#BloggerPeduliMasaDepan Waste To Energy (Day 29)



Melalui program Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK) pemerintah berusaha menurunkan dampak negatif emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia dengan melakukan konservasi terutama pada daerah-daerah penyangga. Keberadaan daerah penyangga sangat penting bagi keberlangsungan hidup dan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat Bandung. Konservasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung dan Citarum sangat penting dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan meningkatkan daya dukung lingkungan. Pemerintah Kota Bandung menetapkan Sungai Cikapundung dan Sungai Citarum dalam salah satu prioritas program kegiatan dalam rencana pembangunan, baik jangka menengah (2009-2013) dan jangka panjang (2005-2025). Rehabilitasi Sungai Cikapundung dicanangkan melalui program Gerakan Cikapundung Bersih yang didukung oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Pemerintah Pusat.


Desa Cibodas merupakan sentra penghasil susu terbesar di area Bandung Utara. Daerah ini menjadi fokus untuk pengelolaan limbah ternak setelah ditetapkan sebagai daerah kritis oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Jawa Barat sebagai daerah dengan jumlah peternakan terbesar dan penghasil limbah peternakan terbesar di Bandung. Awalnya, peternak di daerah ini masih belum mengetahui pentingnya mengelola limbah peternakan dengan tepat dan sebagian besar membuangnya ke sungai.

Kampung Areng terletak di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Kampung Areng dikenal sebagai salah satu destinasi agrowisata. Kampung Areng adalah salah satu kawasan sentra ternak sapi perah penghasil susu, dan kini menjadi projek percontohan pengelolaan limbah bagi desa-desa lain di seluruh Jawa Barat.  Pada tahun 2012, jumlah populasi ternak sapi di Cibodas mencapai 2.700 ekor, dari 400 peternak. Sapi menghasilkan kotoran sebanyak 10-15 kg/hari, dan kotoran yang langsung dibuang ke hulu sungai Cikapundung mencapai hampir 20 ton/hari (Pemkab KBB, 2014). Kotoran sapi menjadi pencemar terbesar bagi hulu sungai Cikapundung yang bermuara di Citarum, dan perlu diatasi dengan pengelolaan limbah peternakan yang tepat. Kampung Areng menjadi salah satu target program pengelolaan kotoran sapi menggunakan teknologi biodigester oleh pemerintah, untuk memanfaatkan kotoran sapi menjadi energy (waste-to-energy). Selain biodigester, pemerintah Kabupaten Bandung Barat merencanakan pemasangan Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL).

Salah satu tokoh masyarakat yang merupakan agen perubahan dan penggerak dalam mengelola limbah ternak adalah Eti Rohaeti (Gambar 1)Bersama dengan keluarga dan tetangga terdekat, Eti, Nina dan keluarga membentuk kelompok kecil peternak beranggotakan 10 orang yang telah berkeluarga.

 
Gambar 1. Eti Rohaeti, inisiator salah satu kelompok peternak di Kampung Areng.

Kelompok ini diinisiasi oleh program pembuatan demplot pengolahan limbah kotoran sapi dengan teknologi biodigester. Pembuatan demplot ini merupakan bagian dari program BIRU-HIVOS, yang memiliki untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap energi yang terbaharukan dan menningkatkan keterlibatan perempuan dalam pembangunan.  Biodigester yang diperoleh kelompok ini adalah hasil kerjasama dengan KPSBU dan BIRU melalui skema kredit bagi peternak.

Biodigester yang dibangun biodigester permanen berukuran 4-6 m3. Untuk membangun biodigester permanen diperlukan lahan dan biaya biodigester, juga biaya pemasangan. Biodigester ukuran 4 m3 yang ditanam di bawah tanah memerlukan biaya sebesar Rp 6.600.000 – Rp 7.000.000, dengan biaya pemasangan sebesar Rp 800.000-900.000.  Lahan yang dibutuhkan untuk instalasi biodigester umumnya sekitar 4x4 m2 dan biodigester dipasang di area dekat kandang, dengan jarak minimal 1 m. Jarak yang dekat ini memudahkan peternak untuk mengumpulkan kotoran dan memasukkannya ke dalam biodigester setiap hari.

Sistem aliran materi limbahdibuat berdasarkan dengan siklus materi tertutup. Sistem ini perlu dijalankan secara efektif agar tidak ada materi yang terbuang dan kotoran sapi yang masuk ke sungai berkurang secara signifikan. Demplot dikelola secara komunal, menghasilkan produk yang bernilai tambah yaitu biogas dan pupuk kascing, dengan prioritas untuk memenuhi kebutuhan anggota terlebih dahulu. Kandang yang menampung 14 ekor sapi dibangun secara berdekatan, dengan 3 buah biodigester yang tersebar. Masing-masing biodigester dapat menampung 40-60 kg kotoran sapi/hari dan menghasilkan biogas untuk keperluan 5 rumah tangga. Slurry yang dihasilkan diangkut ke rumah kompos berukuran 5x3 m2 yang tidak jauh dari kandang dan diolah menjadi pupuk kascing (Gambar IV.3.2.1). Eti memiliki lahan yang juga dipasangi 1 buah biodigester di belakang rumah dan untuk proses pengomposan dengan cacing. 

 
Gambar2.  Demplot pengolahan kotoran sapi pada kelompok peternak Kampung Areng. Sebelah atas (lingkaran) adalah tempat untuk memasukkan kotoran sapi ke dalam biodigester yang dikubur di dalam tanah. Slurry hasil biodigester diproses dengan cacing.

Pengelolaan biodigester yang dilakukan dengan manajemen komunal memastikanagar pengelolaan rutin biodigester lebih mudah dilakukan bersama-sama. Setiap anggota kelompok mengumpulkan kotoran dari kandang sapi secara rutin tiap hari dan memasukkannya ke dalam biodigester. Maksimal kotoran yang dapat ditampung adalah sebanyak 25 kg/hari.Kotoran dikumpulkan selama 1 hari dan dimasukkan di pagi hari (04:30-06:00 WIB) sebelum memerah susu.

Kelompok memanfaatkan biogas yang dihasilkan sebagai pengganti Liquified Petroleum Gas (LPG) untuk memasak dan menghangatkan air untuk memandikan sapi. Sebelum menggunakan biogas, peternak menggunakan kayu bakar yang diambil dari hutan untuk memanaskan air. Pipa biogas yang dibuat paralel di antara biodigester memastikan agar suplai biogas memiliki cadangan apabila terjadi gangguan pada biodigester.

Hasil buangan dari biodigester yang berbentuk semi-padat (bioslurry) diolah menjadi pupuk kascing dengan bantuan cacing Lumbricus melalui proses vermikomposting. Bioslurry harus didiamkan selama 3-5 hari agar sisa-sisa gas dan panas menguap terlebih dahulu dan menjadi habitat yang kondusif bagi tumbuhnya cacing. Bioslurry ini juga dicampur dengan limbah organik rumah tangga seperti sisa sayuran dan makanan. Kapasitas demplot yang terbatas mengakibatkan kadang akumulasi bioslurry dan kotoran sapi yang belum terolah lebih tinggi dibanding yang dapat ditampung oleh demplot, sehingga Eti dan Nina langsung mencampurkan dengan bibit cacing. Hal ini dapat mengakibatkan bioslurry tidak terkompos dengan sempurna, potensi cacing yang mati dan pertumbuhan cacing terhambat.

Secara keseluruhan, pengolahan limbah kotoran sapi menghasilkan banyak produk yang dapat meningkatkan kualitas alam dan juga kualitas hidup peternak. Karena pelaksanaan pengelolaan yang rutin dan disiplin, juga sistem yang terencana dan berjalan dengan baik, kelompok peternak ini kini menjadi teladan bagi peternak lainnya. Kotoran sapi yang dihasilkan kelompok kini tidak mencemari sungai dan sumber air bersih di kampung ini terjaga dengan baik. Produksi sayuran meningkat, dan tanah yang digunakan untuk menanam sayuran kini menjadi subur karena aplikasi pupuk organis.  Kelompok peternak mandiri dengan menggunakan energi terbaharukan dan tidak menggunakan LPG dan kayu bakar, kerja peternak menjadi lebih mudah karena dikerjakan secara bersama-sama, dan juga pendapatan peternak bertambah dari produk kascing dan cacing yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi. 


Perswina Allaili



 

2 comments

  1. Programnya bagus. Semoga di kawasan lain segera menyusul :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Semoga segala potensi bisa diberdayakan. Di Lampung jg ada loh Teh *pamer*

      Delete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<