CERITA LEBARAN ASYIK BERSAMA KELUARGA BESAR



"Dan Kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang ibu-bapaknya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. Bersyukurlah kepada-Ku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu."

Q.S. Luqman (31:14)


Saya merasa perlu bercerita tentang hore-horean-ala-saya di lebaran kali ini setelah saya misuh-misuh di tulisan saya minggu lalu dan bilang bahwa saya nggak merayakan lebaran. Honestly, awalnya saya males banget untuk pergi kemana-mana karena emang saya sakit selama lebaran kemarin. Itu kenapa juga mungkin saya jadi curhat baper banget minggu lalu. Jadi saya merasa bertanggungjawab untuk memberikan aura positif bagi lebaran saya yang sendu.


Biasanya, annual meeting keluarga Amat Semadi, Mbah Kakung Buyut saya diselenggarakan setiap lebaran hari keempat, alias 4 Syawal. Tapi tahun ini beda. Pertemuan keluarga diadakan pada Hari Minggu, (10/7) di hari lebaran kelima. Tempatnya di kediaman Mbah ‘Bungsu’ Mursinah di Wonosobo, satu-satunya saudara kandung Mbah Kakung dari Ibu yang masih sehat walafiat. Semoga berkah, ya Mbah usianya :*


Rumah Mbah yang kami datangi ini di Pekon (desa) Pangkul, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus dan MASIH di Lampung. Beberapa kawan selalu nyangka kalau saya pergi ke Wonosobo Dieng. Hehe. Jaraknya sekitar 4-5 jam perjalanan mulus lancar jaya dari kampung tempat orangtua saya tinggal. Rencana awal kami akan berangkat jam lima pagi selepas subuh, faktanya kami berangkat jam enam kurang seperempat. Alhamdulillah, kondisi jalanan lengang jadi mobil bisa meluncur dengan kecepatan tinggi. Kalau pulangnya, kami tempuh dalam waktu 7 jam dengan kondisi jalanan lancar, bukan macet.


Di perjalanan, saya yang awalnya kurang bersemangat jadi agak sumringah dan terhibur dengan apa-apa yang kami lihat dan cerita-cerita-yang-kami-buat-lucu. Di jalan, kami mengomentari bangunan-bangunan masjid yang lucu-lucu sampe unik yang baru setengah jadi. Beberapa bulan lalu, ada belasan kencreng amal di jalanan depan masjid yang kami lihat, sekarang udah nggak ada. Mungkin lagi libur lebaran petugas kencrengnya.



Ada juga bangunan-bangunan rumah tradisional yang mulai tergerus tren rumah minimalis.


Ada juga ulah orang-orang yang aneh sampai nekat!


Macam-macam pokoknya obrolan kami sampe nggak kerasa kami udah masuk gang menuju rumah Mbah Mus. Jadi deg-degan kayak ngeliat genteng rumah patjar!

Sampai di sana, baru ada serombongan keluarga yang datang. Wah, padahal kami keluarga yang tinggalnya paling jauh,tapi kami ada di urutan kedua. Hebat, kan?! Iya, sampe kurang tidur. Zzzz...

Demi apa coba harus bermacet-macetan melintasi jalanan panjang di hari lebaran gini? Ya demi ketemu keluarga besar. Demi silaturahmi yang terus terjaga supaya rezekinya juga selalu ada. Jadi mungkin ini juga yang dialami oleh pelaku-pelaku mudik yang menyemut dan keliatan di tivi-tivi itu. Demi ketemu keluarga, mereka rela melakukan APAPUN. Kapan lagi semua orang libur? Kapan lagi bisa ikut larut dalam euphoria. Harapan saya sih kalo emang niatnya silaturahmi ya harus paham kondisi satu sama lainnya. Nggak harus memaksakan semua orang sama nasibnya dan bisa bercengkrama bareng.


Kedatangan kami disambut oleh es buah yang seger banget dan kue-kue yang akrab sejak masa kecil saya. Ada nastar yang jadi kue sejuta umat, ada juga kue ‘rel kereta api’, entah-apa-nama-sebenarnya-kue-ini, tapi saya nyebutnya begitu. Semua itu made by Mbah dan anak-anaknya. Selain itu ada juga perpaduan kue lokal dan internesyenel seperti lapis legit, puding, gorengan yang bersanding dengan tart, kurma dan tape ketan. Plusss... ditambah kue lemper yang kami bawa. Ukurannya emang besar-besar, biar cepet kelar ngebungkusnya. LOL.


Menjelang dzuhur, anggota keluarga belum lengkap. Jadi kami makan siang dulu. Keluarga yang belum datang pastinya disisain di piring-piring terpisah dooong. Kami memang selalu prasmanan, kayaknya saya belum pernah ikut pertemuan keluarga tahunan dengan cara makan bancakan.




Selepas sholat dzuhur, acara dibuka dengan tilawah dan sari tilawah yang dibacakan oleh Ranu dan Zsasa. Anaknya Om Singgih dan Om Wawan alias cucunya Mbah tuan rumah. Umurnya mungkin sekitar tujuh tahunan, tapi mereka pintar-pintar. Saya jadi ingat dulu suka disuruh tilawah malu-malu, terus jadi MC, pernah juga bacain sari tilawah di masa lalu. 

Photo: Mrs. Singh

Setelah tilawah dilanjutkan dengan sambutan-sambutan. Kalo dulu pernah ada istilah ‘ular-ular’ tapi kali ini nggak ada. Apa panitianya lupa yaaaa? Sambutannya pun pakai bahasa Indonesia. Biar lebih mengena dan nggak butuh subtittle. Haha.

Di keluarga ini juga ada koperasi simpan pinjam yang umurnya udah lebih dari tiga puluh tahunan. Jauh sebelum saya ada. Koperasi ini yang bertugas membantu kesulitan keuangan sekaligus mempererat silaturahmi para anggotanya, alias para keluarga. Jadi selain ada arisan bulanan, ada juga koperasi yang menjadi soko guru perekonomian keluarga. Nah, pada kesempatan ini Pakde Sarwono menyampaikan laporan koperasi yang nampaknya udah ditunggu-tunggu oleh yang hadir.


Yang lumayan seru adalah agenda kocokan arisan. Hebatnya, nama Bapak dan Ibu saya keluar lagi sebagai pemenang. Jadi ceritanya, pemenang arisan akan jadi tuan rumah untuk arisan bulan berikutnya. Nama Bapak dan Ibu saya sudah empat kali keluar. Karena rumah kami jauh, ada yang nggak sepakat untuk menggelar arisan di rumah kami. Makanya, setiap nama Bapak dan Ibu keluar, selalu dimasukin lagi. Sampai akhirnya kali ini keluar lagi dan diambil karena takut bulan depan takdirnya tetap nggak berubah. Jadi, arisan keluarga selanjutnya akan diadakan pada hari Minggu, (14/8) di rumah kamiiiiiii. Yeaayyyy! Hajatan lagi!


Dan akhirnya, sampailah kita pada agenda puncak, sungkeman. Ini berlaku untuk para tetua sih. Kalo yang muda-muda nggak pernah sungkem. Pegel. Saya aja gara-gara jalan pake lutut jadi sakit lagi lututnya yang bekas jatuh dari motor. Di agenda ini, banyak yang pada nangis. Selalu begitu. Dulu saya selalu ceria, dan suka ngejekin kenapa sih mereka kok lebay banget. Kenapa minta maaf sampe nangis-nangis begitu? Apakah dosanya saking gedenya sampe jadi haru berlebihan begitu?

Ternyata lambat laun saya mulai paham. Setelah diputarkan kontemplasi foto-foto pertemuan keluarga di tahun 80-90an. Orang-orang dalam foto itu masih muda-muda. Semuanya keliatan ceria, tertawa. Tapi sayangnya kebanyakan dari orang-orang itu udah nggak ada. Mereka udah ke surga. Dan ngeliat foto itu saya jadi mikir, seandainya mereka masih di sini. Atau ... kelak saya juga bakal ‘hilang’ dan cuma nyisa gambar dalam foto aja.

Tahun ini yang lumayan berduka adalah keluarga Pakde Purwito, Mbak Hesti dan Mbak Hana. Mbak Hesti sampe nggak keluar kamar. Saya cari-cari nggak nemu, tapi ternyata ada di kamar depan. Tahun lalu, masih ada bude yang meski kondisinya sakit stroke tapi masih bisa ikut kumpul. Tahun sebelumnya masih ada bude yang ketawa di foto. Waktu itu bude masih ikut rebutan koin saweran yang dilempar Mbah Mus. Tahun ini sepi L


Dalam kondisi mata yang pada sembab, mereka pada ketawa-ketawa karena keseruan bagi-bagi doorprize. Masing-masing perwakilan keluarga mengambil undian nomor hadiah. Ada juga yang cuma dapat tulisan ‘anda belum beruntung’ yang mengundang tawa dan huuuuu panjang dari semua yang hadir. Seru banget! Meski hadiah-hadiahnya sederhana tapi cukup bisa mencairkan suasana. Meski nggak ada saweran lagi, bagi-bagi doorprize ini saya pikir lebih seru dan lebih ngefek. Nice idea, Om dan Bulik ;)

Hadiah untuk anak-anak beda lagi. Mereka disilakan untuk maju, memperkenalkan diri dan unjuk kebolehan. Setelah itu baru dapat hadiah. Perkenalan semacam ini bermanfaat supaya anak-anak juga saling kenal. Tau kalo mereka bersaudara dan nggak bakal ada lagi cerita minta lamarin anak saudara sendiri. Haha.

Akhirnya acara ditutup karena hari mulai sore. Apalagi kami yang jauh harus cepat-cepat pulang. Kami pamit selepas ashar setelah mampir-mampir ke rumah beberapa saudara. Kami sampai di rumah jam sepuluh malam. Rasa capek dan bosan di perjalanan kayak ketemu jodohnya, kasur.Meski capek, tapi ternyata asyik banget bisa kumpul-kumpul dengan keluarga besar, saling tanya kabar dan kondisi, sharing and caring each other, ketawa-ketawa abis nangis-nangis dan itu semua nggak bisa dibeli. Keluarga nggak akan bisa dibeli meski seberapa banyak harta dan ilmu kita, kecuali dirawat dan dijaga.

***

Kalian udah pada tau tentang Diary Hijaber? Kalo belum, segera meluncur ke web atau instagramnya aja buat ngepoin. Dan jangan lupa bagi yang di Jakarta dan sekitarnya untuk ikut serta menghadiri upcoming event yang digelar oleh Diary Hijaber untuk memperingati hari Hijaber Nasional pada 07 Agustus 2016 – 08 Agustus 2016 mendatang di Masjid Agung Sunda Kelapa,  Menteng, Jakarta Pusat.

You guys bisa ketemu orang-orang inspiratif dan tentunya menambah silaturahmi di sana! Don't miss it!

11 comments

  1. Lebarannya seru ya, Mbak. Sudah terkonsep kegiatannnya, mulai dari makan-makan, arisan, sungkeman, sampai bagi-bagi doorprize. Kereeen (y)

    ReplyDelete
  2. Kirain Wonosobo Jateng hehehe... Pokoknya kalau Lebaran wajib deh pulang kampung. Suasananya itu lo yang bikin sayang banget kalau dilewatkan.

    ReplyDelete
    Replies
    1. iyaaaa maaakkk, makanya aku ingin punya suami yang jauh. Biar ngerasain mudik. LOL

      Delete
  3. Berkumpul bersama keluarga besar memang membuat bahagia tersendiri
    HIPNOTERAPI SEMARANG

    ReplyDelete
  4. Nice for share, always there's something uniqe moment in every family event.

    ReplyDelete
  5. Itu masjid di Tataan ya? Eh menu makan siangnya menggoda bingits.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul Mbak Hen, sayangnya itu yg paling menggoda nggak kepoto. LOL

      Delete
  6. itu bisa jadi bahasan pengingat utk seluruh keluarga kak

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<