Susah
bagi saya untuk nggak kagum dengan seorang Swandari Auliya Izzati. Ibu muda
beranak satu yang kerap disapa Mak Liya ini emang menyimpan segudang prestasi
dan bakat yang bikin saya terus berdecak kagum. Saya emang nggak terlalu kenal
dengan perempuan kelahiran 1990 yang semula saya panggil ‘Mbak’ ini. Bahkan
membaca blognya pun belum cukup untuk bisa mengenalnya.
Saya
kenal dia dari privat chat gara-gara mau daftar seminar bisnis yang digawangi
oleh PKPU Jogja. Waktu itu saya ngejar tiket gratisan, dan Mak Liya punya.
Sayangnya saya gagal ketemu dengan Mak Liya karena saya udah sangat kesakitan
banget karena disminor waktu itu. Dia yang duduk di deretan bangku depan
menyulitkan saya yang duduk di barisan tengah nyaris ke belakang.
Beberapa
kali emang sering chatting dengan Mak Liya untuk suatu urusan. Artinya, saya
memang belum terlalu mengenal dia privately. Ketemuan aja baru sekali atau dua
kali. Saya ingat, pertama kali bertatap muka adalah sewaktu blogger gathering
di Tickles Cafe. 2015 lalu. Waktu itu Mak Liya lagi hamil besar. Hebatnya, dia
naik motor sendirian dari rumahnya yang jauh di arah utara. Sementara Tickles
ada di tengah kota. Saya dan Mbak Diba yang boncengan aja masih nyasar-nyasar.
Plus Mbak Nurul, jadi nyasar bareng. LOL.
Dia
jago menggambar dan mewarnai. Ya iyalah, kalo nggak jago kayaknya nggak akan
lulus dari Teknik Arsitektur UGM. Katanya sih Mak Liya punya sanggar dan doi
emang berniat suatu hari
nanti pengin punya sekolah menggambar dan menulis gratis. Wah, mulia banget
niatnya! Kalo nggak malu, saya pengen banget antri jadi murid pertamanya.
Kalo baca
curhatannya di www.senyumbahagia.com
kayaknya saya selalu gagal fokus. Soalnya banyak cerita tentang LDR atau lebih
tepatnya mungkin Long Distance Marriage (LDM). Banyak yang bikin baper karena
saya selalu berpikir saya nggak akan mungkin bisa menjalani LDM suatu hari
nanti. Sebut saja postingannya yang “Bulan Madu ala LDR-er”, “Tips Agar
Anak yang LDR Tak Lupa dengan Ayahnya” yang bikin saya mikir, duh
jangan-jangan suami Mak Liya bakal dipanggil “Om” sama anaknya sendiri. Haha.
Foto: FB Liya Swandari |
Anak Mak Liya baru berusia enam bulan. Kalo nggak salah sih unda undi
sama anak keduanya Mbak Dian dan Mak Arifah. Unda undi tapi lumayan jauh. *failed*
Mak Liya udah tiga tahun menikah dan LDR-an. Menurut dia sih nggak ada masalah
dengan jarak, tapi saya kalo ngeliat orang udah nikah tapi LDR tuh selalu aja
baper.
Masalahnya, sekarang aja saya LDR-an sama HB. Hampir empat tahun. Thank
God for the technology. Karena kalo kami masih harus surat-suratan sih mungkin
suratnya udah robek kena paruh merpati, atau kecemplung Selat Sunda. Atau
tukang posnya udah bosen aja dengan surat yang harus dikirim setiap saat. Banyak
juga kawan yang heran kenapa pelaku LDR seperti saya dan HB bisa awet sampe
tiga tahunan (dan belum nikah-nikah *smirk*) karena banyak yang bilang kalo
jarak adalah faktor krusial sebuah hubungan.
Kalo menurut saya, yang paling penting adalah kepercayaan. Kedua,
komunikasi. Saya sering juga kok jeles-jelesan sama HB. Marahan nggak jelas
sampe nangis-nangis. Sampe bete banget semuanya salah seharian. Tapi itu dulu.
Dulu sewaktu hubungan kami masih renyah kayak kerupuk. Renyah, gampang terbang
dan melempem. Kalo sekarang sih kami udah kebal. Karena kami sadar kami udah
dewasa, nggak akan mungkin main-main. Setiap muncul perasaan nggak enak, nggak
percaya, tinggal dikembaliin lagi ke alasan awal kenapa dulu percaya sama HB. Kenapa
rela berburu tiket kereta promo Bandung-Jogja PP (at least) tiap bulan. Kenapa
rela nungguin HB padahal doi suka tengil. Kemudian kalo alasan itu nggak cukup
kuat untuk membuat saya bertahan, tinggal ungkapkan langsung apa yang membuat
saya nggak nyaman dengan sikap HB. Ya, semuanya perlu dikomunikasikan.
Bahkan saya nggak sedikit nemuin kasus di sekitar saya. Udah nikah,
tinggal serumah, tapi komunikasinya nggak bagus. Tetap aja bikin sakit hati.
Bertahan dengan alasan demi anak rasanya nggak realistis. Karena masalah yang
ada yaitu kepercayaan dan komunikasi yang emang udah rusak. Nggak ada tabayyun.
Yang selalu ada kecurigaan yang nggak terkonfirmasi. So, jarak bukan masalah
utama, kan?
Banyak kawan-kawan saya yang LDM-an. Sebut saja Mbak Diba, Mbak Dian, Mak
Lusi, dan hubungan mereka nampak sehat dan sejahtera. Mungkin karena mereka
pandai mengatur waktu dan berkomunikasi, ya. Kalo beberapa senior yang LDM-an
nggak sedikit yang berakhir tragis. Kesimpulan saya, kesibukan mereka
mengalahkan cinta.
Saya pikir, ada benarnya petuah Bang Edison. Seorang senior di dunia NGO
sekaligus suami dari seorang profesor di kampus saya. Mencari pendamping hidup
itu gampang, tapi merawat hubungan adalah yang paling penting, terkadang kita
butuh melenyapkan ego, bahkan mimpi demi niat luhur yang telah kita ikrarkan
bersama pasangan. So, yang namanya sepasang, memang sudah seharusnya saling
mendukung. Bukannya saling iri dan menjatuhkan. Nggak ada derajat yang lebih
rendah atau tinggi dalam sebuah hubungan, yang ada adalah saling menyukuri dan
merawat. Itu aja.
Meski terlihat baik-baik saja, Mak Liya juga kelak pengin supaya nggak
LDR-an lagi. Ya iyalah, saya juga. Saya juga nggak mau kalo udah nikah malah
jauh-jauhan. *crying* Sama-sama saling mendoakan ya Mak Liya, semoga kita bisa
mendidik generasi penerus kita dengan baik, dengan contoh terbaik dari orang
tuanya. Orangtua yang selalu ada dalam bentuk fisik, bukan bergantung pada
teknologi semata. Kalo masih haram sih LDR-an nggak apa-apa, tapi kalo udah halal mah jangan sampeeeee. Aamiin.
Hyahahahaha judul mu menggelitik, Rinda. Tapi setuju banget. LDR bukan akhir segalanya :'))
ReplyDeleteCiyeee yang pelaku LDR ciyeeee. Demi kemaslahatan umat yaaa, Mamiii :D
Delete