![]() |
Foto: Pinterest |
Setelah beberapa hari puasa sosmed karena sedang
berada di kampung, saya pikir puasa saya jadi sedikit lebih mudah. Pasalnya,
saya jadi nggak sering ngamuk, misuh-misuh apalagi sebel sama ulah para
pengguna medsos yang kadang lebay sampe jahat. Tapi Minggu siang (12/6) kemarin
beda. Saya nonton TV hampir seharian dan mulai tersulut emosi lagi.
Salah satu channel TV menyiarkan berita siang
tentang Bu Saeni, perempuan perantau dari Jawa Tengah yang mencari hidup dan
penghidupan di Kota Serang, Banten. Masih di Indonesia. Dalam video mereka,
terlihat Bu Saeni sangat sedih, menangis, terlihat lemas dan kebingungan.
Barang dagangannya yang baru selesai dimasak dimasukkan oleh beberapa anggota
Satpol PP ke dalam plastik. Dimasukkan begitu saja tanpa peduli jeritan sang
empunya warung. Sementara anggota lainnya malah sibuk membentak-bentak ibu yang
tampak udah nggak berdaya ini. Terus pertanyaan saya, mau dikemanakan itu
makanan segitu banyaknya?
Kalo kata adek
sih, mungkin Satpol PP-nya mau buka puasa bareng karena udah adzan dzuhur
-_____- *ya nggak gitu juga sih*
![]() |
Foto: Sindonews |
Pas pindah channel, masih tentang Bu Saeni malang.
Tapi bedanya kali ini ada berita tentang penggalangan dana. Duh, kok ya
langsung latah galang dana, pikir saya awalnya. Sampai berita itu diturunkan sekitar
jam 12 siang, dana yang terkumpul sudah mencapai hampir dua ratusan juta. Dan
setelah jam 12 siang kemarin konon penggalangan dana untuk "Para Bu Saeni" itu ditutup. Amazing!!! Ternyata di negeriku masih
banyak juga orang-orang berhati selembut tahu sutera.
Usut punya usut, ternyata ada aturan bahwa selama
bulan puasa, warung-warung makan di Kota Serang dilarang buka. Termasuk
warungnya Bu Saeni. Masalahnya adalah Bu Saeni nggak pandai baca-tulis. Dia tau
ada kertas ditempel di depan warungnya, tapi dia nggak tau itu apa. Jadi dia enjoy aja jualan seperti biasa. Wah,
kalo pengakuan Bu Saeni itu benar, berarti emang sosialisasinya dong yang
kurang? Berarti cuma ditempel-tempel doang entah kapan tapi nggak dijelasin alasan lahirnya aturan itu
dong?
Larangan
penutupan warung makan, untuk siapa?
Saya marah bukan karena aturannya, toh saya nggak
tau sejarahnya sampe keluar aturan seperti itu. KALAU MEMANG PENGAKUAN BU SAENI
BENAR, berarti nggak ada sosialisasi. Saya emosi bukan karena nggak menghargai
ramadhan, tapi cara para anggota Satpol PP itu dalam melakukan razia yang
cenderung JAHAT!
Ya terus Si Dwika Putra yang melakukan penggalangan
dana itu udah benar sih menurut saya. Daripada emosi dan komen-komen nggak
jelas dan nggak berdampak. Terkadang upaya seperti itu akan lebih menyentuh dan
tepat sasaran daripada upaya represif seperti yang dilakukan para Satpol PP yang menjadi tangan kanan pemerentah. Apalagi kelak dana itu nggak
cuma buat Bu Saeni seorang, tapi juga untuk orang-orang lain yang senasib
dengan Bu Saeni. God job, Boy!
Dulu memang sering saya liat di TV kalau ada anjuran
untuk menutup warung di siang hari selama bulan puasa. Tapi sekedar anjuran
aja. Terus banyak warung makan yang tetap buka meskipun bagian depannya ditutup
rapat dengan tirai, banner bekas, dan cuma ada tulisan “Tetap Buka”.
“Nggak
seharusnya mereka mengungkap alasan mencari rezeki dengan membuka warung makan
di Bulan Puasa. Toh rezeki sudah diatur oleh Gusti Allah. Dan Bulan ini Allah
sedang punya ‘hajatan’ puasa ramadhan.
Kalo emang niat nyari rezeki kan tetap bisa buka warung pas sahur.”
Saya sendiri suka takut kalo harus keluar nyari
makan pas sahur. Apalagi di Jogja yang meski pun disebut Kota Pelajar yang
selalu berkampanye ‘berhati nyaman’ tapi saya suka nggak nyaman kalo malam
hari. Suka ada aja kejadian nggak baik kalo jalanan udah sepi. Hari Kamis
kemarin saya juga sempat nginep di salah satu kantor NGO di Bandar Lampung.
Saya berdua dengan OB nyari makan sahur. Suasananya lumayan mencekam. Nah, kalo
warung makan buka pas sahur terus mereka kenapa-kenapa gimana? *ah, itu sih lo aja yang parno!* LOL
Saya cuma bisa ngelus dada. Saya sendiri setuju sih
kalo bulan puasa mereka tetap beroperasi. Saya sendiri nggak sekali dua kali
punya pengalaman susah nyari makan siang di Bulan Ramadhan pas kos di Jogja.
Kantin kampus tutup. Warung di sepanjang jalan tutup. Saya cuma bisa menahan
perut yang melilit menahan lapar. Tapi FYI, saya bisa dengan mudah mendapat
makanan kalo saya mau untuk sekedar mengayuh sepeda menuju resto fast food atau rela berkorban pulsa yang
udah sekarat untuk minta delivery. Kadang-kadang
saya juga jalan-jalan ke mall untuk sedar nongkrong tanpa perlu kelaparan
sambil bawa gadget dan buku biar bisa ngerjain tugas. Tapi ya itu, budget saya
jadi lebih banyak keluar untuk makan gara-gara ngisi perut dengan hedon. Jatah
makan seminggu habis dalam sehari -_____-
Iya, warung makan di mall mah tetep buka. Katanya,
di Serang sana juga gitu. Warung makan modern tetap buka meski ada yang ditutup
tirai. Terus apa salahnya Bu Saeni? Apa? Untuk siapa aturan penutupan warung
makan itu dibuat? Untuk mencekik rakyat kecil?
Ibadah kok
manja!
![]() |
Foto: Pinterest |
Saya jadi ingat ‘dosa’ masa lalu. Kejadiannya
sekitar dua tahun silam ketika saya masih diberikan kekuatan (fisik dan iman)
untuk menjalankan puasa sunnah. Biasanya, saya sering janjian dengan
teman-teman di kampus kalau mau puasa. Tapi kali itu cuma saya sendiri yang
puasa. Seperti biasa, kami selalu makan siang bareng setelah selesai kuliah.
Apalagi waktu itu pas banget lepas dzuhur. Karena saya sedang puasa, hanya
teman-teman aja yang diskusi mau makan dimana. Saya cuma mengamati dan jadi
pendengar setia aja. Dan tiba-tiba saya membatalkan puasa karena mereka akan
pergi ke Warung SS, tempat makan sambal favorit saya.
Apakah saya
menyalahkan teman-teman karena tetap makan meski saya puasa? ENGGAK.
Apakah mereka
salah karena saya jadi batal puasa? Menurut saya sih ENGGAK. Toh, mereka nggak
merayu saya untuk batal, kok. Ini murni inisiatif saya sendiri untuk batal
karena terbayang kenikmatan sambal duniawi.
Tapi orang-orang dewasa kok malah makin aneh. Mereka
pengen banget orang lain menderita karena nggak makan walau nggak puasa. Entah
karena sakit, berhalangan, atau memang bukan muslim. Orang-orang pengen banget
dihargai, pengen banget difasilitasi hanya karena merupakan umat mayoritas di
negeri ini. Egois.
Apalagi membanding-bandingkan Perda di propinsi lain dengan di Serang. Semua pasti punya alasan mengapa mereka harus mengeluarkan aturan tetentu, termasuk Pemerintah Kota Serang. Menurut saya sih gitu. Sorry to say.
Apalagi membanding-bandingkan Perda di propinsi lain dengan di Serang. Semua pasti punya alasan mengapa mereka harus mengeluarkan aturan tetentu, termasuk Pemerintah Kota Serang. Menurut saya sih gitu. Sorry to say.
Mungkin umat agama lain justru sebel sama umat Islam
yang lebay. Cuma karena para muslim lagi puasa, harus banget warung makan
ditutup. Belum lagi soal pemakluman lainnya. Seorang teman saya protes karena
dia selalu terganggu dengan suara kebaktian dari gereja di depan rumahnya.
Protesnya bukan sama umat yang melakukan kebaktian, tapi sama kami yang bahkan
nggak pernah ikut kebaktian. Salah gerejanya yang emang udah ada sejak sebelum
rumah dia ada? Salah kebaktiannya yang paling cuma seminggu sekali atau di hari
besar tertentu aja? Sementara untuk membangun gereja butuh izin ini-itu, nggak
kayak masjid yang (tampak) bisa berdiri dimana aja.
Seorang teman yang menganut agama lainnya juga
pernah mengeluh terganggu dengan suara adzan yang sering membuatnya terbangun
padahal baru aja pergi tidur. Belum lagi kalo bulan Ramadhan atau mau lebaran,
suara dari masjid bisa sangat mengganggu dan menyakitkan. Padahal rumahnya
cukup jauh dari masjid, tapi suara masjid dengan speaker subwover stereo kan
bisa menjangkau seluruh negeri.
Pengalaman lainnya adalah ketika saya sering pergi
dengan seorang teman penganut Katolik ke warung kopi untuk meeting atau sekedar
mengerjakan tugas sementara dia sedang berpuasa. Ya dia nggak akan pesan
apa-apa kecuali password wifi. Padahal puasanya dari malam sampai malam lagi.
Dia nggak pernah ngeluh, tuh.
Saya sih nggak pengen membandingkan zaman kita
dengan zaman Rasulullah dulu. Ya jelas beda, dong. Zaman dulu pemimpin-pemimpin
agama kita kan sangat zuhud. Rasulullah aja nggak pernah makan roti enak karena
rakyatnya masih banyak yang miskin. Muslim di zaman itu juga nggak sempat
ngeluh lapar walau harus berperang ketika Ramadhan. Yang lalu biarlah berlalu. Kalo
di masa sekarang, kita di Indonesia amat sangat jauh lebih mudah. Puasa nggak
sampe 20 jam kayak di Swedia.
Daripada mengharap pemakluman, mending di rumah aja,
nggak usah kemana-mana kalo sedang puasa. Bukan sekedar takut dengan aroma
sedap dari warung makan, banyak banget godaan di luar sana. Betis-betis aduhai,
baju ketat dan rambut indah tergerai emangnya nggak menggoda iman para jejaka? Kalo
merasa puasa di Indonesia memberatkan, pergi aja ke Argentina yang puasanya 9,5
jam doang. Iya kan ibadah itu kan bergantung pada niatnya. Perbaiki niatnya
dulu, dong cobalah pahami orang lain sebelum ingin selalu menuntut untuk dimengerti.
*kemudian baper*
Terus harus banget gitu warung makan dilarang
beroperasi, menyisakan trauma bagi Bu Saeni yang rumah kontrakan sekaligus
warungnya yang disambangi Satpol PP. Kenapa bisnis TV nggak pernah dibatasi?
Iklan sirup bisa seliweran kapan aja nggak peduli tenggorokan udah dilanda el
nino-plus-kemarau-menjelang-kebakaran-lahan-gambut. Belum lagi pasar dadakan
selepas ashar yang menyediakan kesegaran dan aroma-aroma yang menggoda kok
masih dibiarkan aja? Kan, kita-kita juga masih puasa di jam-jam kritisnya.
Hayoooooo!
Suka baca tulisannya mbak.. :) intinya kan dari niat kita sendiri ya dan jangan lebay... Salam kenal.
ReplyDeleteIya, yang berlebihan kan enggak baik ya Mbak. Salam kenal jugaaa dari Lampung, terimakasih ya Mbak :)
DeleteBener banget, setuju. Namanya ibadah kan urusan masing-masing ya.
ReplyDeleteInsyaa Allah sih gitu Kak :D
DeleteSosialisasinya mungkin ya yg harus di maksimalkan, walaupun betul beribadah urusan masing2, Sejatinya menghormati ramadhan dengan menjaga yg sedang melakukan perintah wajib berpuasa.
ReplyDeleteDan untul menegakkan perda bgitu, setidaknya dibekali ilmu, kelemahlembutan dan kesabaran. Cmiiw!
Salam kenal yaaa :)
Betul...betul! Sosialisasi adalah koentji! Dan aturan pemerintah wajib ditaati. Thanks Mbak :D
Delete