Bahagia Itu Sederhana

Ih, judulnya mainstream banget sih! Haha... anyway hari ini emang saya sangat bahagia. Ternyata memang benar bahwa untuk menemukan rasa bahagia cukup dengan bersyukur dan jiwa-raga akan terbiasa. 

Diawali dengan telpon HB yang sekaligus membangunkanku dari tidur setelah menelan dua butir Lelap, saya memutuskan untuk bahagia. Lalu Bapak juga mengirimkan SMS bernada serupa. Kemudian Pak Harno telpon dan kami bercengkrama penuh tawa. Oh, ya Pak Harno adalah kawan kental Bapak di masa lalu. Mereka udah nggak ketemu sejak 32 tahun lalu. Sejak Bapak masih bujang dan hobi bertualang, kata Pak Harno. 


Lalu HB memaksaku mencari makan sebelum bertemu dengan Emak-emak Blogger dalam #arisanilmu. Saya awali dengan belanja buah yang diniatkan memang untuk buah tangan. Bercengkrama dengan Umi penjual sayuran memang selalu menyenangkan. Lalu saya berjalan menyapa Mamang Penjual Gorengan. Dia membalas "Wilujeng siang, neng geulis..." sambil tertawa-tawa dengan maksud menyindir bahwa saat itu bukan pagi lagi. 

Lalu saya tiba di Warung Mbah Man. Warung andalan dengan pecel paling eat-able di seputaran Kerajaan Saya. Jangan salah, Pak Man ini belum layak di sebut 'Mbah' tapi entah kenapa dia begitu bangga dengan nama warung seperti itu. Rambut barunya yang army-look jadi senjata saya untuk menggoda. Dan selalu disambut kelakar sopan dari Pak Man dan istrinya, Bu Nah.


Waktu itu, sepulang kuliah yang cuma satu subyek, saya mampir ke warung ini. Saya belum sempat sarapan pagi harinya. Saya memilih tetap memarkirkan sepeda dan mengobrol dengan mereka daripada pulang di bawah iringan matahari.

Tidak seperti pedagang makanan kebanyakan di sekitar kerajaan saya yang berasal dari Gunung Kidul, Pak Man dan Bu Nah memang asli Jogja. Rumahnya di Jl. Gejayan atau Affandi. Umurnya sekitar 40-an akhir. Mereka sudah menikah sejak belasan tahun lalu.

Waktu itu, sering ada seorang anak laki-laki kecil berumur sekitar empat tahun. Masih agak cadel dan terus meminta perhatian. Saya pikir anak itu adalah cucu mereka. Atau paling tidak anak bungsunya. Tapi ternyata saya salah, anak itu adalah putra pertama mereka.

Belasan tahun pasangan ini hidup dengan penantian hadirnya seorang anak. Selama itu pula mereka tidak pernah berhenti memohon dan berusaha agar Tuhan memberikan kepercayaan. Berkali-kali bekerja sebagai buruh membuat mereka merasa hampa. Badan letih dan mereka saling kurang memberikan perhatian.

Akhirnya, mereka memutuskan untuk pasrah. Jika memang Tuhan menganggap mereka tidak layak untuk menjadi orang tua, mereka rela. Namun dari lubuk hati yang paling dalam mereka amat mendamba.

Pasangan ini merupakan salah satu pasangan favorit saya. Budi bahasa mereka santun, dengan bahasa halus yang tidak dibuat-buat. Sesekali mereka terlihat saling curhat dan bercanda. Sambil menyiapkan teh untuk pelanggannya, Pak Man terkadang bercerita apa saja. Mereka menggunakan Bahasa Jawa halus yang tampak begitu tulus. Terlihat dari bahasa tubuhnya pun mereka sangat menyayangi satu sama lain. Meski katanya hidupnya pas-pasan, namun mereka selalu bersyukur. Mereka selalu merasa beruntung hidup di antara orang-orang tersayang. Mereka bahagia dengan kebersamaan di warung pecel setiap harinya. Bahagia membuat pelanggannya puas dengan pelayanan ramah, rasa dan harga pas menu masakannya. Bahagia karena membuat orang lain merasa bahagia.

6 comments

  1. Co cwiiit...
    Membayangkan keluarga yg selalu berkumpul, istri tiap hari melihat wajah suaminya dan sebaliknya....uuuuuhhhh indahnyaaaa...kapan seperti itu???
    Ups...bersyukur bersyukur...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Sweet bangetlah, Mbak. Syukuri apa yang ada, Mbakkkkkkk haha

      Delete
  2. Bahagia itu kamu..
    *gombal tenan nek iki..hahaha

    ReplyDelete
  3. Bahagiamu, bahagiaku, bahagia kita bersama.
    Warungnya dimana ini dedek vita

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ini di deket kos aja mbak, seputaran Jl Megatruh hihi

      Delete

Terimakasih telah berkunjung, silakan tinggalkan komentar, ya>.<