Judul
Buku : Catatan Sang Mantan Jomblo 2 : Merajut
Kebahagiaan Pernikahan
ISBN : 9786021493939
Penulis
: Fathonah Fitrianti
Editor :
dr. Zulaehah Hidayati
Tipe :
Soft cover
Penerbit :
Yayasan Cinta (Cahaya Insan Pratama)
Terbit :
Cetakan Pertama Juni 2015
“Salah
satu konsep tasawuf, pernikahan itu dipandang proses untuk mengubah diri.
Ubahlah diri kita maka pasangan kita akan berubah, bukan sebaliknya. Jika fokus
kita mengubah pasangan, yang muncul adalah egonya. Pasangan kita adalah
refleksi dari diri kita. ketika pasangan ada masalah, bisa jadi itu pertanda
dalam diri kita ada yang perlu diubah.” – Suaminya Teh Ine.
Sinopsis
Mengucap janji setia dalam pernikahan tak jarang
berlandaskan harapan akan dimulainya hidup di antara bunga-bunga dan dipenuhi
madu. Tapi tidak sedikit pula mereka yang dulunya saling mencintai berubah jadi
saling menyakiti.
Perselisihan dalam rumah tangga sudah pasti menimbulkan
keburukan dalam berbagai sendi kehidupan. Apalagi jika sampai berpisah, karena
menikah bukan sekedar penyatuan dua insan. Melainkan penyatuan ego, kebutuhan,
dan harapan dari dua keluarga besar. Adakah sesuatu yang salah dalam pernikahan
yang karam?
Ine menulis buku ini sebagai pencegahan karamnya bahtera
rumah tangga. Rumah tangga yang awalnya dibangun dengan harapan dan bunga-bunga
cinta. Melanjutkan buku pertamanya, Catatan Sang Mantan Jomblo 1 - Menjemput
Jodoh Idaman Ine kembali menguatkan modal mental bagi para pembaca bukunya
melalui buku ini.
Mempertahankan
lebih sulit daripada sekedar meraih
Ya, setidaknya ungkapan fenomenal itu bukan saja berlaku
untuk urusan prestasi, tetapi juga untuk urusan asmara. Dalam buku setebal 127
halaman ini Teh Ine memaparkan sudut pandangnya yang mungkin berbeda dari
buku-buku sejenis lainnya. Buku-buku itu tentunya tetap harus dibaca sebagai
pelengkap wawasan kita. Karena Teh Ine pun mengakui bahwa dia bukanlah ahli
agama, bukan pula psikolog. Semua yang ditulisnya berdasarkan pengalaman
pribadi.
Teh Ine merangkum fenomena yang kerap terjadi dalam
kehidupan berumahtangga dalam 15 bab di buku ini. Diawali dengan bab Merawat
Cinta dan kebahagiaan, dilanjutkan dengan Pria dan wanita Berbeda, So What?,
Langkah Sederhana Membahagiakan Istri, Langkah Sederhana Membahagiakan Suami,
Karena Wanita Ingin Dimengerti, Pria Juga Perlu Dimengerti, Bersabar dalam
Kehidupan Pernikahan, Mendengarkan, Langkah Awal Membangun Komunikasi dengan
Pasangan, Istriku Tiba-tiba Nangis dan Marah. What Should I do?, Akar Masalah,
Diamnya Pria Belum Tentu Tanda Marah. Kita ini Pasangan yang “Menyejukkan Hati”
atau “Mengesalkan Hati”, Emosi dan Cara Berkomunikasi, Memilih Ber”amal” atau
Mengikuti Ego, dan diakhiri dengan bab “Menjaga” Pasangan.
Menurut saya, buku ini sangat baik dibaca dan diamalkan oleh
semua orang, tanpa kecuali.
Saya pikir apa-apa yang dipaparkan Teh Ine
merupakan teknik berkomunikasi dan menjaga hubungan baik dengan pasangan.
Pasangan apapun. Pasangan bisnis, pasangan kerja kelompok, pasangan politik,
bukan sekedar pasangan suami istri. Setiap ‘pasangan’ yang saya maksud di atas
butuh untuk saling mengungkapkan keinginan, harapan, pemikiran, atau sekedar
mengekspresikan emosi senang, sedih,atau bahkan marah.
Kalau sudah baca buku ini sih pasti nggak
akan ada lagi yang update status “nyalahkeun saha? Da urang nu salah” sebagai ungkapan
kekecewaan dan salah paham akibat pola komunikasi yang salah.
Seperti dikatakan dalam buku ini, ketika pasangan melakukan
hal yang menyebalkan/melukai hati sangat wajar bila kita cepat emosi. Tapi
bersabar bukan berarti berdiam diri. Tidak sedikit pasangan yang memutuskan
untuk berpisah setelah berpuluh-puluh tahun bersama karena tidak sehatnya
komunikasi di antara mereka. Kebanyakan dari mereka berdalih bahwa mereka sudah
sangat sabar dengan perilaku atau kondisi pasangannya yang dinilai kurang menyenangkan
di hati. Lalu apa pasangan bisa tahu kekurangan mereka hanya dengan kita
bersikap cuek, ngambek setiap saat, marah kepada anak. YAP! Lagi-lagi anak yang
jadi korban.
“Menahan uneg-uneg tanpa mengomunikasikan dan menyelesaikan
masalahnya hanya akan membuat hati kita menjadi sensitif dan mudah marah, lebih
parah lagi ini menjadi seperti bom waktu yang bisa meledak kapan saja”- hal. 55
So, sebelum semua itu terjadi, bahkan sebelum saya membina
rumahtangga sudah sepantasnya saya pun memantaskan diri. Mempersiapkan diri
baik fisik, mental, maupun material agar saya pun dapat merajut kebahagiaan
pernikahan, mencapai tujuan mulia dari pernikahan itu sendiri.
Pada halaman 59 disampaikan bahwa setelah menikah berarti
kita siap menerima pasangan dan menyukuri apa-apa yang terdapat dalam diri
pasangan kita. Karakter, pemikiran, kebiasaan semua itu dipengaruhi oleh
pendidikan dan pembiasaan keluarga, lingkungan, pengalaman, dan ilmu. Maka saya
pun berusaha untuk selalu menyampaikan segala perbedaan yang sekiranya sulit
untuk saya toleransi dari calon suami. Kami mendiskusikannya, dan berusaha
menemukan jalan tengah dan solusi agar terhindar dari keraguan dan
ketidaknyamanan. Lagi-lagi, kuncinya adalah komunikasi.
Kelebihan buku ini adalah penuturan yang lugas dan tegas
dalam setiap poin-poin yang ingin disampaikan oleh penulis. Disertai dengan
tabel-tabel berisi contoh skenario yang mungkin terjadi dan poin-poin inti yang
ditulis sangat menonjol sehingga lebih mudah untuk dimengerti.
Sayangnya, ada beberapa hal yang ‘nampak’ diulang-ulang
meski dengan pemilihan kata dan kalimat yang berbeda. Alih-alih mempertegas
makna, saya justru merasa bosan karena lagi-lagi terjadi pengulangan. Dalam
buku ini juga terdapat beberapa gambar yang diambil dari internet. Teh Ine
tidak menyebutkan sumbernya. Saya pikir alangkah lebih baiknya jika gambar yang
digunakan lebih mewakili kondisi hidup berpasangan yang sering terjadi di
Indonesia. Apalagi jika gambar tersebut diambil dari foto asli. Infografis juga
pasti akan membuat buku ini lebih menarik dan enak dibaca. Shortly, untuk
urusan penyajian dan penjilidan saya lebih suka buku sebelumnya.
No comments
Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<