ADA PUNGLI DALAM PENERBITAN SKCK, BENARKAH?




Pungli alias Pungutan Liar memang kerap terjadi di lingkungan sekitar kita, ya? Apalagi kalo kita bergelut dengan hal-hal berbau birokrasi. Kadang ketidaktahuan atau bahkan ketidakpedulian warga seperti kita yang bikin oknum yang meminta-minta Pungli makin bebas melakukan aksinya. Tanpa malu, tanpa takut dosa dan tentunya tanpa ragu. Tapi benarkah Pungli dalam pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) itu ada?


Saya sendiri terbilang baru dalam hal pengurusan surat ini-itu seorang diri. Orangtua memang membiarkan saya mengurus sendiri biar tau, biar keluar dari tempurung. Biar gaul gitu.


Pertama, sewaktu saya memperpanjang Surat Izin Mengemudi (SIM). Saya yang memang berdomisili di wilayah ‘kekuasan’ Kepolisian Resort Lampung Selatan, tentunya harus datang sendiri ke sana untuk memperpanjang SIM. Saya harus membayar lewat teller bank BRI yang ada di sana. Kalo nggak salah Rp. 90.000 (lupa banget, udah Agustus lalu). Tapi sewaktu saya minta tanda buktinya nggak dikasih. Saya pasrah aja karena waktu itu memang sebel banget.
Balik lagi ke masalah Pungli, saya belum sempat kroscek apakah itu termasuk Pungli atau enggak. Saya belum nyari tau aturannya. Tapi IMHO, yang namanya SIM mah nggak perlu kali ya diperpanjang segala. Mungkin aturan ini perlu ditinjau ulang.

Awal bulan lalu saya kembali bersilaturahmi ke Kantor Polres Lampung Selatan. Kali ini untuk keperluan pembuatan SKCK. Sebelumnya, supaya saya nggak mondar-mandir, hari Minggu siang saya mampir ke sana karena kebetulan lagi ada di sekitar sana.  Saya tanya syarat-syarat pembuatan SKCK kepada polisi jaga. Katanya, syaratnya cuma:
1.       Pas foto 4x6 4 lembar
2.      Pas foto 3x4 4 lembar
3.      FC KTP

Fotonya banyak amat, yak? Mau dikeleksi sama si Bapak? Hihihi. Ternyata kenyataannya lain, sodara-sodara!

Senin pagi saya buru-buru nyetak foto karena ternyata foto saya ketinggalan di tempat nenek. Saya cetak foto 3x4 dan 4x6 masing-masing 6 lembar. Nyisa juga nggak masalah, daripada kurang, pikir saya.

Sampai di sana saya nyari ruangan pelayanan SKCK yang ternyata ada di ujung belakang kantor. Kondisinya udah rame sama dedek-dedek gemes yang membuat SKCK untuk keperluan kuliah. Pas masuk loket, ada pengumuman syarat pembuatan SKCK yang lumayan berbeda dari informasi sebelumnya.

Syarat pembuatan SKCK:
1.       Pas foto 4x6 4 lembar (background merah)
2.      FC akta kelahiran
3.      FC KTP dan KTP asli
4.      Mengisi formulir dan pertanyaan

Nah, foto saya background-nya biru.

“Permisi, Mbak, kalo foto saya background-nya biru nggak apa-apa, kan ya Mbak?” saya langsung tanya ke petugas di balik loket daripada bertanya-tanya penasaran terus balik lagi nyetak foto dan harus bayar biaya editing.

Pesan moral:
Gunakan kalimat memastikan, jangan pertanyaan!
Beda dengan: Mbak, foto saya background biru, gimana ya? Atau boleh nggak, Mbak foto saya background-nya biru?

“(Menarik nafas panjang) Untuk kali ini dibantu, ya, Dek. Besok-besok jangan lagi. Harus merah, ya,” ih Mbaknya baik, iya deh besok-besok pakai background merah. Saya dipanggil “adek” pula. *langsung ngaca*

“Satu lagi, Mbak. KTP asli saya nggak ada,” KTP saya ada di kota karena abis jatoh dari motor enggak sempat saya urusin.

“Kali ini boleh, ya, isi dulu ini!” sambil menunjuk formulir pertanyaan di depannya.

Saya kan anaknya emang gaul. Ya antara sok akrab dan ramah kan bedanya dikit banget. Setelah ngobrol-ngobrol dengan Mbak-mbak yang duduk di samping saya, saya jadi tau kalo saya harus ke depan dulu untuk sidik jari. Yaa... salam. Parahnya saya nggak tanya dulu syaratnya apa. Dan saya berinisiatif nge-print scan KTP yang ada di netbuk saya. Ternyata FC KTP yang udah saya siapin yang udah kadaluarsa -____-

Dengan penuh percaya diri, saya masuk ke ruang sidik jari yang lebih mirip ruang periksa dokter. Di sana tertulis syaratnya:
1.       Pas foto 2x3 2 lembar
2.      Pas foto 3x4 2 lembar
3.      FC KTP

Oohhh... Lord! Saya kan nggak punya foto 2x3!

“Harus sesuai dengan peraturan!” kata Si Mbaknya. Kali ini Mbaknya lumayan tegas.

Saya melempem.

Saya keluar dan pinjam foto ukuran 2x3 sama mas-mas yang lagi di ruang tunggu. “Sok, mangga pake ajah!” ahaha... baik banget kan orangnya rela minjemin fotonya sama saya tanpa takut diapa-apain. Akhirnya saya ke kantin. Di sana saya minjem gunting. Tau kan, buat apa? Iya.... buat nggunting foto 3x4 saya. LOL.

“Iya, nggak apa-apalah, Dek. Punya saya juga saya gunting, kok. Nih, liat!” kata seorang anggota polisi yang sempat ngobrol di kantin sama saya. KTA dia fotonya hasil guntingan. Hahaha.

Dengan tingkat PD maksimal, saya masuk lagi ke ruang sidik jari...

“Rinda! Ini foto kamu, kamu gunting, ya?” kata Si Mbaknya.

“Iya, Mbak,” jawab saya dengan tegas dan penuh percaya diri. Jangan cengegesan atau malah tanya “boleh atau nggak” karena nanti nggak dibolehin malah repot suruh nyetak ulang. Fiuh. Pegel kaki adek, Mbak, mondar-mandir terus.

“Tapi nanti foto kamu ketutup sama cap jari,” Mbaknya mulai kesal.

“Nggak apa-apa, Mbak. Yang penting dapet rumus jarinya saya mah,” saya kembali duduk dengan tenang.

Yang saya kaget adalah, di sana dipungut bayaran Rp. 20.000. Padahal nggak ada pengumuman, dan nggak ada tanda terimanya. Saya bisa apa? Saya butuh buru-buru karena udah mendekati jam istirahat. Bisa-bisa urusan saya yang segini doang nggak kelar. Akhirnya saya berjalan dengan riang karena udah megang kartu sidik jari. Syalalalalalalaaaaa....

Sampai di ruang tunggu SKCK, saya langsung ngisi borang pertanyaan tadi, langsung saya serahin ke loket dan menunggu dipanggil dengan duduk cantik, buka laptop, browsing. Orang lain gelisah, saya mah enjoy ajah!

Pesan moral:
Selalu bawa buku bacaan atau laptop dan sejenisnya dengan baterai full dan charger atau powerbank.

Setelah nama saya dipanggil, saya disuruh bayar Rp. 20.000, tapi lagi-lagi nggak dikasih tanda terima. Lalu diminta untuk FC SKCK jadi lima untuk dilegalisasi. SKCK berlaku selama enam bulan, dan dalam waktu enam bulan itu saya nggak tau bakal butuh berapa buah SKCK. So, saya izin ke Si Mbak yang baik hati tadi untuk memfotokopi lebih dari lima, ternyata boleh.

Selesai dilegalisasi, saya mendapatkan kembali sepuluh lembar SKCK fotokopi saya. Kesempatan itu saya gunakan untuk bertanya.

“Mbak, saya pengen tanya lagi, boleh kan? Di depan ada announcement bahwa biaya pembuatan SKCK bagi WNI sebesar Rp. 30.000. Tapi kok saya tadi bayar Rp. 20.000?”

“Itu hanya sosialisasi, Dek. Belum ada aturan turunan terkait itu. Nanti setelah...bla..bla...!” 


I got it, mbak. Saya udah nggak sabar dengan pertanyaan selanjutnya tapi Si Mbaknya malah manggil “pasien” selanjutnya. Saya akui saya salah strategi. Waktu itu saya pengen tanya kenapa nggak ada tanda terima pembayaran? Kenapa di pengumuman tertulis bahwa biaya akan mengalami kenaikan dari semula Rp. 10.000 jadi Rp. 30.000.  Artinya, seharusnya yang saya bayarkan kali ini adalah Rp. 10.000. Bukan Rp. 20.000. Dan memang ada informasi di papan pengumuman yang terletak dibelakangi orang-orang yang mendaftar dan sibuk ngisi daftar pertanyaan. Jadi orang kurang aware atau malah nggak sempat melihat dan notice. Saya sendiri membaca info itu setelah selesai dan iseng-iseng mengambil gambar.


Ternyata benar bahwa seharusnya biaya pembuatan SKCK adalah sebesar Rp. 10.000 ajah. Ini terbukti dari pengalaman sepupu saya yang membuat SKCK di kantor Kepolisian Daerah Lampung yang dibebani biaya sebesar Rp. 10.000. Untuk pembuatan kartu sidik jari nggak dipungut biaya apapun. Saya juga sampe buka situs kepolisian RI. Jadi kenapa biaya yang saya keluarkan empat kali lebih besar? Sementara pelayanan yang saya dapatkan tidak seimbang? Mungkinkah sisanya adalah biaya legalisasi lima lembar SKCK? Dan dalam satu hari, waktu itu saya pikir yang bikin SKCK bisa sampe seratusan orang. Apalagi ini kan musim mau kuliah dan cari kerja. -____-

Photo courtesy: Sepupu saya (lokasi: Kantor Polda Lampung)

Apakah ini termasuk Pungli?
Atau beda instansi, beda pula aturannya? Entahlah, ayo beri saya pemahaman!

Kepada para pembaca, usahakan kalo mengurus sesuatu jangan di saat kepepet. Cari tau dulu informasi syarat-syarat pengurusannya. Lengkapi syarat itu sehari sebelumnya. Baru kemudian datang ke kantor yang berwenang pagi-pagi sekali dalam kondisi fresh dan sudah sarapan. Jangan datang siang-siang di saat orang udah antri dan petugas sudah mulai lelah. Adek juga mau banyak-banyak tanya, tapi udah terlanjut lelah dan emang harus buru-buru pulang karena mau pergi ke kota.

***

Kami memang tinggal di daerah yang left behind, jadi memang wajar kalau penyebaran informasi ke masyarakat luas itu kurang dan mungkin aja oknum-oknum itu mau memanfaatkan kondisi ketertinggalan daerah kami sebagai tameng kalo mau berkelit dari tugas. Kalau menurut saya, untuk bisa menikmati pelayanan masyarakat yang memuaskan memang harus sabar-sabar, banyak cari info, dan... ngeyel. Tip terakhir ini berlaku sewaktu saya mengurus pembaruan informasi di Kartu Keluarga.

NIK yang tertulis di KK kami ternyata beda dengan yang tertulis di KTP dan data on line. Ini ketauannya pas adik saya daftar SNMPTN di akhir semester lalu. Nah, dia masukin NIK itu ke laman pendaftaran, nggak ada data atas nama dia. Pas dicek ternyata NIK Ibu dan Bapak juga beda dengan di KTP. Punya saya juga. Beruntung adik saya masih bisa lulus SNMPTN.

Akhirnya, untuk keperluan daftar ulang dan agar kesalahan ini nggak berlarut-larut, saya dan adik saya mengurus KK ini ke Kantor Camat. Beberapa hari sebelumnya saya udah pergi ke Kantor Catatan Sipil, katanya saya harus ngurus ke Kantor Camat.

Sampai di sana hampir jam sembilan pagi di hari rabu. Petugasnya belum datang. Pegawai lainnya asyik merokok di bawah tulisan “Dilarang Merokok”. Sampai petugasnya datang...

“Jadi NIK di KK saya ini salah, Pak. Saya pengen buat yang baru dengan data yang benar.”

“(Di pegang-pegangnya FC KK yang saya kasih itu) Ini ngurusnya di Capil,” katanya sambil mau pergi.

“Enggak, Pak. Kami sudah ke Capil. Katanya untuk memperbaiki ini harus ke kecamatan.”

Waktu itu Mbak-mbak yang di kantor Capil ngomongnya enteng banget. Jadi saya pikir udah banyak kasus serupa sebelumnya. Kesimpulannya, ini mudah aja diurus! Saya makin pede.

“Enggak. Ini harus ke Capil, datanya di Capil!”

“Enggak, Pak. Kata Capil, harus ke kecamatan!”

“Di sini internetnya lagi rusak. Lagi bermasalah.”

“Internetnya atau situs kependudukannya, Pak, yang bermasalah?” kening saya berkerut.

“ Internetnya rusak. Kalo nggak ada itu, saya nggak bisa nyari data ini!”

“ (Senyum sumringah) kalo CUMA internetnya, saya bawa modem, Pak. Jadi Bapak bisa buka pakai modem saya!” gue canggih, dong!

... dan Si Bapak masih terus berkelit hingga akhirnya dibawanya FC KK dan FC KTP Ibu dan Bapak saya.

Sekitar satu jam setengah kemudian...

“Ini  dibawa ke Capil, minta tandatangan. Ini kopiannya (FC)!” dia menyerahkan KK yang baru plus FC-nya lalu pergi.

Ternyata masih banyak data yang salah. Bukan nomor lagi, tapi malah data lainnya jadi salah. Pas saya datang ke ruangannya, dia lagi asyik ngobrol sambil ngerokok. Akhirnya semua data tentang keluarga kami saya minta untuk di-update dan yang salah dibenerin. Jadilah KK kami yang sangat update berhasil kami bawa pulang dengan riang. Siang harinya, adik saya langsung ke kantor Capil untuk minta tandatangan sekaligus membuat KTP. Dan semua itu tanpa ada pungutan biaya.

Alhamdulillah.
Kuncinya adalah sabar dan syukur...

6 comments

  1. kalau di sini fontnya gak sekecil di postingan sebelumnya nih

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, ini mah bener kayak tulisan yang lainnya

      Delete
  2. Bisa jadi ini permainan dari mereka, yah sabar aja mbak

    ReplyDelete
  3. kenapa ya koq masih pada demen cari uang dengan cara kayak gitu,,

    ReplyDelete
  4. Alhamdulilah kalo dikota saya aman, pelayanan juga lumayan cepat.

    ReplyDelete
  5. Kalo dulu sih belum ada, kalo sekarang gak tau yah, bisa aja sih ada punglinya

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<