Melalui
program Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAD-GRK)
pemerintah berusaha menurunkan dampak negatif emisi gas rumah kaca yang
dihasilkan dari aktivitas manusia dengan melakukan konservasi terutama pada
daerah-daerah penyangga. Keberadaan daerah penyangga sangat penting bagi
keberlangsungan hidup dan pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat Bandung.
Konservasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung dan Citarum sangat penting
dilakukan untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan meningkatkan daya dukung
lingkungan. Pemerintah Kota Bandung menetapkan Sungai Cikapundung dan Sungai
Citarum dalam salah satu prioritas program kegiatan dalam rencana pembangunan,
baik jangka menengah (2009-2013) dan jangka panjang (2005-2025). Rehabilitasi Sungai
Cikapundung dicanangkan melalui program Gerakan Cikapundung Bersih yang
didukung oleh Pemerintah Propinsi Jawa Barat dan Pemerintah Pusat.
Desa
Cibodas merupakan sentra penghasil susu terbesar di area Bandung Utara. Daerah
ini menjadi fokus untuk pengelolaan limbah ternak setelah ditetapkan sebagai
daerah kritis oleh Badan Pengelola Lingkungan Hidup (BPLH) Jawa Barat sebagai
daerah dengan jumlah peternakan terbesar dan penghasil limbah peternakan
terbesar di Bandung. Awalnya, peternak di daerah ini masih belum mengetahui
pentingnya mengelola limbah peternakan dengan tepat dan sebagian besar
membuangnya ke sungai.
Kampung
Areng terletak di Desa Cibodas, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat.
Kampung Areng dikenal sebagai salah satu destinasi agrowisata. Kampung Areng adalah salah satu kawasan sentra
ternak sapi perah penghasil susu, dan kini menjadi
projek percontohan pengelolaan limbah bagi desa-desa lain di seluruh Jawa
Barat. Pada tahun 2012, jumlah
populasi ternak sapi di Cibodas mencapai 2.700 ekor, dari 400 peternak. Sapi
menghasilkan kotoran sebanyak 10-15 kg/hari, dan kotoran yang langsung dibuang
ke hulu sungai Cikapundung mencapai hampir 20 ton/hari (Pemkab KBB, 2014).
Kotoran sapi menjadi pencemar terbesar bagi hulu sungai Cikapundung yang
bermuara di Citarum, dan perlu diatasi dengan pengelolaan limbah peternakan
yang tepat. Kampung Areng menjadi salah satu target program pengelolaan kotoran
sapi menggunakan teknologi biodigester oleh pemerintah, untuk memanfaatkan
kotoran sapi menjadi energy (waste-to-energy). Selain biodigester,
pemerintah Kabupaten Bandung Barat merencanakan pemasangan Instalasi Pengolahan
Air Limbah (IPAL).
Salah satu tokoh masyarakat yang merupakan agen
perubahan dan penggerak dalam mengelola limbah ternak adalah Eti Rohaeti
(Gambar 1)Bersama dengan keluarga dan tetangga terdekat, Eti, Nina dan keluarga
membentuk kelompok kecil peternak beranggotakan 10 orang yang telah
berkeluarga.
Gambar 1. Eti Rohaeti, inisiator salah satu kelompok
peternak di Kampung Areng.
Kelompok
ini diinisiasi oleh program pembuatan demplot pengolahan limbah kotoran sapi
dengan teknologi biodigester. Pembuatan demplot ini merupakan bagian dari
program BIRU-HIVOS, yang memiliki untuk meningkatkan akses masyarakat terhadap
energi yang terbaharukan dan menningkatkan keterlibatan perempuan dalam
pembangunan. Biodigester yang diperoleh
kelompok ini adalah hasil kerjasama dengan KPSBU dan BIRU melalui skema kredit
bagi peternak.
Biodigester
yang dibangun biodigester permanen berukuran 4-6 m3. Untuk membangun
biodigester permanen diperlukan lahan dan biaya biodigester, juga biaya
pemasangan. Biodigester ukuran 4 m3 yang ditanam di bawah tanah
memerlukan biaya sebesar Rp 6.600.000 – Rp 7.000.000, dengan biaya pemasangan
sebesar Rp 800.000-900.000. Lahan yang
dibutuhkan untuk instalasi biodigester umumnya sekitar 4x4 m2 dan
biodigester dipasang di area dekat kandang, dengan jarak minimal 1 m. Jarak
yang dekat ini memudahkan peternak untuk mengumpulkan kotoran dan memasukkannya
ke dalam biodigester setiap hari.
Sistem
aliran materi limbahdibuat berdasarkan dengan siklus materi tertutup. Sistem
ini perlu dijalankan secara efektif agar tidak ada materi yang terbuang dan
kotoran sapi yang masuk ke sungai berkurang secara signifikan. Demplot dikelola
secara komunal, menghasilkan produk yang bernilai tambah yaitu biogas dan pupuk
kascing, dengan prioritas untuk memenuhi kebutuhan anggota terlebih dahulu. Kandang yang menampung 14 ekor sapi dibangun
secara berdekatan, dengan 3 buah biodigester yang tersebar. Masing-masing
biodigester dapat menampung 40-60 kg kotoran sapi/hari dan menghasilkan biogas
untuk keperluan 5 rumah tangga. Slurry yang dihasilkan diangkut ke rumah kompos
berukuran 5x3 m2 yang tidak jauh dari kandang dan diolah menjadi
pupuk kascing (Gambar IV.3.2.1). Eti memiliki lahan yang juga dipasangi 1 buah
biodigester di belakang rumah dan untuk proses pengomposan dengan cacing.
Gambar2. Demplot pengolahan kotoran sapi pada kelompok
peternak Kampung Areng. Sebelah atas (lingkaran) adalah
tempat untuk memasukkan kotoran sapi ke dalam biodigester yang dikubur di dalam
tanah. Slurry hasil biodigester diproses dengan cacing.
Pengelolaan
biodigester yang dilakukan dengan manajemen komunal memastikanagar pengelolaan
rutin biodigester lebih mudah dilakukan bersama-sama. Setiap anggota kelompok
mengumpulkan kotoran dari kandang sapi secara rutin tiap hari dan memasukkannya
ke dalam biodigester. Maksimal kotoran yang dapat ditampung adalah sebanyak 25
kg/hari.Kotoran dikumpulkan selama 1 hari dan dimasukkan di pagi hari (04:30-06:00
WIB) sebelum memerah susu.
Kelompok memanfaatkan biogas yang dihasilkan sebagai
pengganti Liquified Petroleum Gas (LPG)
untuk memasak dan menghangatkan air untuk memandikan sapi. Sebelum menggunakan
biogas, peternak menggunakan kayu bakar yang diambil dari hutan untuk
memanaskan air. Pipa biogas yang dibuat paralel di antara biodigester
memastikan agar suplai biogas memiliki cadangan apabila terjadi gangguan pada
biodigester.
Hasil buangan dari biodigester yang berbentuk
semi-padat (bioslurry) diolah menjadi
pupuk kascing dengan bantuan cacing Lumbricus melalui proses vermikomposting. Bioslurry
harus didiamkan selama 3-5 hari agar sisa-sisa gas dan panas menguap terlebih
dahulu dan menjadi habitat yang kondusif bagi tumbuhnya cacing. Bioslurry ini
juga dicampur dengan limbah organik rumah tangga seperti sisa sayuran dan
makanan. Kapasitas demplot yang terbatas mengakibatkan kadang akumulasi bioslurry
dan kotoran sapi yang belum terolah lebih tinggi dibanding yang dapat ditampung
oleh demplot, sehingga Eti dan Nina langsung mencampurkan dengan bibit cacing.
Hal ini dapat mengakibatkan bioslurry tidak terkompos dengan sempurna, potensi
cacing yang mati dan pertumbuhan cacing terhambat.
Secara
keseluruhan, pengolahan limbah kotoran sapi menghasilkan banyak produk yang
dapat meningkatkan kualitas alam dan juga kualitas hidup peternak. Karena
pelaksanaan pengelolaan yang rutin dan disiplin, juga sistem yang terencana dan
berjalan dengan baik, kelompok peternak ini kini menjadi teladan bagi peternak
lainnya. Kotoran sapi yang dihasilkan kelompok kini tidak mencemari sungai dan
sumber air bersih di kampung ini terjaga dengan baik. Produksi sayuran meningkat,
dan tanah yang digunakan untuk menanam sayuran kini menjadi subur karena
aplikasi pupuk organis. Kelompok
peternak mandiri dengan menggunakan energi terbaharukan dan tidak menggunakan
LPG dan kayu bakar, kerja peternak menjadi lebih mudah karena dikerjakan secara
bersama-sama, dan juga pendapatan peternak bertambah dari produk kascing dan
cacing yang memiliki nilai ekonomi lebih tinggi.
Programnya bagus. Semoga di kawasan lain segera menyusul :)
ReplyDeleteSemoga segala potensi bisa diberdayakan. Di Lampung jg ada loh Teh *pamer*
Delete