Behind The Scene: Screening dan Diskusi Film King Of Krakatoa



“… Yaudah, aku mau aktif di luar aja. Kita majukanlah lembaga baru kita ini!” curhat saya kepada Mbak Febri via telpon sore itu.

Hingga akhirnya dalam waktu kurang dari satu bulan kami harus menyiapkan segala sesuatu untuk pemutaran film yang entah apa dan saya sendiri sebetulnya kurang tertarik karena memang saya belum tau isinya seperti apa. Saya buatlah list sponsor yang hebat-hebat tapi saya yakin bisa meloloskan pendanaan untuk kegiatan perdana Padmarini Institut. Tapi ya yang namanya manajemen waktu belum bagus, ditambah lagi memang kerjaan lagi (dan sepertinya selalu) numpuk, saya nggak sempat ngejar-ngejar sponsor.

“Cobalah Mbak, bilang jujur sama INFIS dan Mongabay (Indonesia) kalau yang mau menghelat agenda ini bukanlah lembaga kita yang sudah eksisting, tapi Padmarini yang entah apa!” ketika saya ragu bahwa lembaga sebesar INFIS dan Mongabay mau maunya kerja bareng kami.

Jadi ceritanya, INFIS (Indonesia Film Society), sebuah lembaga yang kerjaannya memang membuat film terkait alam dan lingkungan menggandeng Mongabay Indonesia membuat sebuah film bertajuk King Of Krakatoa. Yang membedakan film ini dengan film documenter lainnya adalah adanya figure, jadi bukan hanya alam semata. Figure yang dipilih adalah Tukirin, seorang professor botani dari LIPI yang sudah bekerja dan melakukan penelitian tentang Krakatau sejak 1981. Dan sekarang usia beliau sudah 64 tahun tapi masih kuat menggapai puncak Krakatau.

Cuplikan film dokumenternya bisa ditobton di sini: https://youtu.be/pB8a5yXLxtQ

Dan hebatnya lagi, lembaga keren sekelas mereka mengajak kami untuk menggelar screening dan menargetkan 300 orang untuk hadir. WOW! Yang saya pusingkan adalah tempat.


Jaringan Perempuan yang Heterogen

Waktu itu pertama kali setelah meet up dengan Mbak Febri dan Mbak Andri guna merumuskan nama dan visi misi lembaga, saya bertemu dengan Mbak Yuli dan Mbak Nani untuk bicara tentang hal yang lebih spesifik. Tentang pemutaran film ini. Mbak Nani bicara tentang hal-hal fundamental lembaga kami yang semula kami yakin bernama Padmarini Institute rasanya harus mengubah nama atau kami harus bersegera mengurus legal hukumnya.

Di samping itu, lembaga yang berangkat dari inisiatif obrolan warung kopi dan berkembang di  grup Whatsapp itu berisikan perempuan-perempuan yang memang sudah aktif sebagai pengurus di lembaga lainnya. Ini artinya, mereka tidak boleh menjadi pengurus di Padmarini. Saya lalu pusing.



Selepas kegiatan ngobrol di warung kopi colonel  itu, saya dan Mbak Yuli bertolak menuju Taman Budaya untuk menonton teater. Waktu itu lakonnya “Sang Penagih Hutang” dan “Barabah” yang dibawakan oleh Teater Kedai Jakarta. Saya sedikit nggak focus selain memang pertunjukannya kurang greget juga saya memikirkan lembaga yang bahkan belum menjadi janin itu.

Resiko bekerja dengan orang-orang sibuk adalah kalo mau ketemuan jadi susah. Itu yang kami rasakan. Hingga akhirnya saya sedikit memaksa untuk ketemu di sebuah warung kopi di bilangan Kartini jam Sembilan pagi. Dan tentunya warung itu belum buka. Fain deh. Kami duduk-duduk aja di depannya sambil ngobrol-ngobrol penuh warna.

Kali ini yang datang lebih banyak. Akhirnya diputuskan bahwa kami nggak akan memakai nama Padmarini Institute dulu, kami hold nama itu dan muncullah skema jaringan dengan hanya dipimpin oleh seorang coordinator yang membawahi langsung anggota. Akhirnya semua sepakat untuk bergerak dan menyiapkan segala sesuatu untuk hajatan pertama kami. Kami merayakan kemenangan atas kepusingan yang ternyata melahirkan tantangan dan kepusingan lainnya di sebuah kedai baso andalannya Lampung meski hari masih terlalu subuh. Bahkan si abang basonya juga baru berberes.


Saya didaulat untuk menjadi koordinator karena secara kelembagaan saya paling jomblo karena tidak terikat dengan lembaga apapun kecuali dengan instansi dimana saya bekerja. Anggotanya sampai hari H kegiatan ini berjumlah. Mereka adalah Mbak Febri, Mbak Andri, Mbak Lensi, Mbak Nani (aktivis sosial dan lingkungan), Mbak Yuli (Penulis), Mbak Eni Muslihah (jurnalis), Mbak Manda (aktivis perempuan), Keloq (seniman), dan kemudian nambah lagi menjelang kegiatan, Mbak Eni Puspa (PNS). See, rame dan berwarna sekali ya jaringan kami ini? Pasca kegiatan, anggota kami bertambah lagi. Mbak-mbak seniman dan penulis, penyiar, tumbek juga di sini. Mereka adalah Diaz dan Intan yang memang bantu kami sebagai host waktu screening film.
Singkat cerita, saya mencari tau info penyewaan Taman Budaya yang ternyata harus mengeluarkan budget lima juta, plus jenset 2,5 juta. Saya bingung. Waktu itu saya pergi ke sana sendirian menumpang angkot. Saya mendadak linglung. Dari selatan saya lantas menuju ke utara, ke kantor PLN karena katanya di sana ada aula dengan screen dan lighting yang sangat mumpuni. Tapi saya gagal, itu bukan fasilitas untuk orang luar. 



Singkat cerita, seminggu sebelum hari H kami jungkir balik. Baru dapat tempat yaitu di aula dinas Kehutanan Provinsi karena berhasil melobi Sekda. Setelah itu kami menyusun surat sementara pihak INFIS menyiapkan materi publikasi. Seminggu sebelum hari H kami haruus mengumpulkan 300 peserta!! INI GILA!

Mbak Lensi sungguh sangat berjasa karena dia yang mengurus semua pertanyaan dan reservasi. Lewat Line, WA, BBM, SMS hingga telepon. Belum lagi pendaftaran lewat link evenbrite. Semuanya bekerja. Mbak Febri juga sampai koprol. Saya Cuma ikut kerja dan mantau dari jauh meski pada akhirnya pulang pagi karena lembur surat undangan. Padahal sebetulnya memang nggak perlu surat karena sudah pakai media online. Tapi ya… orang kita masih suka yang manual dan boros kertas serta tenaga. Tak apalah, yang penting kan ujung-ujungnya bahagia.

Uang baru ada di tangan kami H-5. Haha. Sedikit konyol tapi ya itu realita. Seketika pas uang sudah ada kami pesan ini-itu. Langsung ludes. Alhamdullillah, ternyata uangnya Cuma mampir di rekening saya.

Sampai H-1 kami nggak pernah rapat full team. Emang perempuan-perempuan luar biasa Padmarini ini. kami cukup koordinasi via telpon dan grup WA. Kecuali saya, Mbak Febri dan Mbak Lensi yang lembur-lembur dan sering ketemu fisik.


Jumat tanggal 28 Oktober, harusnya saya ikut upacara di kampus. Saya sudah buat jadwal untuk hari itu. Pagi upacara, sekitar jam 8. 30 meluncur ke Bappeda Provinsi untuk urus Seminar dan Lokakarya di kampus. Menjelang siang ke Unila sampai waktu jumatan. Jam 1 kami harus kumpul di Kantor Dinas Kehutanan untuk briefing dan gladi bersih.

Tapi rencana hanya rencana. Saya terkunci di dalam kamar sendiri sampai pukul 8.30 WIB. Gagal upacara karena sampai kampus mereka sudah bubar. Ditambah lagi surat yang harus saya bawa ke kantor Bappeda ternyata salah-salah. Apa boleh buat. Saya harus edit suratnya sampe kesiangan menuju kota. Saya terimakan. Baru duduk di kantor YKWS, kantor Mbak Febri, saya dapat WA dari sekretaris rector untuk rapat Masterplan Akademik. Saya merasa perlu mempraktekkan Kage Bunshin No Jutsu karena rapatnya bersama rector.

Ternyata langit mengirimkan jawaban. Diturunkannya hujan sehingga saya nggak mungkin pergi ke kampus lagi dan kembali ke kota untuk briefing bersama teman-teman.

Sampai sore hari, ruangan belum siap. Perlengkapan belum sempurna. Blower dan jenset belum dipasang. Serta seabrek printilan lainnya belum lengkap. Saya dan Mbak Febri menemui Prof. Tukirin yang memang sudah hadir sejak pagi hari untuk memberikan kuliah umum di Unila. Kami ke hotelnya jam Sembilan malam. Nggak enak sih sebenarnya, tapi daripada kami nggak ketemu, kan?

Pulang dari hotel, tim INFIS dari Bogor sudah sampai di kantor YKWS. Kami semua langsung berangkat menuju kantor Dinas Kehutanan untuk setting sound system dan sebagainya. Kami di sana sampai pukul 00.30 WIB.

Luar biasa.

Sampai di sini saya kehabisan kata-kata.


Kegiatan kami berjalan lancar. Konon, di Lampung ini adalah screening film King Of Krakatoa yang paling rame. Lebih dari 300 peserta hadir dan pendaftaran ditutup pada H-2. Semua kursi terisi dan penonton nggak beranjak meski cuma difasilitasi snack dan pulpy sumbangan dari perusahaan. Luar biasa antusiasme penontonnya, sampe-sampe sesi diskusinya masih meriah meski Mbak Yuli selaku moderator telah menutup acara. Pak Tukirin pun mendadak jadi selebrita. 

Pesan dari kegiatan ini adalah, ayo ke Krakatau. Bukan untuk selfi dan foto-foto aja, tapi juga untuk penelitian demi kemaslahatan bangsa.

Saya sendiri seperti melihat masa depan dalam tubular Jaringan Perempuan Padmarini ini.

 

9 comments

  1. persiapannya luar biasa sekali mba. Tapi salut dengan semangatnya..saya pengen nonton juga filmnya!

    ReplyDelete
  2. Luar biasa sekali cerita di balik layarnya.
    Semangat terus ya kakak :)

    ReplyDelete
  3. yee... keren mba... yang paling menyenangkan dari perjalanan ini adalah ketika peserta penuh dan antusias... :D

    ReplyDelete
  4. mantep nih behind scenenya, sukses terus yah kak

    ReplyDelete
  5. Kegiatan bagus seperti ini layak dilanjutkan agar tersedia film yang berkualitas.
    Terima kasih ulasannya tentang kegiatan di balik layar
    Maju terus
    Salam hangat dari Jombang

    ReplyDelete
  6. keren banget nih,, kegiatan kaya gini harus sering sering nih

    ReplyDelete
  7. kepingin bgt bisa ikutan acara seperti ini

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<