Lampung Belajar: Menjual Lampung Lewat Fotografi



Judulnya ambigu, ya? Apapun deskripsi yang kalian simpulkan ya begitulah kira-kira maknanya.

Menurut saya, "Menjual Lampung" kurang lebih maknanya sama dengan mempromosikan Lampung supaya orang-orang dari luar Lampung menjadi tertarik untuk datang. Ujung-ujungnya sih ada imbasnya juga dengan uang, sepertihalnya dengan kita menjual barang. Uang bagi pengelola wisata, misalnya. Uang bagi penyedia sarana transportasi juga bisa. Nah, kalau konteksnya adalah "menjual lewat fotografi" tentunya bisa mendatangkan rejeki juga buat pemilik fotonya.

Sore tadi, Sabtu (30/01/2016) saya untuk pertama kalinya ikut aktivitas @LampungBelajar. Jadi ini semacam event gratisan yang tujuannya agar baik fasilitator maupun peserta yang hadir sama-sama belajar. Sharing is caring gitu deh.

Menurut @MasTeguh (saya pikir beliau adalah focal point @LampungBelajar), kegiatan ini tercetus karena melihat fenomena menarik yang terjadi di media sosial. Masyarakat sekarang mulai gandrung mengeksplorasi Lampung dan menyebarkannya ke media sosial. @LampungBelajar sebenarnya sudah ada sejak tiga tahun lalu, tapi sempat vakum beberapa bulan terakhir. Sebelumnya kegiatan digelar di kafe-kafe hingga akhirnya tahun 2015 bisa bekerjasama dengan Tribun Lampung jadi bisa pakai meeting room-nya.

Kegiatan sharing kali ini dimentori oleh Om @YopieFranz yang punya @kelilinglampung. Sepertinya nggak ada lagi yang meragukan hasil jepretan fotografer andal ini. Menurut pengakuannya, Om Yo sudah mainan kamera sejak 1993. Hah? Itu saya aja belum sekolah!!! Dan beliau sudah pernah tinggal di Jakarta selama dua tahun, lanjut ke Aceh dalam kurun (2005-2009), sampai kembali lagi ke Lampung pada 2010. Dan butuh waktu empat tahun agar Om Yo bisa dapat endorsement! Keburu lelah kedodoran kalo saya mau ngejar jumlah follower sama achievement-nya, Yaaaaa...haha.
Penyampaian materi oleh Om Yopie (foto: @LampungBelajar)

Awalnya @kelilinglampung adalah project pribadi untuk menuntaskan ambisinya mengelilingi Lampung. Diawali dengan menggandeng 25 mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Lampung, Om Yo memulai ekspedisinya di Lampung Barat. Dilanjutkan dengan berbagai kegiatan lainnya dengan dukungan para pecinta fotografi hingga akhirnya beliau memperoleh kepercayaan sekaligus berjaya di panggung promosi daerah seperti sekarang.

Apa sih yang difoto?

Menurut Om Yo, yang layak kita foto lalu kita sebarkan adalah subjek unik untuk dijual. Bukan objek. Meskipun pada saat pengambilan gambar 'dia' adalah objek,   tapi ketika sudah berbentuk 'produk foto' menjadi subjek. Subjek ini bisa berupa lanskap, arsitektur, aktivitas manusia, cara berpakaian, hingga makanan. Apapun yang unik dan antimainstream kan memang lebih mencolok dan 'menjual', ya?!

Perkembangan media sosial

Bisa dicek berapa banyak postingan di media sosial yang menggunakan tagar #kelilinglampung, #lampunginsta atau #wonderfulindonesia? Mereka bukan saja fotografer sekaliber Om Yopie Pangkey, atau travel selebblog semacam @duniaindra, tapi faktanya adalah bahwa mereka termasuk saya juga 'menjual' pariwisata!

Baca juga: Tentang Pariwisata

Fenomena inilah yang mendasari pentingnya kegiatan @LampungBelajar kali ini. Fenomena bahwa hampir semua orang (yang tidak gagap teknologi) menggunakan henpon berkamera, dan senang membagikan hasil fotonya ke media sosial. Ada hubungan antara media sosial, dalam hal ini fotografi dengan pariwisata seperti dipaparkan oleh Om Yo,
1. Merekam dan mengabadikan kenangan
2. Alat promosi produk wisata
3. Dimensi baru dalam industri pariwisata

Catatan yang nggak kalah penting adalah bahwa foto tidak selama mampu mengungkapkan seribu bahasa. Untuk itu, foto harus selalu diberi caption yang mewakili 5W+1H. Masih ingat tentang pentingnya what, when, where, who, why dan how, kan? Mr. Ali menambahkan contoh gambar di The Jakarta Post (23/01/2016) berjudul Lost In Lampung yang bisa jadi acuan menulis caption 5W1H.

So, Travel Photographer or Travel Blogger?

Jangan keburu-buru memutuskan jati diri deh. Tulisan seorang travel blogger, saya yakin nggak akan berdampak banyak tanpa adanya foto. Iya, enggak? Udah cuap-cuap kalo Pulau Pisang itu keren, sumber dayanya melimpah, masyarakatnya ramah-ramah, bahasanya mendayu-dayu dan sebagainya percuma aja kalau nggak disertai dengan foto. Kata Om Yopie, siapapun yang suka motret, mau dia motret pakai apapun kalau dia proudly mengakui dirinya sebegai fotografer ya biarkan aja. Tapi kalau saya sih mending manfaatin status pinjam-pakai foto orang untuk memperkaya maksud tulisan di blog sih daripada memaksakan memajang foto pakai henpon cumplung plus gaptek. :D

Untuk itu, biar nggak over convidence ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan sebelum memutuskan status sebagai fotografer atau blogger:

1. Tangguh
Ha - love this! {thefamilyflavorblog.blogspot.com} @Jamie Wise Duffin:
Foto: Pinterest
Saya sepakat banget bahwa terkadang kita menghadapi proses yang nggak mudah untuk bisa mendapatkan sebuah foto  yang bagus. Meski penilaian 'bagus' adalah relatif, tapi untuk mengatakan bahwa foto itu jelek kurang layak adalah mutlak. Dan parahnya, orang nggak akan melihat prosesnya. Di sini proses panjang, menyakitkan, melelahkan sampai berdarah-darah nggak akan berarti apa-apa kalau fotonya nggak mempunyai keunikan.

Baca juga: Pesona Pantai di Selatan Jogja

Masa iya, setiap orang yang melihat foto seekor gagak yang nangkring di atas kincir air yang saya capture di gunung harus juga diceritain bahwa saya harus naik ojeg motor trail dulu untuk sampai ke sana. Ongkosnya lima puluh ribu. Bersama saya ada salah satu kepala dinas yang mukanya pucat pasi karena nyaris nyebur ke jurang karena motornya oleng di tanjakan 45 derajat en de brew... en de brew... demi penghargaan terhadap jerih payah saya.

2. Toleran
Nah, poin ini nih yang paling ingin saya tekankan. Benar kata Om Yo, bahwa semakin kita jauh masuk ke daerah tertentu kita akan semakin mendapati karakter orang  yang bermacam-macam. Beliau menceritakan pengalamannya berada di 'kampung begal' Lampung Timur. Di sana Om Yo berhadapan dengan seorang preman beristri delapan yang justru kemudian menjadi kawan. Kemudian ketika di Aceh, Om Yo tetap bertahan karena beliau selalu menjunjung tinggi kebiasaan setempat. Dimana bumi dipijak, di situ langit dijunjung.

Nggak sedikit traveler yang justru pamer dan pongah. Alih-alih menghasilkan gambar dan tulisan yang membawa dampak positif, kita justru kena palak atau minimalnya nggak dilayani oleh penduduk setempat. LOL.

3. Fleksibel
Ini masih juga terkait dengan poin kedua, sih menurut saya. Menjadi pribadi yang fleksibel secara sudut pandang bisa memudahkan kita bertahan dimanapun. Fleksibel dalam hal sudut pandang akan membuat diri kita gampang bergaul sehingga mudah diterima oleh masyarakat lokal.

Selain itu, kita juga harus fleksibel dalam hal waktu. Sehingga kita bisa kapanpun ada kesempatan untuk pergi mengeksplorasi suatu wilayah. Dengan demikian akan semakin banyak peluang untuk kita menyambut ajakan berbagai pihak. Yang penting siap kapan pun mengangkat ransel dan kamera, nggak perlu bawa banyak-banyak gincu.

So, setelah mempertimbangkan ketiga hal tersebut, sudah yakin mengaku sebagai travel photographer profesional?

Pesertanya serius semua macam menghadapi dosen killer (foto: @Lampungbelajar)

Kalo saya sih be my self aja. Nikmati prosesnya asal nggak kelewat santai aja. Yang penting terus berusaha untuk sharing gambar-gambar yang baik dan content-content blog yang positif juga. Masalah keuntungan material, itu sih jadi dampak aja. Dampak dari kerja keras dan berkarya dengan hati. Tsaaahhh... bahasa gue! We can't please everyone, so cukup kita memberikan yang terbaik dan biarkan dunia menilainya.

Mengenai foto juga gitu, nggak perlu kita berusaha menghasilkan foto yang menurut semua orang bagus. Cukup dinilai bagus oleh orang-orang sekitar kita dulu. Alam mengamini usaha keras dari makhluk pekerja keras seperti kita kok.

Kata Om Yo, keindahan dan kepuasan itu subjektif dalam 'menjual'. Bahkan nggak perlu juga memaksakan untuk beli kamera profesional yang bagus dan mihil. Cukup manfaatkan apa yang ada. Kenali karakternya. Semakin kenal maka semakin sayang eh, semakin mahir mengulik dan tahu kebutuhan kita yang sebenarnya itu apa. Kita butuh lensa yang gimana? Atau bahkan kita hanya perlu lensa makro karena hobi memotret makanan setiap makan pagi, siang dan malam. Kalo poin barusan benar, sepertinya harus mulai memikirkan untuk beli alas foto biar foto makannya ciamik ala-ala kompakers dan selebgram deh. Ciyus!

update:

Tribun Lampung cetak 31/01/2016 (foto: @kelilinglampung)

4 comments

  1. Jangan kapok ikut acara Lampung Belajar & sharing dari kita ya..

    have fun :)

    ReplyDelete
  2. Pernah beberapa kali nulis tentang tempat wisata di Lampung dan memberanikan diri mention akun @kelilinglampung meski foto di blog masih sekedarnya alhamdulillah diretweet, baek banget he he.

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<