Warung Pecel "Sudi Mampir", Eksis Sejak 1986


Vegetable salad original dari Indonesia atau commonly we call: PECEL, sebenarnya asalnya dari daerah mana sih? Ada yang tahu? Entah darimana dan siapa yang awalnya meracik kenikmatan dari kencur, bawang, cabai, dibalut gula merah ditambah pekatnya kacang tanah goreng ini nyatanya mampu diterima di lidah seluruh bangsa Indonesia.

Baca juga: Mi Pangsit Ubi Cilembu, Menikmati Mi Tanpa Rasa Bersalah



 
Buktinya, saya ke Padang nemu Pecel. Ke Pariaman nemu pecel. Ke Kalimantan ada juga pecel. Apalagi di Jogja yang mana hampir setiap hari saya sarapan pecel diselingi soto atau sekedar nasi urap setiap hari.

Orang yang suka makan pecel dan aneka variannya seperti lotek, ketoprak, gado-gado, dan karedok artinya juga turut membudayakan pangan lokal sehat. Pasalnya nutrisi dalam pecel komplit banget. Karbohidrat utama ada pada lontong, ketupat, atau nasi yang biasa jadi pelengkap. Belum lagi dari kacang tanah dan gula merahnya. Serat dan aneka mineral sudah pasti ada di dalam aneka sayuran. Belum lagi kalau pecelnya ditambah dengan wortel, kecombrang yang sudah pasti melengkapi kandungan vitamin dalam pecel yang kita makan. Suka merasa mulas kalau habis makan pecel nggak? Artinya pencernaan jadi lancar, nggak perlu lagi pencahar.



Karena pecel merupakan warisan luhur kuliner bangsa kita, makanya ingredient-nya pun cukup banyak kita dapatkan di lingkungan sekitar. Di supermarket, di pasar, di tukang sayur keliling, bahkan di kebun sempit di sekitar rumah kita. Wah dengan makan pecel, kita juga berarti telah membantu petani dan pedagang lokal. Apalagi kalau kita menanam sendiri sayuran yang dipakai sebagai bahan baku pecel, sudah pasti terjamin kualitas dan keamanan pangannya.

Kalau di Jogja ada warung SGPC yang konon telah ada sejak awal berdirinya Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Gadjah Mada, yang sekarang eksis di seputaran Selokan Mataram, Klebengan, di Kota Kalianda Kabupaten Lampung Selatan yang mungil juga ada pecel legendaris yang telah eksis sejak 1986.


Namanya Warung Pecel Sudi Mampir. Kekhasan Warung Pecel Sudi Mampir ini adalah selalu berpindah-pindah tempat tapi berputar-putar di Kalianda Bawah aja. Beberapa bulan lalu pindah di ruko kanan jalan sebelum MM Pamungkas. Tiga bulanan yang lalu pindah di pinggir jalan seberangnya. Sekarang sudah pindah lagi di ruko nggak jauh  dari warung tendanya dulu. Nggak heran kalau di bannernya tertulis “Warung Pecel Pindah di Sini.”

Perkenalan saya dengan warung pecel ini dimulai sejak saya duduk di bangku SMA. Ketika itu saya sering diajak makan pecel. Tapi memang mahal. Dulu saya nggak akan makan pecel ini kalau nggak ditraktir. #ShameOnMe


Menurut cerita si Ibu penjualnya yang saya lupa namanya siapa, beliau dan suaminya mulai berjualan sejak jaman Pak Dulhadi masih jadi Bupati Lampung Selatan. Katanya tahun 1983, anak keduanya lahir kemudian setelah anaknya agak besar baru berjualan. Waktu itu harganya Rp. 200 kalau nggak salah. Sekarang harga seporsi pecelnya sudah Rp. 18.000.

Kalau teman-teman kebiasaan makannya sedikit, mending beli satu untuk berdua. Lumayan kan jadi sum-sumannya Rp. 9.000. Porsinya emang banyak banget.

 Saya sendiri merasa nggak ada resep rahasia dari pecel Sudi Mampir ini. Bumbunya biasa saja. Cuma yang beda adalah komposisi pecelnya. Pecel Sudi Mampir sangat lengkap, selain ada sayuran hijau, pepaya, taoge, kerupuk, dan mentimun ada juga kentang, tempe, tahu, dan bawang goreng. Menurut Si Ibu, komposisi ini nggak pernah berubah sejak beliau pertama kali berjualan.

Saya nggak pernah bisa tahan dengan aroma bumbu pecel yang baru saja diuleg. Segar. Aroma kencur yang berpadu dengan cabai aja udah menggoda, apalagi ditambah kacang tanah goreng yang semakin menguar aromanya kalau sedang diulek. Belum lagi setelah disiram air asam, citarasanya semakin komplit menggoda hidung dan menyampaikan pesan nafsu kepada otak yang diteruskan ke perut. 



Yang menjadi daya tarik adalah keramahan pasangan suami istri pengelola warung pecel ini. Mereka betah diajak ngobrol dan selalu menebarkan senyum bahkan tawa. Kalau misalnya Si Ibu lagi ngulek pecel, kemudian ada pelanggan yang bayar dan siap pergi, Si Ibu akan berhenti dan berpaling kepada sang pelanggan untuk sekedar mengucapkan terimakasih dan memberikan senyum terbaik.

Keramahan itu pulalah yang menyebabkan pelanggannya selalu setia dan senantiasa kembali lagi. Selain memang rasa dan aroma pecelnya nggak perlu diragukan lagi. Enak banget pecelnya! Adik saya aja pada ketagihan kalau pulang sekolah beli pecel itu, apalagi kalau setelah berlelah-lelah di lapangan futsal. Satu porsi bisa dilibas sendiri. Hehe.

2 comments

  1. Kalo penjualnya ramah, kita jadi kayak punya ikatan batin yg bikin pengen balik lagi ya Mbak. Kadang bagiku, rasa itu sama sama aja sih satu depot dg yg lain, yg beda itu treatment penjualnya :)

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<