Saya sering usil dengan kebiasan-kebiasaan buruk orang. Misalnya beberapa kawan yang hobi ngobrol dengan Bahasa Jawa kasar dan saling mengolok-olok. Saya tidak suka. Mereka tampak nakal dan jahat. Saya juga sering tidak suka dengan cara makan orang lain yang jorok. Apalagi makan di suatu temat yang prestisius meski tanpa table manner. Apalagi jika disertai dengan sendawa ketika sedang makan. Pengen saya lempar muka orang itu dengan sambel rasanya.
Cara menikmati secangkir teh dan kopi dengan disruput pun bagi saya itu sangat tidak layak. Menjijikan. Juga tentang cara makan sup langsung dari mangkoknya hingga mengeluarkan suara. Meski di negara tertentu bahkan itu jadi tradisi. Menurut orang lain, itulah cara mereka dalam menikmati sesuatu. Dengan begitu seolah lebih terasa nikmat tiada tara. Tapi saya tidak suka. Titik.
Salah satu bentuk kebebasan berekspresi |
Kemudian saya sadar bahwa saya sendiri sering membuat orang merasa tidak suka. Dengan sikap judes, jutek, dan mau menang sendiri yang selalu gagal saya bendung, misalnya. Dengan pembawaan saya yang manja yang hingga kini belum bisa bersikap dewasa. Dengan saya yang suka berbicara apa adanya tanpa tedeng aling-aling. Duh, alangkahhhh... berapa banyaknya orang yang tersakiti hatinya.
Kemudian saya mengotak-kotakan kebebasan berekspresi. Mencoba membuat pemakluman. Toh orang lain juga sering memaklumi saya. Selama saya masih bisa mengingatkan orang lain, akan saya lakukan. Tapi terkadang karakteristik orang begitu berbeda. Aa yang tidak suka saya mengritiknya. Ada juga yang cuek dan besok mengulangi kebiasaan yang sama.
Setiap orang punya cara untuk memuaskan
hasratnya. Mereka punya keinginan-keinganan yang tak boleh dibantah dan
tak berhak diejek oleh yang lainnya. Itulah kebebasan berekspresi.
Sepanjang tidak mengganggu orang lain, tidak membahayakan nyawa orang
lain, dan merusak hajat hidup orang banyak biarkan saja. Selama bukan menggeber motor dengan knalpot rongsok. Selama bukan kebut-kebutan dengan motor gede yang katanya sangat enggak banget kalau dibawa pelan.
yg jelas memang yg paling penting adalah kita bisa menjaga sopan santun diri kita ya...
ReplyDeleteParahnya, ada lho Mak yang nggak ngerti sopan santun, Karena sopan/enggak itu ukurannya beda2. apalagi ketika makan. Justru menganggap itu sebagai sikap 'cuek' yang lebih ke-enggak-sok-table-manner :D
DeleteAwwwww....saya dulu perfeksionis, tp sekarang jd longgar dan slow...eh lha kok anak saya bisa bisanya jd perfeksionis jg. Oot yah?
ReplyDeleteberarti gen carrier yang nurun, Mak :D
Delete