#BloggerPeduliMasaDepan Mengurangi Dosa Dengan Menggunakan Clodi (Day 15)


Perkenalkan, nama saya Ismawati, seorang ibu rumah tangga. Anak pertama saya berumur hampir 5 tahun, yang kedua memasuki usia 19 bulan. Sebagai ibu dari dua anak yang masih kecil-kecil yang sehari-hari di rumah tanpa asisten rumah tangga membuat saya membutuhkan bantuan untuk meringankan tugas saya. Dan si popok sekali pakai jadi solusi buat saya. Popok sekali pakai dengan segala kemudahannya membuat saya tak terlalu repot dengan urusan cucian kotor. Memang praktis sekali kan, tinggal pakai, dan lempar ke tempat sampah setelah digunakan.
Saya sudah mulai memakaikan popok sekali pakai pada anak pertama sejak usianya 7 hari. Waktu itu fisik saya yang kelelahan membuat saya tak sanggup untuk selalu mengganti popok kainnya setiap 15 menit. Sejak itu saya jadi akrab dengan benda ini. Ketika anak kedua lahirpun saya juga gunakan popok sekali pakai untuknya. Pernah sih saya mendengar tentang sisi negatif popok sekali pakai tapi waktu itu saya masih rada cuek dan kurang sadar lingkungan, hiks...
Sampai akhirnya saya benar-benar membaca tentang popok sekali pakai. Popok sekali pakai memang sudah jadi produk yang populer bagi orangtua yang memiliki anak kecil. Meski begitu, ada beberapa bahaya lingkungan dari penggunaannya. Popok sekali pakai tidak hanya menyebabkan timbunan sampah, tapi juga ada dampak serius pada lingkungan dan manusia. 

 Dampak pada sumber daya alam
Lebih dari 200.000 pohon tiap tahun ditebang untuk pembuatan popok sekali pakai. Dibutuhkan 3,4 juta galon bahan bakar tiap tahun untuk membuat popok. Selain itu, popok sekali pakai menggunakan 20 kali bahan mentah lebih banyak, dua kali lebih banyak air, dan tiga kali lebih banyak energi dalam proses pembuatannya dibanding popok kain. Selain menghabiskan sumber daya alam, pabrik popok sekali pakai juga menggunakan sumber energi yang tidak bisa diperbaharui.

Dampak pada tempat pembuangan sampah
Meski popok sekali pakai membutuhkan oksigen dan sinar matahari untuk terurai, popok ini tidak terurai dengan baik di tempat pembuangan sampah. Lagi pula, popok sekali pakai butuh sekitar 500 tahun untuk terurai. Tiap tahun jutaan ton sampah di tempat pembuangan sampah yang berasal dari popok sekali pakai bisa mencemari air tanah. Selain itu, virus yang tersekresi dari feses bayi bisa mencemari sumber air. Tempat pembuangan sampah menghasilkan gas emisi yang bisa menyebabkan perubahan iklim bumi. Popok yang terurai melepaskan metana ke udara. Konsentrasi gas metana bisa bersifat eksplosif juga berbahaya bagi pernafasan.

Dampak dari bahan kimia
Popok sekali pakai melepaskan senyawa organik volatil. Bahan kimia beracun seperti tuluene, ethylbenzene, xylene, dan dipentene berdampak pada kesehatan manusia pada paparan jangka panjang. Lapisan dalam popok sekali pakai yang berfungsi sebagai penyerap juga mengandung bahan kimia yang bisa memicu reaksi alergi. Popok sekali pakai biasanya mengandung dioxin, yang terbentuk sebagai produk sampingan dari proses pemutihan. Dioxin bersifat karsinogen, yang berarti bisa menyebabkan kanker.
Fakta-fakta di atas membuat saya berpikir dan merasa berdosa ketika melihat tempat sampah di rumah dipenuhi popok bekas pakai si kecil. Saya merasa berkontribusi mencemari lingkungan, alih-alih menjaga lingkungan, saya malah mengotorinya. Akhirnya di usia si kecil 6 bulan, saya beralih ke clodi, popok yang bisa dipakai ulang. Mungkin ini terlambat ya tapi toh lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali (pembelaan). Saya mulai mencari-cari clodi yang produk lokal supaya harganya lebih terjangkau. Akhirnya saya membeli beberapa clodi dengan merek dan model berbeda.
Memang si kecil belum lepas sepenuhnya dari popok sekali pakai. Ketika bepergian saya lebih prefer memakaikannya popok sekali pakai, karena kalau sudah terlalu lama clodi akan bocor. Ini lumayan merepotkan bila saya harus sholat di tengah perjalanan dan baju saya terkena pipis. Di musim hujan seperti sekarang, kadang clodi tak sempat kering ketika akan digunakan, jadi sesekali saya masih gunakan popok sekali pakai.
Untuk meringankan rasa bersalah, saya menggunakan kembali popok sekali pakai bekas. Bukan untuk dipakai si kecil lagi, tapi saya gunakan popok bekas ini untuk tanaman. Bagian dalam popok yang berisi butiran gel kecil, memiliki daya serap yang bagus. Butiran ini bisa menyimpan air dalam jumlah banyak. Setelah direndam air, isi popok ini saya campurkan ke tanah yang digunakan sebagai media tanam. Dengan begitu saya tidak perlu sering-sering menyiram tanaman. Cara ini cocok sekali untuk saya yang pemalas hihihi...


Nah, gambar di atas ini gel popok sekali pakai yang langsung saya gunakan sebagai media tanam tanpa dicampur tanah . Wadahnya juga cukup dari gelas plastik, bukan yang baru loh ya, tapi bekas pakai yang sengaja saya kumpulkan untuk berbagai keperluan. Kalau kebetulan di tukang sayur beli daun bawang yang tidak habis terpakai, sisanya saya tancapkan ke sini. Daun bawang jadi tetap segar dan bisa digunakan beberapa hari ke depan. Potongan tangkai daun bawang ini juga bisa tumbuh daunnya. Tak perlu khawatir, tidak akan tercium bau pesing meski gelnya berasal dari popok bekas. Supaya lebih menarik bisa juga gel diberi pewarna :)


Referensi:
http://www.livestrong.com/article/149890-environmental-impact-of-disposable-diapers/




Ismawati 
 Facebook : Ismawati Ummi Lulu
URL blog :  https://blognyaismawati.wordpress.com/


1 comment

  1. Wah, ternyata kita sama, Bund... aku juga kurang sreg dengan pospak. Alasannya ya itu, karena dia punya dampak tertentu pada anak...

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<