Saya
dibesarkan di sebuah desa yang berjarak sekitar 20 km dari ibukota kabupaten. Sebenarnya
desa kami tidak terlalu terpencil. Bukan pula perbatasan negara. Desa kami
berada di bagian selatan Provinsi Lampung yang bisa ditempuh perjalanan darat
dan laut delapan jam saja dari Ibu Kota Jakarta.
Saya dan
ketiga adik saya sering mengutuki nasib, jadi semacam menolak takdir. Kami
sebenarnya nggak betah tinggal di sana. Alasannya adalah jauh dari mana-mana.
Saya pernah menulis curhatan tentang desa yang Tertindas, Berharap, dan Masih Menunggu. Kami sempat mau pindah, tapi dinas
orangtua kami sebagai guru yang nggak memungkinkan untuk kami pindah. So, kami harus terus bersabar. Toh tiap liburan kami pergi ke kota.
Dan ketika liburan inilah kami bisa 'melihat dunia'.
Di kampung,
kami hanya melihat orang-orang pergi ke sawah, ke pasar. Nggak ada angkot,
nggak ada becak, nggak ada mall apalagi bioskop. Tapi yang paling membuat kami stress adalah nggak ada sinyal.
Jadi dulu
sewaktu saya SMA, masih sedikit banget di kampung saya yang punya HP. Di rumah, Ibu dan Bapak nggak pakai HP, tapi semacam provider khusus daerah pelosok.
Saya sering di-bully teman dan
saudara dalam hal ini. Tapi orangtua selalu menguatkan kami. *lebay*
Bapak sampe beli
antena dan dipasang di sebuah tiang besi. Tingginya sekitar lima meter. Antena
ini berfungsi menangkap sinyal yang dihubungkan dengan kabel ke HP saya. Sayang
banget saya nggak punya dokumentasinya.
Seiring
kemajuan zaman, kami nggak pakai antena itu lagi. Capek juga sih. Tapi memang
sinyal sudah agak bagus (di luar rumah), meski masih sulit menembus dinding
beton. Orangtua saya lebih senang nelpon kalo pas lagi di sawah, atau di
sekolah. Sekolahnya juga dekat sawah. Mungkin pembaca membayangkan kehidupan
masa kecil kami mirip Si Bolang, ya?
Meski susah
sinyal, tapi kami sudah melek internet. Karena di rumah sulit untuk mengakses
internet, maka kami manfaatkan kesempatan liburan di rumah nenek dengan
berinternet ria. Orangtua kami memang selalu mengajarkan bahwa kemajuan zaman
adalah keniscayaan. Lewat buku-buku dan majalah bekas pun kami belajar untuk ‘melihat
dunia’ sekalipun lokasi kami seperti nggak kelihatan di peta.
Di rumah
sebenarnya kami juga punya modem. Cara pakainya unik. Modem ini harus digantung
di ventilasi jendela-pintu atau tempat yang paling tinggi yang masih mudah
dijangkau. Nah, modem ini lalu dihubungkan ke PC lewat sebuah kabel data.
Hebat, kan, Bapak saya nggak kehabisan akal! *proud*
"Berapa sih biaya untuk ngebangun tower (provider)? Bulan depan kita bikin tower Telkomsel di belakang rumah, ya! Lokasinya di pinggir kolam!" #BapakGueGayak
Digitalisasi Semua Lini
Manusia-manusia
yang kekinian sudah sibuk dengan dunia digital. Bahkan industri kreatif digital
Indonesia digadang-gadang bakal jadi leader
di dunia global. Sebut saja peluang pengembangan ekosistem digital yang
dikembangkan oleh PT Telekomunikasi Indonesia, Tbk (Telkom) seperti di Bandung (Bandung
Digital Valley), Yogyakarta (Jogya Digital Valley) dan Jakarta (Jakarta Digital
Valley).
Seperti
yang saya pernah baca juga di web Telkom bahwa, pemerintah menargetkan, hingga 2019, bakal ada 71% wilayah perkotaan atau 30%
populasi perkotaan yang dapat layanan internet supercepat, dengan kecepatan 20
Mbps. Sedangkan untuk wilayah perdesaan, BPI menargetkan 49% rumah tangga di
perdesaan atau 6% dari total populasinya bisa menikmati layanan broadband
dengan kecepatan 10 Mbps. Saya sih ngarep banget layanan ini bakal masuk ke
desa saya. Sebagai anak bangsa yang berbakti bagi desa, saya juga pengen dong
desa saya melek internet.
Seperti diungkapkan oleh Consumer Interface Management Telkom dalam agenda Consumer Service Supervision di Tickles Cafe senin lalu (18/5/2015), Bapak Edie Kurniawan, bahwa kemajuan internet di Indonesia dibangun oleh Telkom. Mulai dari pembangunan jaringan tulang punggung (backbone) berupa jaringan kabel serat optik yang menghubungkan pulau-pulau utama di seluruh Tanah Air, jaringan kabel serat optik ke rumah-rumah dan gedung-gedung perkantoran dan pemerintahan semua dilakukan oleh Telkom. Bahkan, Telkom terus membangun jaringan backbone yang menghubungkan Indonesia dengan luar negeri.
Kalau
wilayah perkotaan sudah difasilitasi layanan internet up to 100 Mbps dan 4G, maka saya cukup berharap pada rencana Telkom dan desa kami akan
melek internet lima tahun lagi. Katanya, rumah-rumah di Indonesia akan bisa
mengakses internet pada 2020 nanti. Menurut Pak Edie Kurniawan ketika dihubungi
via Whatsapp, dimana ada jaringan
telkomsel, maka optik bisa dilayani. Mereka menyebutnya fiber to the home thruu fiber to the mobile. Jadi kabel optik
‘dicuplikan’ dari rumah ke rumah. Wah, keren, yaaa... desa gue!!! *fail*
Internet Murah dan Mencerdaskan Paket
Komplit
Temuan menarik lainnya bagi saya dari web
Telkom adalah mengenai aktivitas Corporate
Social Responsibility (CSR) mereka. Demi turut membangun intektualitas
bangsa, mereka turut andil di bidang pendidikan lewat Telkom Foundation. Telkom
menjalankan CSR di bidang pendidikan ini demi melahirkan generasi masa depan
yang berpendidikan dan melek akan teknologi. Salah satu bentuk dukungan Telkom
untuk dunia pendidikan adalah mendukung pelaksanaan konsep pendidikan
terintegrasi atau yang dikenal dengan nama One
Pipe Education System (OPES), yang tengah intensif dilakukan oleh Telkom
Foundation. Benar saja tagline yang
berkali-kali diungkapkan oleh Pak Edie Kurniawan bahwa Telkom memegang teguh prinsip
the more you give, the more you get!
Beruntung
saya punya kesempatan ikut kumpul-kumpul bareng Telkom dan para blogger Jogja. Di
sana wawasan saya jadi terbuka. Jadi melek, deh. Awalnya saya memang
bercita-cita pasang Speedy. Tapi itu nanti, kalo saya udah lulus kuliah dan
tinggal di rumah sendiri, atau keluarga saya udah pindah ke kota. Tapi itu
realisasinya entah kapan!!! Selama saya masih jadi anak kos, ya saya bakal
terus merana, bergantung pada modem yang sinyalnya naik-turun kayak mood si empunya. Atau merelakan uang
jajan berkurang demi bisa akses internet cepat di warung kopi dan donat. Sampai
kapan?!
Meet up at Tickles Cafe Yogyakarta (foto: Mak Indah Juli) |
Nah,
sekarang saya jadi tau tentang Indihome. Produk unggulan dari Telkomsel yang
logonya kayak logo toko bahan bangunan. Hihi... ampuuun... emang gitu kenyataannya
:p Saya jadi kepincut pengen turut merasakan indehoynya Indihome ini.
Sebelumnya, HB pernah cerita kalo dia pengen langganan di Bandung sana.
Tapi ya namanya saya, se-skeptis-skeptisnya juga mentok di satu kata: MALES. Ya
abisnya HB nyuruh saya gugling sendiri tentang Indihome. Kayak yang nggak
paham aja dia tentang kualitas internet untuk rakyat yang saya pake ini.
Akhirnya saya coba-coba mengecek apakah
desa saya termasuk dalam jangkauan Telkom atau enggak. Caranya gampang banget,
bisa dicek di sini: fibermap.indihome.co.id.
Dan setelah saya cek di peta yang sebenarnya kurang jelas itu, saya bisa
melihat icon Indihome di sekitaran kecamatan dimana desa saya berada. Kemudian
saya mengajukan diri untuk berlangganan Indihome melalui www.indihome.co.id. Di sana saya
bisa langsung memilih paket yang saya inginkan. Karena sadar bahwa desa saya
nggak mungkin ada layanan fiber, saya pilih layanan internet di bawah 10 Mbps.
Saya langsung menerima email berisi biaya yang mereka kenakan kepada saya.
Biayanya Rp. 368.500 (termasuk PPN) untuk bulan pertama ditambah biaya sewa
alat Rp. 30.000/bulan.
Dan ini fast response banget. Saya daftar jam tujuh pagi, jam delapan udah
ditelpon aja dong sama pihak Telkom. Petugasnya juga belum tahu apakah desa
saya bisa dipasang layanan ini atau enggak. So,
mereka berjanji untuk menghubungkan kepada pihak Telkom Lampung biar
lengkap informasinya. Mereka juga memberikan informasi bahwa saya akan
dikenakan biaya pemasangan kabel. Ya ini sih resiko tinggal di kampung yang
belum tersentuh kemajuan zaman yaaaa...
Saya pengennya super duper ngiler buat berlangganan Indihome karena emang fasilitasnya komplit banget. Yang
paling saya ingat selain internetnya yang wuzz... wuzz adalah layanan triple play-nya. Itu loh, layanan Usee
TV cable, telpon, dan internet sekaligus. TV cable-nya ini udah lengkap dengan
teknologi IPTV. Jadi kita bisa berlangganan 99 channel pilihan kita sendiri dan siarannya bisa di-rewind hingga tujuh hari ke belakang. Asli
mupeng banget bagian ini. Kita jadi bisa menghindar dari paparan sinetron
abal-abal. Apalagi untuk anak-anak sekolah di kampung, ya. Jadi orangtua bisa
memantau siaran apa aja yang layak dan enggak buat anak-anaknya.
Screenshoot web Indihome (foto: dokumen pribadi) |
Salah seorang teman kuliah saya, Ratri, berlangganan Indihome di rumahnya. Meski masih pakai kabel optik dari tembaga, menurutnya kualitas internet Indihome lebih bagus daripada Speedy. Padahal Speedy juga udah bagus. Dia berlangganan Indihome karena dalam keluarganya juga sangat membutuhkan internet. Ibunya seorang mahasiswa doktoral dan dia sendiri mahasiswa master yang sama-sama sedang menyelesaikan tugas akhir tentu sangat butuh internet. Belum lagi kegandrungannya sama film dan drama Korea yang mengharuskan dia untuk mendownload atau streaming video berkualitas HD. Dia bisa mendapatkan semua itu dengan hanya membayar Rp. 200.000-an dalam sebulan untuk 2 Mbps, telpon murah hingga gratis, sampai garansi mendapatkan update gosip terkini dari infotainmen.
“Enak banget, Nda, pake Indihome. Jadi kalo aku bangun kesiangan, aku bisa tetep nonton Insert Pagi. Atau kalo aku udah ngantuk, bisa tidur, dan besoknya nonton siaran yang malam sebelumnya,” kata Ratri (30/5/2015).
Layanan internet Indihome juga bisa diatur. Jadi nggak perlu khawatir anak-anak mengakses informasi yang aneh-aneh. Jadi menurut Ratri, banyak situs-situs yang sepertinya memang diblokir oleh Telkom. Apalagi dengan anti virus trend micro yang bikin gadget kita aman nyaman sentosa lancar jaya. Kalo soal gangguan sih emang ada. Tapi ya nggak sesering itu juga. Dan menurut Ratri, ketika dia telpon 147 untuk melaporkan gangguan, responnya selalu cepat. Pelanggan juga bisa berinteraksi lewat Twitter @TelkomCare untuk keluhan pelanggan.
Fasilitas
telpon rumah lokal dan interlokal yang murah banget juga bisa bikin irit
pengeluaran. Ada layanan nelpon sepuasnya ke nomor telkomsel cuma dengan
Rp. 68.000 sebulan. Bisa ngobrol sampa jontor. Hahaha... kalo sekarang sih
biaya pulsa telpon saya sebulan bisa Rp. 300.000-an. Belum termasuk biaya
internet. Udah gitu bisa juga dapet layanan Seamless
pakai wifi.id di tempat-tempat umum dengan Rp. 10.000 aja. Ada juga layanan
streaming music sepuasnya di
melon.co.id selama setahun. Wah, ini bakal mendukung gerakan anti pembajakan
karya anak bangsa, nih. Di desa saya juga banyak yang kerja sebagai buruh
migrant. Mereka tentu butuh layanan global
call dengan biaya murah.
Kalo
angan-angan saya sih, someday Telkom
bisa nyediain fasilitas download gratis
unlimited jurnal-jurnal publikasi
internasional. Karena kalo sekarang untuk akses jurnal gratis cuma bisa lewat
wifi kampus yang lemotnya melebihi siput yang lagi jalan sambil ngerumpi. Kalo mau
beli, satu jurnal yang tadi malam saya butuhkan aja dihargai $35,90. Bisa nggak
makan anak kos macam saya...! *devillaugh*
Semoga pas
saya pulang nanti, Bapak meng-approve tawaran
saya untuk langganan Indihome di rumah. Dan yang paling penting, Indihome-nya
bersedia dipasang di rumah saya. Kalo Bapak udah tandatangan surat ACC (Ayah Cudah Cetuju) tapi kalo Telkomnya enggak mau, sama aja bohong. Biar saya
bisa tetep blogging sambil update informasi dunia dalam berita
(bukan dalam gosip) kalo pas pulang. Adik-adik saya bisa melek wawasannya juga
untuk berburu beasiswa. Dan Bapak Ibu bisa lebih gampang menyusun rencana
pembelajaran dan kebutuhan sekolah lainnya. Ibu juga bisa update info dunia masak-memasak biar hidup kami juga lebih
berwarna. Selain keluarga yang bakal tercerdaskan oleh internet, kita juga bisa punya rumah cerdas. Dengan layanan otomatisasi rumah dari Telkom kita bisa banget ngontrol rumah dari jauh dan semuanya jadi mudah. Ah, indahnyaaa kalau dunia udah ditangan kita.
So, kapan desa saya melek internet?
So, kapan desa saya melek internet?
Referensi:
tis biaya setting
Pelanggan akan dikenakan biaya sewa bulanan Set Top Box (STB) sesuai tipe yang dipilih.
Pelanggan akan dikenakan biaya sewa bulanan Set Top Box (STB) sesuai tipe yang dipilih.
Wah sama mbak, di desa saya juga masinh jaraaangg warnet. Apalagi rumah dengan instalasi internet...belum ada kayaknya.
ReplyDeleteHaha... Mak Riritinggal dimana?
Deleteklo sy pake firstmedia, mbak Rinda. Nanti ceritain dunk kalo pake indihome memuaskan ngga, mana tau saya ikut pindah ke indihome, hehehe :)
ReplyDeleteWah, itu juga belum masuk ke kampung saya deh kayaknya Mbak -_____-
ReplyDeleteSemoga indihome-nya di-ACC tuh :)
ReplyDeleteDi ACC oleh Bapak dan juga Telkom, ya, Om :D Aamiin yaa Rabb
Delete