyamanan di dalam alat transportasi massal itu.
Belum lagi
warga yang tinggal di dalam gang-gang yang jauh dari akses kendaraan umum. Ini memaksa
mereka untuk kredit kendaraan bagaimana pun caranya. Padahal sebenarnya warga
kampus akan dengan sangat senang hati naik kendaraan umum jika saja jumlah kendaraan
dan jalurnya diperbanyak dan perhitungan ongkosnya harus lebih murah daripada
biaya bensin yang harus mereka keluarkan.
IMO, sebenarnya kebijakan hilir terkait pembatasan kendaraan
seperti yang saya koar-koarkan di atas nyaris tidak perlu dilakukan. Seandainya
saja persoalan di hulu mampu diselesaikan oleh pemerintah. Sediakan saja
infrastruktur yang layak dan nyaman, angkutan umum yang tepat waktu dan murah,
selamat dan terjangkau secara financial dan akses tentu akan menjadi angin
segar bagi seluruh penghuni republik ini. apakah pemerintah tidak malu dengan
komunitas semacam Nebengers dan Pejalan Kaki yang berjuang untuk meminimalisasi
jumlah kendaraan pribadi di jalanan? Artinya, masyarakat kita masih bisa
diedukasi secara ilmiah, disadarkan secara perlahan apabila kebutuhan mereka
dipenuhi.
Saya memang bukan ahli transportasi, apalagi pemerhati
ekonomi. Maklum saja kalau analisa saya secetek ini. Saya adalah warga yang sesak
dadanya dengan asap polusi. Perih matanya dengan pemandangan kuda besi. Nyaris tuli
kupingnya karena deru mesin yang seperti tanpa henti. Semoga dunia kami kian membaik
setelah terbitnya tulisan ini membawa angin segar dan harapan hidup yang lebih panjang
lagi.
Tabik.
Referensi:
ini memang salah satu problem besar yang banyak dialami kota-kota besar di Indonesia. Pegeeel ya mba liatnyaa..semoga ada solusinya segera!
ReplyDeleteBtw, ikutan GA aku yuuuk..mengenai kampanye peningkatan kesadaran tentang breast cancer sampai tanggal 10 Nov ini :). cek di blogku yaaa
wah padahal kemarenan dah baca, tapi lupa hihi. Semoga keburu ya mbak. Btw aku punya tulisan ttg sekolah di amrik loh.
Deleteaku juga masih males naik bus krn alasan kenyamanan dan keamanan
ReplyDeletenah, kan. Masalahnya di fasilitas ya mak?
DeleteIya bener bangetm seringnya hanya melihat masalah hilir tanpa melihat hulunya. harus benar2 niat kalau mau berubah menyelesaikan masalah tanpa menimbulkan masalah lain.
ReplyDeletesemoga masalah ini bisa segera diatasi sebelum Bandar Lampung 'jadi jakarta' ya Om?
Deleteini lah maslah yg dihadapi kota2 besar .. kemacetan
ReplyDelete