TENTANG PEREMPUAN BEKERJA DAN KESIAGAAN HIDUP BERUMAHTANGGA




 Saya pernah bilang bahwa saya sempat berpikir untuk nggak akan pernah menikah selamanya. Dalam benak saya, menikah bukan cuma ribet, tapi saya punya pengalaman-pengalaman yang saya saksikan dari kehidupan di sekitar saya bahwa menikah itu menyakitkan. Kasian banget yah. Makanya dari dulu, dari kecil saya emang udah pengin jadi perempuan yang mandiri. Termasuk dalam hal finansial.

Baca juga: Nikah? Yay or Nay?

Setelah saya dewasa (ciye), saya mulai berpikir tentang orang-orang di sekitar saya. Hingga akhirnya saya memutuskan untuk (bercita-cita bahwa) kelak akan menikah. So, saya sebagai perempuan yang telah memutuskan takdir hidup saya sebagai perempuan mandiri, saya harus mewujudkannya.


Saya selalu pengin jadi perempuan pekerja. Entah sebagai karyawan berdasi atau sebagai pengusaha. Saya merasa dengan bekerja, anugerah yang Tuhan berikan telah saya manfaatkan dengan baik. Tubuh saya bergerak untuk sesuatu yang baik, napas saya untuk menghasilkan hal baik dan otak saya selalu berpikir untuk kebaikan dan kemaslahatan.

Disclaimer:
Ini bukan curhatan yang memicu war. Saya nggak mendiskreditkan ibu yang bekerja di rumah karena ini adalah tentang pilihan hidup yan benar-benar wilayah kekuasaan masing-masing orang. Dan pilihan saya adalah menjadi perempuan bekerja.

Tapi meski saya berpikir untuk menikah, saya tetap memendam ketakutan-ketakutan. Ketakutan kalo kelak dianggap ‘babu’ oleh pasangan, ketakutan kalo nanti pasangan saya selalu kasar, hingga ketakutan bahwa saya akan jadi korban divorce. Naudzubillah.

Maka, saya kemudian berpikir untuk membuat perjanjian pra nikah. Jadi saya pengin mengatur semua tetek-bengek kehidupan berumahtangga saya di sana. Tentang pembagian tugas mengurus rumah, mengurus anak, sampai siapa yang memasak, mencuci hingga kemungkinan untuk divorce dan pembagian hak dan kewajiban saya dan pasangan.

“Perjanjian pra nikah nggak akan ada gunanya. Yang penting kamu bener aja nyari suami. Jangan suami yang nggak ngerti dengan kerjaan kamu, nggak sejalan dengan mimpi-mimpi kamu bla...bla...bla,” ujar seorang senior di NGO yang juga suami dari seorang Profesor di kampus saya.

Intinya: nggak usah lebay dan repot bikin perjanjian karena nggak akan ada gunanya!

Oke, berarti intinya adalah komunikasi dan saya emang harus tetap jadi perempuan mandiri. Demi menghadapi up and down kondisi ekonomi keluarga dan kemungkinan terburuk dicampakan oleh pasangan. Naudzubillah (lagi).

Saya selalu kagum dengan perempuan bekerja yang tetap bisa sukses mengurus rumahtangganya. Saya pengin jadi seperti mereka. Apalagi saya baru lima hari memulai kehidupan baru untuk stay di kantor 7-5 5/7. Saya selalu mencari figur-figur yang bisa saya jadikan role model.

Baru lima hari, saya udah merasa hidup saya kacau. Tinggal di rumah kos yang banyak nyamuk yang nambah bikin tidur saya nggak tenang. Alhasil, setiap bangun pagi badan saya pegal-pegal. Sementara saya harus sudah ngisi presensi finger print maksimal jam setengah delapan pagi. Saya nggak sempat sarapan padahal badan saya lagi manja banget karena dalam masa pemulihan infeksi lambung. FIX. Hidup saya kacau di minggu pertama ini.

Saya pikir saya hanya belum menemukan pola yang tepat. Saya masih terbiasa leha-leha nonton Indonesia Morning Show sampai Pagi-pagi. Lalu saya bisa menyambangi kantor NGO anytime meski terkadang harus pulang malam. Yang penting nggak berangkat terlalu pagi! Kasianlah ayam-ayam itu kalo mereka kalah pagi dari saya. Saya yakin kelak akan terbiasa.

Saya terus mencari role model. Salah satunya seorang Nunung Nurlela. Mak Nunung, Emak lima anak yang profesinya mirip seperti saya. Bedanya, Mak Nunung paling hanya empat jam di kampus. Sementara saya dari pagi sampe sore dan mengerjakan tugas-tugas dengan tagline kerja cerdas, tuntas, keras, dan yang paling penting IKHLAS.

Saya kenal Mak Nunung di Jogja, di masa-masa galau saya tentang tesis. Dia ngajar di STEI Hamfara, kampus ekonomi Islam berpesantren. Bidang Ekonomi Islam (perbankan Syariah, manjamen syariah dan akuntansi syariah). Menurut pengakuannya, Dia memang sudah ngajar sejak mahasiswa. Jadi asdos. Setelah lulus langsung jadi dosen tidak tetap, kemudian off karena lanjut s2. Baru tahun 2015 Mak Nunung jadi dosen tetap.


Menurutnya, jadi dosen adalah cita2 dan passionnya.  Asyik gitu. Terutama pas ngajar di kelas. Mak Nunung emang masih nggak begitu sibuk ya karena baru dosen awal-awal. Jadi nggak begitu lama di kampus. Dia bisa melakukan aktivitas yang lain.

Amazingnya adalah, Mak Nunung banyak dibantu sama suami yang juga bekerja. Dari kelima anaknya, yang besar sudah bisa bantu-bantu.

Katanya, “semua dijalani saja, Mak. Bagi tugas dan tetap milih prioritas. Semua saya selaraskan itu semua, meski belum optimal. Masih berusaha bisa bagi waktu yang oke untuk semua peran.”

Bahkan Mak Nunung juga pernah meninggalkan keluarganya. Saat harus Raker dan harus menginap. Ketika itu Mak Nunung banyak dibantu mertuanya. Tuh kan, harus ada sinergitas dari berbagai pihak yang terlibat dalam keluarga.

Mak Nunung juga aktif dalam aktivitas menulis. Meski blognya nunungnurlela.com jarang update teratur, tapi jangan salah, bukunya udah bejibun! Buku yang ditulisnya adalah buku populer. Tentang mertua, parenting dan juga motivasi.

Lah terus, nggak bisa nambah angka kredit profesi dong karena bukunya nggak sesuai bidang keahlian di kampus?

Itu juga sih yang saya khawatirkan. Karena kalau saya pribadi, menulis tentang topik lain yang nggak scientific itu terkadang jadi obat stress dan pelampiasan potensi kita yang lain yang nggak bisa ter-cover oleh tugas-tugas profesional yang jadi core bussiness kita.

Mak Nunung sendiri sebenarnya pengin nulis buku ilmiah sesuai bidang dan pengin juga ngambil S3 setelah anak bungsunya yang sekarang baru tiga bulan resmi disapih.

Beda dengan saya yang masih ambisius dan berjiwa muda, tsaaahhh... Mak Nunung sih penginnya S3 di Jogja aja. Yaiyalaaah... buntutnya aja udah lima. Nggak kebayang nanti kalo S3-nya di luar negeri mereka akan terdzolimi.

Menurut saya, teraturnya hidup Mak Nunung bersama suami dan kelima anaknya yang masih kecil-kecil banget tanpa dibantu oleh asisten rumahtangga adalah karena komitmen mereka. Mak Nunung dan suami telah berkomitmen untuk saling mendukung apapun demi kebaikan bersama. So, nggak akan ada rasa keberatan kalo suami harus menyiapkan sarapan, mandiin anak, apalagi nyuci.

Satu yang saya yakini adalah bahwa fitrah perempuan yang nggak bisa digantikan oleh laki-laki adalah hamil dan melahirkan. Sementara tugas rumahtangga bukan semata-mata jadi takdir perempuan. Tugas rumahtangga adalah tugas bersama.

Sementara menurut Mak Nunung, Dia tetep berprinsip perempuan bekerja hukumnya mubah. Meskipun mubah, jika itu membuat kita lalai dalam tugas atau kewajiban perempuan ketika sudah berumahtangga (sebagai istri dan ummu wa robbatul bait alias ibu dan pengatur rumah tangga). Jadi, menurut pandangan Islam, perempuan boleh bekerja, asal tidak abai dan lalai akan kewajiban utamanya.

Terus gimana kalau perempuan malah jadi tulang punggung keluarga?

“Ah, ini kondisi yang patut diberi empati. Dalam Islam, perempuan dimuliakan. Perempuan tak wajib kerja apalagi cari nafkah. Nah, soal ketika perempuan berada dalam posisi itu, ya sebenarnya bukan salah dia. Jadi, kalau karena suaminya nggak kerja misalnya ya patut disupport. Ini lebih pada peran negara yang harusnya menciptakan lapangan kerja untuk rakyatnya. Dan tidak menjadi alasan suami untuk tidak memberi nafkah pada istrinya walaupun pendapatan istri lebih besar daripada suami. Soal bagaimana mengaturnya ya diserahkan pada suami istri tersebut!” pungkas Mak Nunung.

Tuh, kan. Sah aja kalo perempuan mau bekerja. Apalagi tuntutan hidup (yang kadang melebihi kebutuhan sebenarnya) semakin meroket. Toh, perempuan yang bekerja seperti Mak Nunung masih bisa produktif di rumah. Bisa mengurus anak, dan bisa menulis buku-buku yang sangat bermanfaat.

Thanks Mak Nunung, saya akan mencari role model lainnya yang pastinya nggak kalah inspiring dan mengaplikasikan ilmunya dalam kehidupan saya! Saat ini saya udah nggak lagi berpikir bahwa hidup berumahtangga itu ribet. Justru saya pikir hidup berumahtangga itu ‘lucu’ dan saling bahu-membahu.

10 comments

  1. Hai Rinda,

    Aku termasuk rada keukeuh soal kesetaraan, tapi kemudian menikah dan punya anak dan sekolah lagi.

    Ada benarnya yg dibagian atas, kalo calon suami keliatannya udah suka larang2 atau suka merintah2 (memperbabu), ga usah diterusin. Menurutku sih pembicaraan awal sebelum menikah penting. Misalnya tentang mimpi2 bersama. Atau sesepele tentang saling membantu ngerjain pekerjaan rumah dan ngurus anak. Karena akupun sering denger cerita tentang suami2 yg sukanya leha2 dan ga peduli istri udh mau pingsan ngurus anak+rumah.

    Terkait jumlah anak, aku dan suami ngukur kapasitas diri, dan memutuskan maksimal dua saja. Itu pun yang kedua belun diprogram :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. *peluk Teh Yayaaaaatttt* aku pengin tiga ahhhhh anaknya :D

      Delete
  2. Mbak Nunung memang luar biasa ya. Cita2nya tak terhalang keluarga. Terlebih keteraturan kerjanya.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Berarti nggak salah kan Mbak kalo beliau jadi salah satu role model? ;)

      Delete
  3. Mantapkan dan fokuskan apa yang menjadi pilihanmu, Rinda. Karena tiap kondisi orang berbeda. Yang jelas, sebagai muslimah, prioritaskan yang menjadi kewajiban utamanya. Jangan sampai kita kerja malah menghambat itu semua. Pentingnya komitmen dan komunikasi dengan calon suami ttg ini. Semangat ya...oiya satu lagi, selain mengajar itu passion saya, inj juga amanah ortu saya. Kemudian saya ingin mengamalkan ilmu dan terus belajar. Tanpa akhir. Begitu...semangat ya Rinda 😍

    ReplyDelete
  4. kalau mau aktif emang harus berinergi dengan keluarga terutama suami. Suami adalah patner yang mesti memahami istrinya harus berkembang. Untuk itu carilah jodoh yang mau ngajak meraih cita-cita hehehe...

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<