Terimakasih Pak Ari, Terimakasih Mass Market di Sekitar Saya



Tinggal di Yogyakarta tanpa mempunyai kendaraan pribadi konon akan menyulitkan. Yap, ketersediaan kendaraan umum di Yogyakarta sangat terbatas. Jika pun ada, saya harus rela menunggu lama untuk sekedar berdesakan dan bergelantungan di dalam bus bersama dengan penumpang lainnya. Sangat disayangkan memang, pertumbuhan kendaraan bermotor pribadi di Yogyakarta sangat cepat mengikuti arus pendatang dan pertumbuhan penduduk di kota itu. Meski warganya telah memiliki kendaraan sendiri, para pelancong tetap butuh angkutan massal untuk menikmati Yogyakarta yang katanya istimewa sehingga angkutan umum selalu penuh.

Saya tidak membeli sepeda motor untuk keperluan mobilitas saya. Saya percaya bahwa saya bisa bertahan meski tanpa harus membebani hidup dengan biaya kredit kendaraan bermotor. Akhirnya, setelah sebulan ke kampus dengan berjalan kaki, saya bisa membeli sepeda dengan uang beasiswa. Saya menamainya Wimmy, sepeda yang siap sedia membawa saya berkeliling kota kapan saja.
Me and My Wimmy

Ada kalanya, saya merasa capek mengayuh. Atau kondisi tubuh sedang kurang bersahabat untuk bersepeda jarak jauh. Saat itulah saya menggantungkan nasib kepada para tukang ojeg panggilan yang memang banyak terdapat di Yogyakarta. Saya bahkan akrab dengan para tukang ojeg yang kerap mangkal di depan gang menuju rumah kos saya.

Salah satunya adalah Pak Ari. Warga asli Yogyakarta yang menawarkan jasanya ketika saya tengah menunggu bus selama hampir satu jam sepulang dari pameran buku. Kesan pertama, seperti para tukang ojeg lainnya Pak Ari cukup fasih dalam memberikan panduan terkait Yogyakarta. Kemudian saya diberinya kartu nama dengan harapan akan menjadi langganan dengan cara memesan jasanya lewat SMS atau telepon. Tukang ojeg di Yogyakarta memang kebanyakan menyediakan kartu nama sebagai upaya promosinya.


Pak Ari hanyalah satu dari sekian banyak tukang ojeg yang bekerja untuk bosnya atau perusahaan yang menaungi jasa ojeg. Di Yogyakarta, ojeg sering disebut taksi motor. Dengan bergabung bersama perusahaan taksi motor berargo, Pak Ari tentu memberikan harga jasa sesuai dengan ketentuan perusahaan. Bukan asal ceplos harga jasa yang mencekik seperti beberapa pengemudi taksi motor lain yang saya temui.

Pak Ari dan sepeda motor barunya
Perusahaan tempat Pak Ari bekerja telah menerapkan sistem argo minimal untuk jasa ojeg panggilan Rp. 5.000 dan pertambahan Rp. 2.000 per kilometer jarak tempuh. Biaya yang cukup murah. Biasanya, pengemudi taksi motor tanpa argo akan meminta sekitar Rp. 25.000 untuk mengantar saya dari rumah kos di Jl. Kaliurang KM 5 menuju Pasar Bringharjo. Sementara dengan sistem argo yang diterapkan oleh perusahaan ber-icon kuning itu, saya cukup membayar sekitar Rp. 15.000 saja. Meski belum menerapkan sistem online, namun jasa taksi motor semacam ini cukup memuaskan dengan memberikan harga secara transparan kepada pelanggan.

Suatu hari Pak Ari pernah mengungkapkan kepada saya tentang cita-citanya membangun bisnis taksi motornya sendiri. Dia tidak ingin terus bergantung kepada orang lain. Tentunya Pak Ari juga ingin turut berperan memberikan memberdayakan orang lain. Namun sayang, tabungannya belum cukup untuk membeli perangkat argo yang menurut pengakuannya harus dipesan di Semarang dengan harga jutaan per unitnya. Saat itu pun Pak Ari masih menyewa sepeda motor di tempatnya bekerja, belum punya sepeda motor sendiri. Tiga tahun lalu, belum ada ojeg online yang membuat orang-orang meninggalkan pekerjaan dan posisinya yang mapan. Ojeg argo sudah sangat keren sekali dengan layanan pemesanan via SMS dan telepon.

Merenda Mimpi Anak-anaknya

Dengan penghasilan yang tidak menentu sebagai pengemudi taksi motor, Pak Ari tidak lantas mengubur mimpi untuk menyejahterakan hidup keluarganya. Kulit hitam mengkilatnya mungkin bisa jadi saksi perjuangannya mengumpulkan rupiah bagi biaya hidup keluarganya. Usianya memang sudah kepala lima, namun semangatnya terus memburu dan tidak pernah sejalan dengan usia yang semakin menua.

Terlepas dari pro-kontra terhadap industri pertambangan, saya salut dengan keberhasilan Pak Ari mendidik anaknya menjadi seorang karyawan di perusahaan tambang terkemuka di Kalimantan. Lulus dari Universitas Gadjah Mada, anak laki-laki tertuanya direkrut oleh sebuah perusahaan besar dengan jabatan yang tak bisa dianggap rendahan. Setidaknya, anak sulungnya telah membuat Pak Ari dan istrinya bernapas lega dan berani memandang ke depan dengan bangga.

Anak bungsunya kini tengah menempuh pendidikan tinggi di salah satu kampus swasta ternama di Yogyakarta. Tentu, sang adik ingin mengikuti jejak keberhasilan kakaknya yang tak pernah lelah belajar meski mereka hidup dalam keterbatasan ekonomi.
Pak Ari selalu berpesan kepada saya agar senantiasa meningkatkan prestasi demi keberhasilan di masa depan dan demi menghadirkan kebanggan bagi kedua orangtua. Pak Ari juga tak pernah lelah memberikan apresiasi terhadap usaha dan keberhasilan-keberhasilan kecil saya sehari-hari. Meski tidak memakai jasanya setiap hari, namun Pak Ari selalu menanyakan tentang hari-hari yang saya jalani di kampus, di komunitas, maupun kabar orangtua setiap kali bertemu. Bayangkan saja, jika dia menanyakan ini kepada setiap pelanggannya, berapa banyak kisah hidup orang yang dia ingat? Berapa banyak orang yang bisa berbagi suka-dukanya dari belakang kemudi sepeda motor tua yang dikendarainya? Dan berapa banyak inspirasi yang telah dia tebarkan setiap hari?

Blue Sky, Ojeg Argo Impian Menjadi Kenyataan

Setelah berbulan-bulan vakum dari aktivitas kampus karena sakit, saya seperti kehilangan semangat untuk bisa mobile dan hanya beraktivitas di dalam rumah kos. Selama itu pula saya tidak bertemu dengan Pak Ari, maupun tukang ojeg langganan lainnya. Suatu hari di awal tahun 2015, saya harus menemui sahabat saya yang baru saja datang dari Lampung. Kami berjanji bertemu di Jogja Expo Center (JEC) untuk menghadiri pameran komputer.

Awalnya saya pergi dengan Bus Trans Jogja dan harus transit di halte Jl Cik Ditiro, tapi karena saya telah menunggu lama tapi bus tidak juga datang saya langsung menelepon Pak Ari yang kebetulan sedang berada di sekitar kampus UGM. Tidak seperti biasanya, Pak Ari menjemput saya dengan motor berwarna biru, bukan kuning.

“Selamat berkenalan dengan The Blue Sky, Mbak Rinda!” sambut Pak Ari dengan wajah sumringah sambil memberikan helm kepada saya.

“Wah, Pak Ari sudah punya taksi motor sendiri sekarang?” saya tidak kalah antusias.

“Alhamdulillah, Mbak Rinda. Berkat doa Mbak rinda juga. Sekarang kita mau kemana?” tanya Pak Ari ketika saya sudah siap diboncengnya.

Dalam perjalanan, Pak Ari bercerita bahwa sekarang dia sudah berhasil membeli sepeda motor sendiri secara kredit. Dia tidak perlu lagi membayar sewa dan setoran kepada perusahaan ojeg dimana dia bekerja dulu. Sebaliknya, saat ini Pak Ari sudah bisa merekrut dua orang temannya untuk menjadi tukang ojeg. Sekarang, Pak Ari bisa lebih leluasa menjual jasanya. Tanpa dikejar-kejar uang setoran dan jam sewa motor dari kantornya.

Sayangnya, pendapatan yang diterima Pak Ari setiap hari ditambah setoran ojeg dari dua orang karyawannya belum bisa dibilang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Pasalnya, dia masih harus membayar kredit motor dan cicilan pemasangan argo sepeda motornya. Dia juga masih harus membiayai anak bungsunya kuliah sementara istrinya tidak bekerja. Pak Ari terus berharap jika ada investor yang mau memberikan pinjaman modal bagi pengembangan usahanya. Dengan modal yang lebih, Pak Ari bisa memberdayakan lebih banyak karyawan lagi. Dia juga bisa melunasi cicilan utang dan kredit motor yang semakin mencekik. 

Mass Market dan Kemampuannya Berdaya

Dalam kehidupan sehari-hari, tentu kita selalu membutuhkan peran mass market dalam menyediakan keperluan kita sehari-hari. Saya juga demikian. Tinggal di Yogyakarta tanpa ketersediaan dapur di rumah kos membuat saya minimalnya sangat bergantung pada Warung Pecel Mbah Wagiman, Mbak Ani, Bu Yanto, dan warung nasi padang di depan gang. Selain itu saya juga berhubungan baik dengan beberapa tukang sayur yang menggelar lapak setiap pagi hari untuk membeli buah-buahan dan kue tradisional. Jika ada teman atau saudara berkunjung, saya juga sering mengajak mereka makan gudeg di pinggir jalan. Semua itu adalah pelaku usaha yang sangat membantu saya selain tukang ojeg seperti Pak Ari.

Warung Pecel Mbah Wagiman

Terkadang mereka justru memberikan bonus kepada saya ketika berbelanja. Saya bisa apa? Saya hanya belanja sesekali dengan nominal yang tidak terlalu besar. Melihat kerja keras mereka memang sangat mengiris hati. Dalam kondisi usia yang sudah tak muda lagi, mereka harus terus berusaha untuk mendapatkan penghasilan yang halal.  Cita-cita mereka tak muluk-muluk. Tak perlu jadi orang kaya. Sebagian dari mereka bahkan hanya berpikir untuk menyambung hidup dari hari ke hari. Sebagian lainnya mencari penghasilan agar anaknya bisa terus bersekolah dan mengangkat derajat keluarganya dari status pra sejahtera.

Permodalan memang menjadi masalah klasik yang menjadi penyebab stagnansinya usaha kecil dan menengah di sekitar kita. Selain itu, kurangnya informasi untuk mengakses sumber modal juga tak kalah penting. Pelaku usaha kecil mungkin tidak pernah kuliah manajemen strategi, manajemen pemasaran, apalagi manajemen teknologi hingga analisis kebijakan pasar. Oleh karena itu, jika pun mereka memperoleh bantuan permodalan, seringkali ada yang miss dalam proses pengembangan usaha mereka.

Melalui Program Daya yang diluncurkan oleh BTPN, permasalahan pengembangan usaha yang dihadapi mass market dapat terbantu. Melalui program ini, mass market akan menerima pelatihan dan peningkatan kapasitas sehingga mass market mampu bertahan dan berkembang dalam usahanya. Untuk lebih jelasnya, saya melakukan simulasi menabung di BTPN dengan alur sebagai berikut.
1.       Membuka website http://menabunguntukmemberdayakan.com/
2.      Meng-klik ‘Mulai Simulasi’

3.      Melakukan login melalui Facebook. Bisa juga melakukan login manual, tapi saya pikir login dari Facebook lebih simpel.
4.      Memilih  nominal uang yang kita tabung perbulannya. Tersedia pilihan antara Rp. 500.000- Rp. 6.000.000 saya memilih nominal paling kecil Rp. 500.000

 
5.      Memilih jangka waktu menabung antara 6 bulan sampai 10 tahun , saya memilih 5 tahun.
6.   Klik 'Lihat Hasil Simulasi' 


Dari hasil simulasi dana saya yang tumbuh secara optimal dengan Tabungan Taseto Mapan ternyata bisa memberdayakan pelaku usaha. Seperti kita tahu bahwa usaha kecil adalah sektor ekonomi yang paling mampu bertahan selama krisis moneter di Indonesia. Selain itu, melalui dana yang saya simpan, saya juga berkesempatan untuk turut memberdayakan masyarakat berpenghasilan rendah serta pelaku UMKM dalam meningkatkan kapasitas mereka melalui pinjaman dana dan berbagai pelatihan melalui program Daya.  

Dalam hasil simulasi saya yang menabung Rp. 500.000 per bulan selama 5 tahun, uang saya yang terkumpul sebesar Rp. 34.177.130. Karena adanya program daya, Bapak Supriyanto seorang pengrajin Batik Kayu di Bantul mampu memproduksi 100 mainan per hari dengan ragam yang lebih variatif, setelah menerima manfaat pelatihan dari program Daya. Kini, dibantu 6 orang karyawannya, produktivitas usaha Bapak Supriyanto pun semakin meningkat.


Kita sebagai penerima manfaat dari keberadaan mass market di sekitar kita ternyata bisa juga membantu mereka untuk lebih berdaya. Dengan menabung di BTPN, kita akan mendapat dua keuntungan sekaligus. Keuntungan karena uang yang kita tabungkan terjaga keamanannya, juga keuntungan karena dengan menabung berarti kita telah membantu mass market untuk lebih berdaya. Pak Ari mungkin bisa melunasi kredit motornya, membeli motor dan peralatan ojeg argo lagi sehingga Pak Ari bisa memberikan pekerjaan kepada lebih banyak orang lagi. Mbah Wagiman juga mungkin akan membuat warung kecil semi permanen sehingga tak lagi berjualan dengan tenda di sisi jalan yang rentan jadi korban cuaca buruk dan mengganggu keleluasaan pengguna jalan. Dengan adanya program ini, tentu kualitas produk dari mass market penerima manfaat dari menabung untuk memberdayakan tentu akan lebih baik lagi.

Keramahan Adalah Koentji!

Meski pendapatannya masih jauh dari harapan, Pak Ari tidak lantas melupakan kepuasan pelanggan. Dalam perjalanan menuju JEC, Pak Ari justru terus mengulik informasi tentang sakit yang saya derita. Dia juga memberikan saran untuk melakukan self healing dengan bermeditasi di sepertiga malam selepas sholat tahajud. Hal itu memang sudah biasa diterapkan Pak Ari untuk menjaga kondisi tubuhnya tetap sehat dan bugar. Oh iya, Pak Ari juga merupakan seorang pelatih martial art di sebuah dojo. Pak Ari terbiasa melatih para calon perwira meski tanpa digaji. Menurutnya bisa membantu orang lain sudah merupakan rezeki tak ternilai dari Tuhan.

Yang lebih menyentuh bagi saya bukan sekedar cerita-cerita dan nasehat Pak Ari, tapi juga Pak Ari rela rugi. Meski Pak Ari dan keluarganya juga termasuk masyarakat Pra Sejahtera tapi mereka terbiasa bersyukur dengan pemberian Tuhan. Untuk perjalanan dari shelter bus di Jl. Cik Ditiro sampai JEC, Pak Ari hanya meminta bayaran Rp. 5.000. Tentu saja saya sangat kaget! Awalnya saya menolak dan memaksa membayar dengan nominal yang lebih tinggi. Menurut Pak Ari, itu adalah biaya panggilan karena saya memesan ojeg via telepon. Sementara itu dia juga sangat bersimpati kepada saya yang sedang dalam proses pemulihan dari sakit sekaligus dikejar-kejar tesis. Pak Ari selalu berpesan agar saya berdamai dengan diri sendiri demi menghalau stress psikosomatis yang terus mendera.

Sepanjang saya berlangganan ojeg dengan Pak Ari, selalu saja ada semangat dan inspirasi baru. Atau sekedar dukungan berupa doa dan ungkapan kebanggan terhadap prestasi dan semangat belajar saya. 

“Bapak sama Ibu Mbak Rinda pasti sangat bangga. Mbak Rinda juga harus rajin belajarnya!” ini adalah ungkapan yang paling sering diucapkan oleh Pak Ari.

“Jangan lupa sama Bapak kalau nanti sudah pulang ke Lampung. Kalau Mbak Rinda menikah, Bapak dikabari, “ katanya ketika saya bilang baru selesai ujian tesis.

“Bapak bangga sekali lho dengan Mbak Rinda. Teman Mbak Rinda yang dari Kalimantan sudah lulus duluan, ya? Nggak apa-apa, kelulusan itu seperti jodoh, datang di waktu yang tepat, bukan sekedar adu cepat,” wah... dia bahkan ingat teman-teman saya.
Saya merekomendasikan kepada orang lain

Sekali waktu, Pak Ari pernah mau memberi saya seekor kucing persia yang baru saja lahir. Induknya didapat Pak Ari dari seorang pelanggan yang sudah pulang kampung ke daerah asalnya. Keluarga Pak Ari merawat kucing tersebut hingga bertumbuhkembang. Pak Ari juga kerap mengajak saya bersilaturahmi dengan istrinya, sekedar melihat-lihat binatang-binatang peliharaannya atau sekedar mampir karena rumahnya tak jauh dari Stasiun Tugu, lokasi pick up point saya beberapa kali.

Kekeluargaan dan keramahtamahan adalah ciri khas mass market yang paling lekat dalam benak. Kesan akrab seperti itulah yang membuat saya merekomendasikan Pak Ari kepada teman-teman saya. Semoga Pak Ari yang sekarang sudah bisa mengoperasikan smartphone lebih lancar lagi usahanya. Menjadi contoh bagi para penyedia jasa lainnya, lebih berkah rezekinya dan senantiasa sehat. Terimakasih untuk jasa Bapak selama ini! Terimakasih Bapak-Ibu penjual makanan, sayuran, buah-buahan, Mas fotokopi, Mamang rental dan print, Mbak laundry, dan semuanya yang tak dapat saya sebutkan satu per satu. Terimakasih!

8 comments

  1. Yeiy aku suka deh sama tulisanya. Saya juga Sering bertemu sama orang2 seperti Pak Ari. Meskipun egk seakrab Pak Ari dan Mb Rinda, hehehe.

    ReplyDelete
  2. Iya ya mak, mass market memang lebih terasa kekeluargaannya daripada modern market yang lebih individual..

    ReplyDelete
  3. Wah, asyik ya punya sopir pribadi yang bisa di call kapan aja. Sukses lomba ya mak

    ReplyDelete
    Replies
    1. hihi... sampe bikin oranglain cemburu yaaa maakkk :D

      Delete
  4. wah..salut deh..bisa sampai detail ceritanya..

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<