#FinishTheFight di Semua Kalangan!




Seorang rekan aktivis dari Sumatra Barat, Chaus, menyadari ada yang salah dengan payudara sebelah kanannya sejak SMA. Tapi selama itu dia menganggap remeh dan abai aja. Setelah dia bekerja dan banyak bergaul dengan kawan-kawan baru yang banyak mengangkat  isu kanker payudara pun dia tetap santai. Sampai setahun lalu dia merasa benjolan di payudaranya semakin besar. 

Akhirnya dia memeriksakan diri dan diketahui bahwa massa benjolan di payudaranya semakin besar. Diameternya sudah sekitar 4 cm atau sebesar telur ayam. Akhirnya dia disarankan untuk memeriksakan diri lebih lanjut. Nah, begitu dia memeriksakan diri ke salah satu rumah sakit di Padang, dia langsung dibuat depresi oleh dokter yang menanganinya.

“Ini belum tahu kanker atau tumor. Tapi yang jelas kamu harus dioperasi. Buat apa dipertahankan, toh udah kososng juga dalamnya,” begitu kira-kira vonis sang dokter.


Jahat banget, ya?! Ngomongnya nggak pake tedeng aling-aling atau pemilihan diksi yang bisa sedikit menenangkan pasiennya. Ujung-ujungnya Uni Chaus benar-benar depresi.
Terus dia disarankan untuk berobat kepada seorang dokter yang sudah mempelajari pengobatan herbal. Menurut cerita, ada temannya yang kena penyakit gondok, dioperasi, terus tumbuh lagi dan akhirnya sembuh setelah berobat ke tabib ini. Akhirnya Uni, begitu saya memanggilnya, pergi ke tabib tersebut, lalu disarankan untuk membeli ramuan seharga dua setengah juta!! 

Beruntung ramuan itu nggak ready stock, jadi Uni sempat pulang dan mendapat second opinion dari temannya yang emang orang farmasi. Uni kemudian disarankan untuk langsung memeriksakan diri ke RS Dharmais, Jakarta. 

Maka, berangkatlah dia ke Jakarta. Menurutnya, untuk ukuran rumah sakit sebesar itu, se-ramai, dan se-hectic itu, pelayanan di RS Dharmais masih terbilang jauh lebih manusiawi daripada di rumah sakit yang sebelumnya dia datangi. Dia tidak perlu pikir-pikir untuk berkonsultasi. Semuanya menjadi gamblang karena dokternya tidak menutup-nutupi informasi yang memang menjadi hak pasiennya. Tidak juga memberikan statement yang menohok sang pasien.

Dan yang paling menyenangkan ketika dia berada di sana adalah bahwa dia dia dilayani oleh tiga dokter perempuan dan seorang laboran. Setelah dilakukan biopsi, dia masih bertemu lagi dengan seorang dokter yang berbeda untuk menjelaskan  posisi dan kondisi penyakitnya. Tumor, kalo ganas atau terbukti itu adalah kanker akan ada tindakan tertentu yang berbeda-beda kemungkinannya. Tindakan yang akan diberikan bergantung pada usia pasien, status perkawinan, riwayat kesehatan, dan sebagainya. Jadi semua pasien yang dicurigai kanker tidak akan dierikan tindakan yang sama atau langsung diputuskan harus diapakan oleh dokter. 

Nah, untuk deteksi dini, ternyata ada beberapa pilihan. Semua bergantung pada usia dan kondisi si pasiennya. Karena Uni belum menikah dan belum berusia empat puluh tahun, maka dia disarankan untuk menempuh pemeriksaan biopsi. Kalau sudah lebih dari empat puluh tahun disarankan untuk dilakukan mamograph.

Selain pelayanan yang memuaskan, biaya yang dikeluarkan untuk deteksi dini kanker pun terbilang rendah. Di Dharmais, deteksi dini kanker biayanya Rp. 250.000, sudah ketemu tiga dokter, USG, sekaligus diberikan edukasi tentang penyakitnya. Untuk kanker serviks, harganya sedikit lebih mahal.

Setelah hasil USG keluar,  Uni lalu ketemu dokter ahli kanker. Dokter menyarankan untuk dilakukan tes berikutnya. Biopsi dan ... *something, saya lupa*, ada dua kali pemeriksaan gratis.  Uni memang harus beberapa kali bolak-balik ke Jakarta, tapi memang biaya berobatnya tidak terlalu banyak. Menurutnya, di RS Dharmais ada pelayanan yang bisa lebih eksklusif di lantai dua. Tidak perlu perlu menunggu antrian dokter dan segala fasilitas prima, tapi ya... ada harga ada kualitas.

Aktif Mencari Tahu Sebagai Solusi

Cerita tentang Uni Chaus hanyalah satu dari beberapa korban sel kanker yang ada di sekitar saya. Beruntung Uni Chaus diberikan kemampuan untuk deteksi dini dan pandai mencari second opinion, third, dan seterusnya. Dia tidak terpatok pada satu dokter yang menyarankan tindakan tertentu. 

Ada dua orang teman ibu saya yang menderita kanker payudara. Pada kedua orang tersebut telah dilakukan operasi pengangkatan payudara. Seorang diantaranya akhirnya meninggal karena memang informasi tentang kanker yang dia dapatkan hanya simpang siur. Seorang lagi sudah berkali-kali masuk rumah sakit. RUMAH SAKIT UMUM. Entah tindakan apa yang diberikan kepadanya.

Beberapa ibu dari teman-teman saya juga mati muda karena kanker payudara. Mereka pergi meninggalkan penyesalan dalam benak anak-anaknya yang sebenarnya telah mampu memberikan solusi atas sakit yang mereka derita. Anak  yang bahkan tidak sempat ditemani ibunya ketika diwisuda. 

Salah satu sumber informasi tentang kanker bisa juga didapat dari penderitanya. Mbak Indah merupakan salah satu cancer survivor yang terus aktif berkampanye, utamanya lewat media sosial. Mbak Indah Nuria Savitri adalah seorang blogger enerjik. Saya pernah bertemu di ajang kopdar blogger, mungkin dia lupa, tapi sosok inspiratifnya sangat lekat di benak saya. 

Di Jogja, saya mengenal Bu Janti Wignjopranoto, dia kini telah sembuh dari kanker leher rahim dan aktif sebagai praktisi gaya hidup sehat. Saya bahkan mengenalnya bukan lewat komunitas pangan, tapi lewat aktivitas latihan menari tradisional. See, informasi bisa kita dapat darimana saja. Bahkan cerita perjuangan orang lain pun bisa jadi inspirasi untuk hidup sehat dan long life.

Keterbatasan di Perdesaan

Padahal, kampanye tentang kanker payudara sudah ada dimana-mana. Hanya saja baru orang-orang yang dari kalangan tertentu saja yang bisa mengaksesnya. Misalnya kalangan terpelajar atau kalangan menengah ke atas. Bagi masyarakat di kampung saya, kanker payudara dan juga kanker lainnya adalah momok yang sudah jelas arahnya kemana. KEMATIAN. Belum pernah ada perempuan penderita kanker di kampung yang mampu bertahan. Kalangan bawah seperti mereka, memiliki keterbatasan pendidikan dan akses informasi. Jarak yang jauh dari fasilitas kesehatan yang mumpuni juga merupakan keterbatasan masyarakat desa.

Kanker payudara memang tak hanya diderita oleh perempuan, tapi nyatanya di sekitar saya korbannya adalah para perempuan. Katanya, makanan merupakan faktor penyebab yang paling besar peranannya dalam menimbulkan penyakit, termasuk kanker payudara. Bahkan Uni Chaus menjadi serius untuk berobat karena ia tahu bahwa Sumatera Barat merupakan daerah dengan penderita kanker tertinggi di Sumatera. Mungkin karena mereka banyak makan daging, rendang, dan gulai, ya?!

Penduduk di kampung saya kebanyakan berprofesi sebagai petani. Mereka tentu mengharapkan hasil panen yang baik, banyak, dan benghasilkan uang berlimpah. Lebih sulit bagi mereka untuk menerima petuah tentang pangan organik daripada sekedar Pola Hidup Bersih dan Sehat (PHBS). Tidak heran, makanan yang tersedia di kampung berasal dari hasil panen sendiri tapi justru residu pestisidanya yang cukup tinggi. Bertani organik lebih sulit daripada bertani dengan pola konvensional dengan melakukan penyemprotan dan pemupukan dengan dosis tinggi sesekali. Daripada petani harus menunggui tanamannya setiap waktu.

Dari rumah saya, untuk menuju Puskesmas rawat inap dibutuhkan waktu setengah jam dengan kondisi jalan sempit dan berlubang. Untuk menuju Rumah Sakit Umum Kabupaten dibutuhkan waktu 1,5 jam dan 3-4 jam untuk menuju Rumah Sakit Umum di Ibu Kota Provinsi. Tidak jarang memang, angka kematian pasien di kampung kami cukup tinggi. Ibu yang akan melahirkan pun beberapa waktu yang lalu sampai harus meninggal diperjalanan menuju Faskes di kabupaten.

Selain jarak, permasalahan yang klasik adalah petugas kesehatan yang kiprahnya hanya setengah-setengah. Bidan bahkan benar-benar hanya membantu persalinan normal tanpa bisa mendampingi pasiennya sejak persiapan kelahiran. Di Puskesmas, ibu saya pernah marah-marah karena perawat justru meninggalkan pasien yang baru datang untuk makan siang tanpa memberikan tindakan darurat atau setidaknya memanggil orang lain jika memang dia sudah kelaparan. Iya, mereka kelaparan ketika ada pasien, sebelumnya enggak. Jadi, jangankan memberikan edukasi dini, menjalankan tugasnya pun mereka (mungkin) setengah hati.

Kampanye Menyentuh Semua Kalangan

Desa saya mungkin baru salah satu contoh ‘mengkalnya’ pola pikir warga. Matang enggak, mentah juga enggak. Pola pikir seperti ini lebih sulit untuk dibentuk. Apalagi pembentukan pola hidup baru yang sadar akan pentingnya deteksi penyakit sejak dini dari yang semula nggak aware sama sekali kalau saya nggak ingin bilang mereka masa bodoh. Di tempat lain, mungkin nggak sedikit juga yang kondisinya lebih parah.

Ketika pengurus negara ini sampai ke pegawai-pegawainya sudah tidak mampu lagi diharapkan, pihak lain saya pikir bisa diandalkan. Urusan pemerentah mungkin terlalu banyak jika harus mengurusi sesuatu yang belum tentu terjadi apalagi yang nggak bisa jadi proyek untuk didanai negara. Seperti makin merebaknya penderita kanker ini.
Saya mengajak kawan-kawan untuk bertindak, memberikan pendampingan dan beramai-ramai menghimpun kekuatan untuk melakukan pencegahan dan bantuan kepada penderita. Adapun skenario yang mungkin bisa kita bangun antara lain;

Pertama, menggandeng komunitas dan lembaga perempuan yang sudah ada. Mereka harus melakukan pendampingan ke wilayah terdampak paling tinggi. Komunitas ini bisa sangat disengaja untuk di-hire untuk kampanye ini dengan pembiayaan dari lembaga funding atau sukarela.

Kedua, Memberikan edukasi nggak hanya sekali dua kali, tapi juga melakukan pendampingan kontinyu. Pendampingan ini bisa jadi merupakan irisan atau gabungan dari program-program pendampingan di perdesaan lainnya. Program keluarga harapan, CSR perusahaan, atau bahkan Kuliah Kerja Nyata. 

Ketiga, memanfaatkan segala macam media. Orang kampung nggak semuanya main media sosial. Kalaupun anak-anak mereka pengguna media sosial, mereka adalah tipe yang gampang sekali terpengaruh hoax dan berita dengan sumber nggak jelas. Kampanye lewat banner dan poster di beberap lokasi vital mungkin juga oke. So, solusinya memang berkampanye lewat media audio visual yang banyak diakses dan mampu dikontrol oleh para pihak. TELEVISI!!! 

Kalau untuk nonton tayangan serius tentang diskusi kanker payudara sih mungkin juga mereka OGAH! So, harus disisipkan edukasinya seperti misalnya Bank BJB mengampanyekan gemar menabung sekaligus promosi lewat tayangan Si Bolang, atau Pemerintah Bandung yang kampanye lewat Serial Preman Pensiun. Jadi bukan kampanye lewat penderita kanker yang terus meninggal di FTV atau bahkan yang dapat mukjizat tiba-tiba sembuh karena saling jatuh cinta sama dokter!

Media lain yang bisa ditempuh mungkin juga bisa lewat sekolah. Di kampung, sekolah masih dianggap sebagai hal yang ‘tinggi’. ILMU DARI SEKOLAH SUDAH PASTI BENAR. So, guru-guru harus menyisipkan kampanye tentang kanker ini seperti juga menyisipkan budi pekerti dan pendidikan lingkungan. Bisa juga lewat kegiatan semacam kelas inspirasi. Pelibatan orang tua murid juga penting, karena mereka sering nggak percaya dengan ucapan anaknya. Bahkan meresa digurui oleh anaknya. 

Jadi bukan hanya ada Jakarta Goes Pink saja, kelak harus ada gerakan serupa yang tak hanya menyentuh penduduk perkotaan yang gaul dan update informasi. Karena penduduk kota pun belum tentu melek informasi. So, untuk masalah ini solusinya adalah bahu membahu semua pihak. Pihak yang peduli untuk #FinishTheFight #AgainstCancer tentu saja.


http://www.indahnuria.com/2015/10/giveaways-kampanye-finishthefight.html

Disclaimer: tulisan ini adalah murni opini saya pribadi, maaf jika ada yang kurang berkenan.

4 comments

  1. Kakakku juga survivor tapi alhamdulillah sekarang dah "bersih"

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah. Kanker apa tuh, Mak? Dan sembuh dg cara apa?

      Delete
  2. terima kasih sudah ikutaaan ya mbaaa...pengalaman dan ceritanya banyak juga. Memang kita harus akui, kampanye dan informasi mengenai hal ini belum banyak tersebar atau menyentuh teman-teman di luar kota-kota besar. Yang di Jakarta aja ngg selalu semua juga mau perika mba ...btw, thanks for joining my #giveaways #finishthefight #gopink #pinktober #breastcancerawareness

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hallo, Mama Bo et Obi! Ayo kita kampanye lagiiiiii!!!

      Delete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<