Saya dan
kamera ponsel? Umm... sepertinya bolehlah sesekali bercerita tentang romantika
saya dan kamera ponsel. Meski saya nggak se-high-tech itu, meski saya juga
belum mampu memenuhi kebutuhan akan kamera berponsel yang mumpuni hingga kini.
Saya
anaknya emang terbukti SETIA.
Pertama
kali saya saya punya ponsel agak canggih adalah di tahun 2007 akhir. Waktu itu
saya beli ponsel seharga Rp. 7xx.000 dari uang beasiswa. Itu adalah ponsel
tercanggih diantara saya dan kawan-kawan. Nggak heran kami sering foto pakai
kamera ponsel saya. Meski belum tenar istilah ‘selfie’, kami sudah
melakukannya. Dan saya sendiri memajang foto di Facebook pertama kali dengan
kualitas VGA di kamera ponsel yang saya banggakan itu.
Ponsel itu
masih ada sampai sekarang. Meski kualitas kameranya jauh banget tertinggal dari
ponsel-ponsel anyaran, tapi nyatanya dia masih bernyawa. Dia masih kuat untuk
dipakai telponan pelaku LDR sekitar satu jam. Mantap, ya!
Untuk urusan
gadget saya memang anaknya nggak gampang terpengaruh oleh promosi. Kalo nggak,
entah berapa kali saya udah ganti ponsel. Berapa sampah elektronik yang
menggunung di rumah saya? Yah, hemat sampah elektronik mungkin juga salah satu
dampak positifnya orang-orang kere macam saya.
Yap! Saya
bukan nggak pengin punya ponsel baru dengan fitur ini-itu. Saya juga bukan
nggak ngiler dengan kecanggihan gadget kawan-kawan yang bisa dipake blogging
sekaligus vlogging dengan kualitas super oke. Saya pengin banget semua itu.
saya juga sangat butuh. Tapi saya sadar bahwa saya nggak mungkin merepotkan
orangtua saya untuk urusan seperti ini. Mereka udah nguliahin saya, menuruti
keinginan saya yang menggunung, dan ngasih saya sandang pangan yang cukup
layak. Ponsel memang bukan lagi barang tersier, tapi bagi keluarga kami, ponsel
yang penting bisa dipakai untuk komunikasi. Komunikasi yang dimaksud di sini ya
telpon dan SMS, apa lagi?
So, saya
harus memenuhi kebutuhan primer yang menurut orang-orang di kampung saya adalah
kebutuhan tersier itu dengan jerih payah saya sendiri! *kepalkan tangan*
#MERDEKA
Bicara
tentang gadget canggih saya memang
sangat ketinggalan. Ketika kawan-kawan di grup bicara tentang vlogging dan
editing video, saya harus gigit jari setelah baca tentang kebutuhan spesifikasi
laptop minimal corei3. Just so you know, laptop pertama saya dibeli pada 2007,
nyicil. Dan di 2010 ketika adik saya mulai kuliah, saya berusaha kerja dan
akhirnya dapat netbuk yang saya beli seharga tiga jutaan. Netbuk itulah yang
terus membersamai saya kesana kemari. Ikut berjuang dalam lomba-lomba, tugas
kuliah, skripsi sampai tesis dan sampai sekarang, untuk menulis cerita ini.
Meski dia nggak sanggup untuk ngedit video, meski dia menjerit dan langsung
hang pas saya ngedit gambar agak besar, tapi saya tetap cinta. Saya rawat dia
sepenuh hati. Dia yang saya panggil Reddy.
Smartphone Pertama dan
Kedua
Kembali ke
masalah ponsel. Ponsel agak canggih saya berikutnya saya beli di tahun 2011
ketika saya udah bisa kerja dan cari uang. Waktu itu masih lumayan baru tentang
android di lingkungan saya. Kawan-kawan di kantor menyebut ponsel saya: ponsel
sentuh-sentuh. Saya sudah mengenal Whatsapp dengan teman chatting cuma
segelintir orang. Itu pun orang-orang luar Lampung. Maklum, kawan-kawan masih
mengandalkan ponsel lapangan tahan banting dan tahan cuaca. Dan sekarang,
ponsel mereka sudah sangat jauh lebih canggih daripada ponsel saya. -_____-
Dari
ponsel android seharga Rp. 2,5 juta itu pula saya bisa kerja jadi reporter.
Kalo lagi liputan dan nggak diikuti sama fotografer, saya bisa motret pakai
kamera ponsel 2 mega pixel itu. Hasilnya sangat lumayan, sih. Saya juga merekam
wawancara pakai ponsel itu. Tipis, tapi banyak fungsi meski saya kurang suka
selfie.
Saya dan kamera ponsel adik |
Bukan
apa-apa. Saya kurang suka selfie karena memang wajah saya kurang fotogenik.
Saya sendiri pun malas memandang wajah di foto saya sendiri. Apalagi sampai
memamerkannya ke orang lain. Hingga akhirnya saya kenal instagram sebagai
sarana untuk citizen journalism berbagi foto-foto jurnalistik. Sebagai reporter
tentu saya sangat menyambut baik hal ini. Dengan kemampuan memotret alakadarnya
dan kamera ponsel segitu-segitunya, saya selalu mengabadikan kejadian di
sekitar saya. Saya sangat tertarik dengan feature dan humanisme, maka foto-foto
saya pun banyak bercerita tentang lingkungan sosial saya.
Sampai
akhirnya saya dapat beasiswa S2, saya masih pakai ponsel android pertama saya
itu. Saya bawa ke Jogja. Beberapa kawan juga masih awam dengan smartphone.
Mungkin itu karena kebanyakan dari mereka sudah terlalu smart, jadi nggak
perlulah mikirin buang uang beli smartphone. LOL. Maap ya, Kawan.
Saya
banyak merekam keseharian saya di perantauan. Waktu itu saya yang kurang suka
selfie menyiasatinya dengan pakai timer pada kamera ponsel. Saya set timer, set
tiga kali jepretan, ajak kawan berpose, lalu klik...klik...klik, mata kami jadi
silau kena blitz.
Mungkin
karena kelebihan kerjaan juga, ponsel itu akhirnya sering mati. Saya bawa ke
tukang servis, mati lagi. Gitu aja terus. Hingga akhirnya saya berpikir kalo ponsel
itu tetap ada di tangan saya, khawatirnya dia nggak akan pernah mau nyala lagi
dan hanya akan menjadi sampah elektronik di kamar. Saya selalu ngeri membayangkan
tumpukan sampah elektronik dengan emisi bahan berbahaya beracun di dalamnya.
Membayangkan baterainya yang bisa meledak kapan aja. Sampai kebayang kasus
minamata di Jepang tempo dulu. Saya juga ngeri membayangkan generasi bangsa
saya kelak harus punah akibat cemaran logam berat di lingkungan sekitarnya.
Akhirnya,
setelah beasiswa tahap ketiga tertransfer ke rekening, saya langsung
cepat-cepat menjual ponsel itu dengan niat untuk beli yang baru. Karena barang
elektronik second hand semacam ini harga jualnya nggak akan pernah punya tren
grafik kayak emas, maka uang saya kurang untuk beli ponsel agak canggih di 2013
meski udah ditambah dengan sedikit beasiswa. Akhirnya saya beli ponsel baru
yang bisa dual sim card seharga Rp. 1,7 juta. Ponsel itulah yang menemani saya
sampai sekarang.
Ponsel
yang ternyata nggak lebih canggih daripada ponsel saya sebelumnya itu cukuplah
membuat saya bersyukur meski kehilangan. Walau dual simcard, tapi kameranya
nggak se-yahud ponsel android saya yang pertama. Timernya payah. Nggak ada
blitz. Dan memorinya lemah butuh asupan ginko biloba. Agak menyesal saya buru-buru
menjual ponsel sebelumnya. Tapi yasudahlah, nyatanya saya masih bisa sekedar
bertahan dengan ponsel ini.
Saya emang
cukup lama menimbang-nimbang kalo mau beli sesuatu apalagi barang elektronik.
Selain masalah budget, saya juga pemilih soal kemanfaatan barang itu buat saya.
Kalo zaman dulu udah ada Zenfone 2 Laser ZE550KL yaaa mungkin saya mending beli itu aja
sih. Baca review yang pada bagus-bagus sekaligus ngiler liat punya kawan-kawan.
Saya dan Kamera Ponsel
Mereka
Sejujurnya
saya malu karena sering banget nebeng foto di ponsel orang lain. Itu saya alami
sejak saya banyak bergaul dengan kawan-kawan bloger di Jogja. Diantara mereka
ada juga yang kalungan kamera profesional. Tapi nggak bisa dipungkiri bahwa
kamera ponsel yang lebih praktis, ringan, fiturnya juga oke, dan yang paling
penting easy-to-share.
Kadang-kadang
share foto bukan sekedar pengin riya, pamer atau apalah you don’t judge. Tapi
lebih dari itu saya merasakan pentingnya kecanggihan kamera ponsel ini salah
satunya adalah ketika menghadiri suatu event dan diharuskan untuk share
aktivitas di sana lewat media sosial. Apalagi kalo ada hadiahnya. Di sini saya
sering mati kutu!
Kalo untuk
urusan live tweet yang sekedar berkicau, saya sih beberapa kali sempat menang. Meski
saya buka twitternya di browser. Tapi kalo untuk share foto enggak banget.
Beberapa event sering digelar indoor dan malam hari, dan kamera ponsel saya
sangat takut akan gelap. Poor me.
Solusinya
saya selalu pegang pocket camera. Meski repot karena kamera saya ini nggak
easy-to-share karena harus mindahin foto secara manual, nggak bisa upload
langsung atau bluetooth.
Gosh,
nyeritain ginian kok berasa saya manusia paling kuno sedunia yaaaaaa -____-
Well, yang
paling nahas adalah ketika saya memenangi lomba nulis berhadiah jalan-jalan Bulan
Maret lalu. Kamera ponsel saya sangat nggak bisa diandalkan. Pluuusss... pocket
camera saya ketinggalan.
Akhirnya
saya nebeng foto kesana kemari. Malu sih. Tapi saya berusaha nebelin muka aja.
Badak-badak dah tuh. Hingga akhirnya saya kerepotan sendiri ngumpulin foto-foto
itu. Saya nggak bisa ngebayangin gimana perasaan orang yang ponselnya ternodai
dengan adanya pose narsis saya yang sama sekali nggak fotogenik.
Parahnya
di sana para peserta tour yang nyatanya adalah para blogger pada bikin vlog dooonggg.
Mereka cuap-cuap di depan ponsel yang ditahan sama tongsis yang sangat berjasa. Sementara saya, jangan untuk
bikin vlog, fitur kamera depan di ponsel saya pun nggak ada.
Saya sedih
dan terhinakan.
“Blogger
mah ponselnya harus canggih, dong... bla.. bla...bla!”
Jleb!
Perkataan
itu ditujukan ke saya. Meski bukan dengan maksud sombong atau menghina saya,
tapi saya cukup tau diri. Itu diucapkan dengan nada friendly kok. Saya juga
membalasnya dengan renyah karena memang sama sekali nggak menyakiti. Tapi
jujur, itu membuat saya sadar bahwa kamera ponsel yang canggih adalah suatu
keharusan demi profesionalisme sekaligus memperluas kesempatan.
PONSEL
CANGGIH ADALAH HARGA MATI!
“Ya
nantilah kalo saya udah kerja juga pasti bisa nabung buat beli ponsel dengan
kamera canggih depan-belakang, media sosial bisa dipasang semua, cepet
kerjanya, daaaann... bisa buat blogging,” alterego saya kadang-kadang menghibur
gini.
TAPI
KAPAAAAN?
“Blonjo Sak Perlune
Mawon!”
Belanja
seperlunya aja. Percaya nggak kalo nasehat itu dipajang di sebuah banner yang
membentang di Pasar Bringharjo? Iya, pasar di Jogja yang nggak pernah sepi itu.
Suatu pembenaran atas bujukan syetan
...
Kita belanja terus sampai mati
Awal dari sebuah kepuasan
Kadang menghadirkan kebanggaan
(Efek Rumah Kaca)
Tentang
teknologi, orang Jepang konon sangat antusias menyambut teknologi baru yang
hadir di pasaran. Apalagi soal gadget. Sialnya, rumah mereka kan sempit nggak
kayak rumah saya yang bisa masuk padi sekali panen. Kalo lagi musim nggak panen
bisa untuk main sepedaan. Kalo kata seorang dosen saya di UGM, orang Jepang
selalu berpikir-ulang untuk membeli barang dengan fungsi yang sama. Kecuali
untuk fitur yang lebih canggih atau berbeda. Karena di sana untuk membuang
sampah, kita harus bayar dengan harga yang nggak murah. Apalagi untuk sampah elektronik.
Dan mereka yang sudah aware tentang permasalahan lingkungan pasti akan sangat
berhati-hati.
Katanya
barang elektronik kalo udah lama pancaran radiasinya nggak bagus!
Entah,
saya belum sampai nemu pembenaran atau sangkalannya. Tapi menurut saya akan
lebih nggak bagus lagi kalau barang-barang itu mangkrak dengan status hina
sebagai sampah. Terlebih di negara kita belum ada regulasi dan penanganan
khusus untuk sampah elektronik.
Sebelum
sebuah ponsel yang tadinya didapatkan dengan cara jumpalitan pre-order sama
sekali nggak berfungsi dan menumpuk di rumah atau dibuang di tong sampah
apalagi dibakar, alangkah lebih baiknya kalau ponsel itu di jual. Setidaknya
itu nggak akan menumpuk di sekitar kita. itu akan berakhir di tangan tukang
ngoprek elektronik yang bukan nggak mungkin akan berakhir di tangan para
pengepul dan perakit-ulang barang elektronik.
Dan satu
lagi, jangan membeli barang elektronik dalam keaadaan emosi atau kalap. Bisa
jadi kita nggak butuh barang itu, tapi karena tuntutan pergaulan jadi merasa
HARUS BELI. Biar dianggap keren gitu. Biar sejajar sama kawan-kawan lainnya
untuk alasan gengsi.
Kebanyakan kan gitu. Orang gaptek nggak sedikit yang ponselnya pada bagus-bagus. Padahal mentok fitur yang dipake cuma itu-itu doang. Kan sayang. Mending dikasih ke saya. #eh
Kebanyakan kan gitu. Orang gaptek nggak sedikit yang ponselnya pada bagus-bagus. Padahal mentok fitur yang dipake cuma itu-itu doang. Kan sayang. Mending dikasih ke saya. #eh
Giveaway Aku dan Kamera Ponsel by uniekkaswarganti.com
Hehee... kalo aku mah ndak perlu maksain mbak. Meski ada yg berkoar sana sini gra2 nebeng poto. Selagi yg minjamin kamera ponsel iya iya aja sih. ya enjoy kalo aku hee.. tapi stlah ku blututh ke hapeku. trus kuhapus lagi itu hasil jepretan potoku d kamera temen hhe..
ReplyDeletentar takut ngebek-ngebeki memeorinya dia. hueweheee
Semoga kita bisa cepet punya hape kece ya, Mbak :D
DeleteNggak usah malu lah numpang foto di hape orang, hihihi... saya aja sering, sampe yg punya ponsel eneg kali ya liatnya ;)
ReplyDeleteThks ya sudah ikutan GA #KameraPonsel, good luck.