Tentang Hajatan di Kampung Saya



Ini adalah jawaban sekaligus penjelasan terhadap status saya di Facebook yang menuai emosi beberapa orang. Saya akui, yang menggunakan bahasa sarkas seperti itu adalah alterego saya. Saya juga bingung, seharian saya terlalu baper dan sensitif. PMS, mungkin Pepy benar.

 Tapi no excuse ya untuk orang yang terlanjur berkata kasar di media sosial. Untuk itu saya minta maaf. Tapi saya nggak akan menarik ucapan saya meski itu membuat beberapa orang merasa nggak nyaman.



Pertama, saya berbicara tentang KAMPUNG SAYA. Begitulah kondisi di kampung saya. Bukan menjeneralisasi seluruh kampung. Kata kedua orangtua saya yang sudah terdampar di sini sejak tahun 1980-an, orang kampung sini memang ‘mengkal’. Sudah sering saya sebut dalam beberapa tulisan saya. Saya pikir ada yang salah dalam kehidupan bermasyarakat di kampung saya. Ada kebiasaan yang melenceng dari semangat awalnya.

Katanya, ini disebut gotong royong. Saya sangat sepakat dengan gotong royong jika pada tempatnya. Membangun rumah misalnya, membersihkan jalanan, saling mengunjungi dan membantu kalo ada kesusahan. Silaturahmi semampunya dan enggak lantas menghakimi orang yang nggak bisa datang, atau datang sesaat karena alasan tertentu dong.

Kedua, saya berbicara riil karena kondisi yang sedang menimpa saya adalah begitu adanya. Betul kata Pak Finish, status itu adalah letupan-letupan yang telah lama saya pendam.

Jadi ceritanya gini, kedua orangtua saya tadi malam pergi ke hajatan untuk bantu-bantu dan pulang sampai jam sepuluh malam. Padahal hari-H-nya adalah kesokan hari. Kondisi di rumah mati listrik dan kedua adik saya sedang dalam minggu ujian akhir semester. Ibu bilang, harus datang karena orangnya meminta begitu. Dan nggak bisa sebentar. Please deh, mungkin lain kali orang itu bisa saya kasih kalender supaya nggak nggelar hajatan pas weekdays.

Saya pikir mereka nggak perlu lagi pergi ke tempat hajatan itu. Tapi ternyata saya salah. Padahal Ibu sedang mengurus validasi something, dan Bapak juga sedang sibuk dengan urusannya. Pulang sekolah, mereka hanya sempat makan dan mandi. Adik-adik saya belum pulang. “Keburu ditanya dan dicari kok nggak nongol-nongol!” gitu kira-kira kata Ibu.

Beberapa waktu lalu, Ibu sempat sakit empat hari setelah bantu-bantu di hajatan. Meski cuma bertugas di meja prasmanan, tapi Ibu terus berdiri dan nggak ada yang menggantikan. Kalo saya jadi Ibu sih, udah saya tinggalin ajalah. Bodo amat.

Kedua orangtua saya mungkin cukup diperhitungkan. Jadi tu juga alasan seringnya ada hantaran makanan datang ke rumah atau sekedar kartu undangan. Terkadang orangnya juga nggak dikenal, atau nggak terlalu kenal. Kalo sekedar datang kondangan sih fine aja. Yang jadi soal adalah kalo orang itu nyuruh bantu-bantu. Udah gitu kalo di sini hajatannya itu sampe malem. Di undangannya ditulis “Pukul 10.WIB – selesai”  kalo jam 12 malem belum selesai ya lanjut. LOL.

Kata ibu sih belum tentu lima tahun sekali si A ini hajatan jadi ya bantu-bantulah. Betul, si A nggak lima tahun sekali, tapi si B, C, sampe Z? Kalo diakumulasi?

Jadi, saya berbicara begitu bukan karena saya udah jadi orang kota. Belum, saya bahkan belum pernah menetap tinggal di kota. Belum punya pekerjaan di kota juga. Belum punya apa-apa di kota. Jadi salah kalau ada yang menilai saya SOK KOTA! SOMBONG! Apa sih yang bisa disombongin dari remahan kece kayak saya ini?


Sangat salah dan dia sangat nggak paham saya tapi berani menilai saya. Saya memang lahir di kota. Lalu saya besar dan tinggal di kampung meski saya selalu liburan ke rumah saudara di kota. Saya juga nyaman tinggal di kampung, kecuali soal ke-KEPO-an orang-orangnya juga sinyal yang cuma datang dan pergi.

Ketiga, mengenai makanan yang saya sebut MAKANAN SAMPAH. Fine! Saya salah. Tapi ini sering saya ungkapkan di internal keluarga saya dan orang-orang terdekat saya untuk menyebut alasan kenapa saya kurus setelah merantau.

FYI, orang di kampung saya sering ngasih hantaran sebagai undangan hajatan. Sayangnya saya nggak sempat ngambil foto makanan itu. Jadi, bungkusan itu berisi nasi, ayam sepotong kecil, mi instan kecil satu bungkus, kadang juga ada kerupuk. Makanan itu dimasukkan ke dalam besek plastik terus dibungkus plastik.

Nasinya kerap keras. Kalau kata salah seorang profesor di kampus saya, namanya rasmuk. Beras remuk.  Paket lengkap makanan itu jadi jatah bebek, ayam dan ikan di kolam. Mi instannya kami simpan. Saya bingung kalau hantaran kayak gitu sampai datang bertumpuk-tumpuk. Dibuat nasi aking pun malah jamuran. Dan nggak sempat juga ngurusin nasi akingnya. Harus jemur dan sebagainya.

FYI, Ibu saya tuh udah repot banget di rumah. Ngurus semua pekerjaan rumah karena adik-adik saya berangkat pagi dan pulang sore dari sekolah.

Gitu juga dengan makanan yang disajikan di pesta. Nggak mau saya cerita, ya. Takut terlalu sarkas. Nggak semuanya begitu sih. Tapi bisa saya bilang mostly.

Saya beberapa kali ngantar Ibu kondangan jadi tau makanannya kayak apa. Yang pasti, kadang Ibu dapat oleh-oleh sepulang kondangan. Kalo yang pergi kondangan Bapak sih nggak pernah dikasih. Misalnya, nagasari atau kue pisang atau lambang sari. Keras. Dan udah pasti makanan itu berakhir dimana.

Ibu sering bilang dengan orang-orang dekat yang hajatan atau sekedar masak-masak, “masak sedikit nggak apa-apa, pas aja, yang penting enak. Nggak usah bikin banyak tapi buru-buru dan ngirit bahan!”

Keempat, hantaran makanan atau undangan itu sering disebut TONJOKAN. Entah darimana asal muasalnya. Kalau menurut saya sih, tonjokan buat yang menerima undangan karena itu berarti dia harus mengeluarkan uang untuk nyumbang. Bisa juga disebut ‘tamparan’ mungkin. As I said di status itu, orang senang-senang kok disumbang, kenapa?

Hajatan adalah penyakit di kampung karena orang yang diundang harus datang dengan amplop. Kasihan mereka harus berhutang. Memangkas jatah jajan anak-anaknya. Belum lagi terkadang besaran sumbangan ini bernilai tertentu. Misalnya, Rp. 30.000 sementara orang hanya punya uang Rp. 20.000. Sementara dia harus ngasih makan empat anak dan dua orangtuanya, belum lagi untuk suami-istri itu sendiri. Dia pusing. Mikir harus gali lubang yang mana lagi sementara yang lainnya belum ditambal. Apalagi ngeliat sepatu anaknya jebol. Duh, nangis dalam hati adek, Baaaanggg!

Ujung-ujungnya ngutang lagi dengan janji panenan. Jadi dibayarnya dengan berapa karung padi hasil panen. Padahal harga padinya kadang lebih besar daripada utangnya. Ada juga yang minjam uang dengan bos penjual padi. Kelak karena dia punya utang, harga padinya jadi beda dengan harga beli padi orang yang nggak punya utang. Jauh lebih murah. Ini rente, kan namanya?!

Faktanya, meski orang nggak mampu, orang-orang sering banget hajatan. Anaknya ada lima. Setelah nikahan anak kedua, khitanan anak keempat, setahun kemudian nikahan anak pertama, lima bulan kemudian selapanan cucu pertama. Setengah tahun kemudian, selapanan cucu kedua. Kasihan anak ketiga, orang udah bosan keleus mau kondangan ke rumah yang sama. -_____-

Orang-orang sering hajatan sampe ngutang-ngutang. So, harus balik modal mungkin, ya. Saya pikir daripada harus memaksakan diri menggelar hajatan kemudian stress mikirin bayar utang kan mending syukuran aja. Dampaknya ya gitu, soal hidangan jadi program pengencangan ikat pinggang.


Yes! Gitu ceritanya. Mungkin ini nggak cukup mewakili kronologis hajatan di kampung saya. Tapi saya pikir cukup memberi penjelasan untuk saya yang harus meletup-letup di media sosial. Saya nggak tau kondisi di kampung lain seperti apa. Terimakasih Pak Finish, orang paling bijak yang status Facebooknya selalu membuat saya mengangguk-angguk dan nggak bisa nyangkal.

Saya juga minta maaf kepada semua orang, ya.


10 comments

  1. ono opo to nduk, unek-unek yo unek-unek, ewodene ono sing komenter yo ra sah gelo lawong deweke yo unek-unek yo to hehehe

    ReplyDelete
  2. Sama kok mba tradisi dikampung saya juga kayak gitu...Tapi karena kita sudah sama-sama tahu ya it's OK aja sih...Mau sebagus apapun atau sejelek apapun acara hajatan tersebut tetep aja kok bisa jadi buah bibir, yang bagus mesti diomong "wah, gak heran lah kalau bagus budgetnya aja sekian/ emang dia tajir, dll", kl yg jelek "Ih kok gini bgt sih/ wah ngirit, dsb". Kalau saya sih woles ajalah, mungkin dari sononya uda begono tradisinya hehehe...Begitupun soal sumbang menyumbang dan bantu membantu...Yang penting ambil saja hikmahnya, cukup saya dan Tuhan yang tahu hehehe...

    Stay calm mba vita...Tetep semangat hihihi... :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya bener banget. haha... kasian banget orang yang hajatan, udah capek-capek tetep jadi celaan.

      Delete
  3. hai nona vita rindha yang dilahirkan dari kedua orang tua yang dulunya mungkin waktu nikahan ga hajatan,
    sebenernya setiap aktifitas mengandung sisi positif juga negatif,
    coba juga berpikir dari sudut pandang positif seperti silaturahmi misalnya,

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hoho... dulu kayaknya mereka makan-makan gitu, Dam sama keluarga aja.

      Delete
    2. request tulisan tentang sisi positif hajatan dunk mbak vita,
      ayolah,
      jangan biarkan kebencia berkuasa,

      Delete
    3. Baiklah Idam sahabatku yang paling ganteng sedunia, Baiklah! Tapi aku perlu riset dulu dan nunggu periode bulanannya udahan. Biar tulisannya objektif. Makasih banget yaaa Daaaammmmmm

      Delete
  4. Yang salah cuma satu, seburuk-buruk makanan, itu tetap rizki yg harus disyukuri, pun hanya sebagian yg bisa dimanfaatkan..
    Masalah hajatan, bukan hajatannya yg salah, tapi pola pikir yg menjadi terbalik-balik. Saya yakin dulu "menyumbang" bukanlah kewajiban, tetapi niatan untuk membantu. Sekarang terbalik, yg membuka amplop klo isinya dikit jadi bergunjing yg bukan². Padahal ia tidak tau masalah orang lain mungkin lebih berat dari sekedar urusan hajatan. Jadi, yg salah pola pikirnya, bukan hajatannya..

    Yang terakhir, dan ini perlu buat semua wanita (yg ini saya akan banyak dikecam wanita). JANGAN MEMBUAT TULISAN JIKA SEDANG PMS. Kalaupun terpaksa, kasih tag, "sedang PMS" biar yg baca maklum dan cuma senyum² aja. Inilah keajaiban PMS, katanya gak bisa dikendalikan, padahal kan tau klo lg PMS, jadi klo lg PMS, kasih warning. Kecuali yg Haid nya gak teratur.. Hehe..

    ReplyDelete
  5. Sekarang perasaannya gimana mbak? 🤭

    ReplyDelete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<