Bookworm Is Always Sexy



A: “Apa sih hobi kamu?”


B: “Baca!”

A: “Ih nerd gitu nggak sih orang yang suka baca?”


Guys, sepertinya Si A perlu dilempar ke antariksa, deh! Orang suka baca dibilang nerd? Kalau alasannya karena orang suka baca kebanyakan berkacamata tebal, atau sering bawa buku setumpuk ya itu sih hak dia. Dan tanpa disadari, anggapan semacam itu juga yang membuat sebagian kecil orang enggan mengakui bahwa dirinya adalah seorang bookworm. Kutu buku.

Padahal sama sekali tidak perluk hawatir untuk diklaim sebagai orang yang introvert, atau bahkan aneh karena kita adalah seorang bokworm. Justru saya pikir bookworm adalah orang-orang yang pacarin-able, temenin-able, dan ngobrol-able. Bookworm yang saya tahu adalah orang-orang hebat yang supel, cerdas, hangat, dan selalu nyambung dengan obrolan macam apapun.


Sayangnya, tidak  banyak orang yang memperingati 17 Mei sebagai Hari Buku Nasional yang memang tak setenar Hari Pendidikan Nasional setiap 2 Mei. Mengutip informasi dari Majalah Kartini, data dari Early Grade Reading Assesment (EGRA) USAID pada tahun 2014 bahwa pemahaman membaca terendah terdapat wilayah Maluku, Nusa Tenggara dan Papua sebesar 46 persen. Sedangkan di wilayah Jawa dan Bali mencakup 78 persen, Sumatera 69 persen dan Kalimantan-Sulawesi sebesar 60 persen.

Sedangkan, data dari UNESCO pada tahun 2011 menyatakan bahwa indeks baca di Indonesia hanya 0,001 persen. Artinya, dari seribu penduduk hanya terdapat satu orang yang gemar membaca. Menyedihkan. Menurut saya, itu bukan hanya disebabkan oleh kemalasan orang Indonesia dalam membaca dan ketidakmampuan membeli buku secara ekonomi. Lebih dari itu,  faktor buku dan aktivitas yang terkait dengannya, seperti membaca dan menulis, tidak begitu populer di kalangan masyarakat Indonesia.

Buku Harus Masuk Desa

Sebuah pengalaman menyakitkan dialami oleh Kak Jainar Berliana. Seorang penulis dan philantrophist yang kecanduan mengunjungi sekolah-sekolah untuk menebarkan inspirasi. Begini ceritanya ketika Kak J berkunjung ke sebuah sekolah di pelosok desa di Kebumen:

“Saya selalu berpikir, ngga apa2 kalau ada orang yang ngga suka baca buku. Kan hobi orang boleh beda2. Tapi kali ini lain. Saya baru aja bertemu dengan sekitar 80-an anak2 di desa Triwarno, Kebumen.


Ketika saya tanya, "Ada yang suka membaca?" Serempak jawabannya, "Tidaaaaakkkkkk....!"

Sedih banget.

Tapi saya kok curiga, mereka bukan tidak suka membaca. Sepertinya mereka itu tidak mengenal buku, tidak pernah ketemu dengan buku yang asyik, tidak pernah terjebak oleh buku bagus sampai nggak mau berhenti membaca

Pasti ada di antara mereka yang akan berkata "Saya suka membaca!" jika mereka diperkenalkan dengan buku. Buktinya, ketika saya perlihatkan buku2 anak yang bergambar, mereka antusias. Ketika saya bacakan cerita, mereka minta tambah.

Buku, HARUS MASUK DESA!”


Banyaknya relawan yang membangun taman-taman bacaan di desa memang patut diacungi jempol. Patut ditiru dan lestarikan. Berbeda dengan masa kecil saya dulu. Tinggal di desa dan kesulitan ekonomi membuat saya bergantung pada buku dan majalah bekas dari sepupu yang tinggal di kota. Belum ada relawan semacam itu, bahkan sampai sekarang pun belum ada perpustakaan di desa saya.

Saya pernah menggelar giveaway #BingkisanCintaBaca bersama Vitobuku guna mencari tahu metode yang dilakukan oleh para peserta dalam meningkatkan minat baca orang-orang di sekitarnya. Saya juga tengah mengumpulkan buku-buku untuk Rumah Baca Mandiri di beberapa desa di daerah dampingan di Lampung. Saya tidak ingin potensi emas anak-anak di desa terkurung dalam keterbatasan ekonomi dan infrastuktur sehingga ilmu pengetahuan sulit menggapai mereka. 

Bersama buku, kopi dan kamu di Kedai Warisan Kopi
Di sana target saya adalah para petani dan anak-anak. So, saya akan mengajukan diri sebagai penerima buku-buku hibah dari Stiletto Book untuk communities based coffee shop saya kelak, bukan untuk taman bacaan di desa. Semoga Stiletto sebagai Penerbit Buku Perempuan berbaik hati kepada saya ;)

Literasi yang Tergencencet Teknologi

Para tetua kita adalah para pembicara ulung. Hobinya mendongeng dan bercerita secara lisan. Ketika budaya itu belum sempat kita tambatkan dalam suatu pembinaan literasi, masyarakat Indonesia sudah terlena dengan teknologi. Anak-anak lebih sering memegang gadget daripada buku. Meski gadget-nya berisi aplikasi Ijak, tapi boleh ditengok berapa memori gadget-nya  yang terpakai untuk games? Berapa banyak kuota dibutuhkan anak-anak untuk browsing lain-lain atau sekedar haha hihi di media sosial?

Dari suatu sumber yang pernah saya baca, bahwa tingkat literasi Indonesia adalah 93 persen. Hal itu diungkapkan oleh Goenawan Mohamad, Ketua Komite Nasional Frankfurt Book Fair 2015. Karena tingginya tingkat literasi inilah, Indonesia bisa menjadi tamu kehormatan di Frankfurt Book Fair 2015 meski belum diimbangi minat baca yang tinggi. mental bangsa kita belum sepenuhnya kuat.

Saya tidak menampik bahwa karya penulis-penulis Indonesia sangat bagus. Saya pun freak dengan karya dari beberapa penulis. Tidak heran jika profesi penulis dianggap keren dan menjanjikan. Komunitas penulis pun bertebaran, tapi tidak banyak penulis yang mempunyai pembaca setia yang selalu menantikan karya terbarunya. Seperti saya menantikan Intelegensi Embun Pagi-nya Dee Lestari misalnya.

You Are What You Read?

Tidak sedikit orang yang merasa keren karena terlihat membaca buku-buku Pramoedya Ananta Toer. Mampu berdebat dengan bahasa langit seperti tertulis dalam buku-buku yang dibacanya. Mampu berjalan angkuh dengan kaca mata setebal buku yang didekapnya.

Namun, bukan berarti orang yang bacaannya seringan kapas, otaknya juga ringan bahkan kosong. Diksi dan science rumit menurut saya tidak selalu enak untuk dibaca setiap waktu. Saya akan lebih suka membacanya dalam kondisi benar-benar santai, tidak dikejar deadline atau sekedar janji kopi darat. Saya akan membaca science fiction pada weekend saya yang tanpa agenda dan pekerjaan rumah.

Sementara saya akan membaca buku-buku Ika Natassa ketika saya bepergian sendirian. Bagaimana saya akan bosan dan mengumpat keterlambatan pesawat ketika saya sedang asyik tertawa dengan curhatan bodor Ale-Anya dalam Critical Eleven? 

Semua buku hadir dengan momennya masing-masing. Ada yang asyik dibaca saat ingin refresh, ada juga yang jika dibaca akan membuat kening kita berkerut. Penulis buku juga tidak bisa dikatakan sebagai profesi gampangan, guys! Apakah menurut teman-teman, seorang Nurilla dalam menulis The Marriage Roller Coaster hanya butuh letupan emosi dan kenangan-kenangan dalam up-and-down-nya sebuah pernikahan?

Belanja Buku itu Menyenangkan tapi Boros

Bila dibandingkan, saya lebih banyak belanja buku daripada belanja pakaian. Saya lebih rela tahan lapar demi memborong banyak buku di pameran Balai Kartini atau GOR UNY daripada mencoba cosmetic stuffs keluaran baru. Saya memilih nge-date di Togamas atau Shoping daripada jalan nggak jelas di Malioboro.

Semua itu pilihan. Saya memilih untuk menikmati hidup sebagai seorang bookworm, dan saya memilih buku sebagai teman setia dalam kesendirian saya di perantauan. Sampai-sampai Ibu melarang saya belanja buku lagi karena beasiswa saya yang sudah terputus sementara studi belum selesai. Sahabat saya geleng-geleng kepala ketika saya pinjam uang dengan dalih untuk makan seminggu ke depan padahal saya baru pulang dari pameran buku.

Faktanya buku tidak mahal. Ilmu yang ada di dalamnya yang sangat mahal tak ternilai. Kita bisa menabung sehari seribu untuk membeli novel Mbak Herlina P. Dewi yang ternyata waktu itu sedang didiskon besar-besaran. Saya rela browsing ke sana ke mari demi mencari orang yang BU (Butuh Uang) dan menjual buku koleksinya dengan harga murah.

Banyak cara untuk bisa membaca buku. Tapi meminjam buku adalah cara terakhir yang saya pilih. Saya sangat benci dengan orang yang tidak mengembalikan buku-buku saya setelah dia baca. Dia tidak menghargai buku, tidak menghargai saya, dan tidak simpati terhadap kesulitan-kesulitan saya dalam mendapatkan buku-buku itu. Padahal sejak kecil saya telah bercita-cita untuk menimbun buku bukan untuk diri saya sendiri.

Kecuali text book yang belum bisa saya beli atau bawa pulang dari perpustakaan, saya harus memiliki buku itu sendiri. Se-posesif itu virus bookworm dalam diri saya. Saya hanya yakin bahwa kelak saya akan butuh memperbarui memori saya terhadap pengetahuan dalam buku itu. Atau saya harus memperkaya diksi dan kosa kata dalam otak saya. Atau sekedar untuk ikut kuis berhadia buku di social media :D

Buku dan Kawan Baru

A:”Selain nge-blog, kamu juga suka baca, ya?”
B:”Suka banget! Kamu suka, nggak?”
A:”Suka juga, ih aku lagi nungguin Supernova keenam!” *super excited*
C:”Hah? Enam? Apa aja gitu?” *bengong*
B:*menyebutkan semua judul Supernova*
C:”Gilak! Bisa hafal banget gitu semua judul sama tahun terbitnya? Kok Bisa?” *pingsan*
(Catatan obrolan di sebuah kedai dengan kawan baru, Januari 2016)

Gambar: Pinterest
Seperti juga kedai kopi yang selalu punya ‘menu kawan baru’, saya selalu bisa mendapatkan kawan baru gara-gara buku. Entah karena melihat saya yang duduk di sampingnya yang sedang membaca buku, kemudian menyapa. Atau malah bertemu di grup-grup media sosial yang suka obral-obral buku bekas. Semua bisa jadi kawan yang asyik. Bersama mereka saya akan bertukar koleksi, rekomendasi, atau sekedar pamer bahwa saya punya target membaca tiga buku di luar text book dalam sebulan dan harus meresensi minimal salah satunya untuk blog saya.

Kawan-kawan pecinta buku akan selalu menambah ilmu karena mereka pasti akan sering-sering sharing pengetahuan. Di dalam diskusi maupun sekedar update status di media sosial dan berkomentar. Bookworm akan selalu haus dengan ilmu pengetahuan dan selalu menginginkan informasi terbarukan.

Saya selalu kagum dengan para pemimpin dunia, para penulis, para penemu, para sukarelawan, para guru, dan kawan-kawan saya yang senantiasa membawa perubahan dalam hidup saya dan orang banyak. Orang-orang ‘besar’ itu cerdas dan selalu seksi dengan gagasan-gasasan dan mimpi. Lantang dan lugas dalam public speaking. Good looking dalam pembawaan dan perilakunya.

Kawan-kawan saya juga seperti itu. Baik laki-laki maupun perempuan. Mereka sama-sama bookworm. Mereka semua suka membaca. Mereka tidak nerd, justru sangat seksi dengan ‘hidup’nya obrolan dari segala sisi. Tentang headline berita di koran nasional, sampai pertentangan antara sejarah di buku dan di sekolah. Di dalam obrolan ketika satu pihak dirasa kurang paham tentang hal ‘aneh’ yang dibicarakan, pihak lainnya akan memberikan insight dan informasi bergizi. Trully, bookworm is always sexy!

Nama lengkap: Rinda Gusvita
Akun media sosial: @vitarinda
Alamat email: rindavita@gmail.com

6 comments

  1. Bagus tulisannya mbaak!
    Yang masalah buku belum masuk desa itu ngena banget. Coba aja toko buku itu menjamurnya kayak warteg ya :')

    ReplyDelete
  2. Iyeees, sexy sekali yang sukaa bacaaa :)))

    ReplyDelete
  3. Hello salam kenal. Meninggalkan jejak kata telah bertandang disini. Rumah kata yg menyenangkan. Selamat berkata2 slalu

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<